Penyebrangan

Syukuran Laut Penyeberangan

Syukuran Laut Penyeberangan
Syukuran Laut Penyeberangan

JAKARTA  - Di tengah geliat industri transportasi laut yang semakin modern dan efisien, para operator kapal penyeberangan di lintas Ketapang–Gilimanuk tak melupakan akar budaya dan spiritualitas yang telah diwariskan turun-temurun. Hal ini tercermin dari digelarnya kembali ritual larung sesaji oleh para pelaku jasa angkutan laut, sebuah tradisi yang sarat makna sebagai wujud rasa syukur dan permohonan keselamatan dalam mengarungi laut.

Kegiatan yang diinisiasi oleh Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) bersama Indonesian National Ferryowners Association (INFA) tersebut dilangsungkan di perairan Selat Bali. Dalam ritual itu, puluhan pelaku usaha pelayaran bersama pihak Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Banyuwangi turut serta dalam prosesi pelarungan sesaji ke laut lepas.

Prosesi diawali dari dermaga LCM Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Sesaji yang telah disiapkan dibawa ke tengah Selat Bali menggunakan KMP Jambo VI. Setelah doa-doa dibacakan sebagai ungkapan syukur dan harapan keselamatan, sesaji secara simbolis dilarung ke laut.

Kepala KSOP Tanjungwangi, Purgana, mengapresiasi inisiatif para pelaku usaha angkutan penyeberangan ini. Ia menyebut ritual tersebut sebagai wujud rasa syukur atas rezeki yang telah diterima sekaligus bentuk penghormatan terhadap alam sebagai bagian dari kehidupan manusia.

“Ritual larung sesaji ini merupakan inisiatif dari Gapasdap dan INFA untuk mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan melalui alam yang selama ini telah memberikan rezeki,” ungkap Purgana.

Menurutnya, pelaksanaan larung sesaji bukan hanya soal tradisi spiritual, tetapi juga mencerminkan kesadaran akan pentingnya harmoni antara manusia dan lingkungan. "Semuanya melalui perantara, tidak mampu berhubungan langsung kepada sang khalik. Ini yang mendasari itu," jelasnya.

Di tengah arus modernisasi, kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam menjadi refleksi penting. Hal ini ditegaskan oleh Ketua DPC Gapasdap Banyuwangi, Nurjatim. Ia mengaitkan pelaksanaan ritual ini dengan insiden yang pernah terjadi, yakni kecelakaan KMP Tunu Pratama Jaya. Peristiwa itu menjadi pengingat bahwa manusia tidak dapat semata mengandalkan teknologi atau kekuatan finansial.

“Bukan kami mendewakan, tapi kami wajib bersyukur, di mana tempat kami bekerja, tempat kami berusaha, kami harus ada rasa terima kasih,” ucapnya.

Ia juga menegaskan bahwa kegiatan larung sesaji ini akan dijadikan agenda rutin tahunan, khususnya pada bulan Suro dalam kalender Jawa. Nurjatim mengakui bahwa tradisi ini sempat terlupakan dalam beberapa tahun terakhir, padahal sebelumnya selalu dilakukan secara konsisten oleh para pelaku pelayaran di wilayah Ketapang–Gilimanuk.

“Kami punya komitmen kepada penerus kami, nantinya ritual larung sesaji ini tetap dijalankan. Kami akan mengadakan secara rutin untuk keselamatan kami semua,” tegasnya.

Tradisi larung sesaji bukan hanya dilakukan oleh kelompok pelayaran di Banyuwangi. Di berbagai daerah pesisir seperti Tuban, Jawa Timur, nelayan juga rutin mengadakan sedekah laut sebagai bentuk penghormatan kepada laut dan harapan akan hasil tangkapan yang melimpah. Demikian pula di Madiun, acara seperti Kirab Buceng dan Larung Sesaji Bogo Mulyo menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi lokal masyarakat.

Salah satu tokoh masyarakat di Banyuwangi, Sentot, juga menegaskan pentingnya pelestarian ritual tersebut. Ia mengisahkan bahwa selama dirinya menjabat di kantor Syahbandar Ketapang pada tahun 2013 hingga 2015, pelaksanaan larung sesaji dilakukan secara rutin dan berdampak pada keselamatan pelayaran.

“Selama saya menjabat di sini tidak ada kapal tenggelam, tahun 2013-2015. Ini kita lakukan lagi supaya tidak ada kendala, agar kapal bisa berlayar dengan baik,” terangnya.

Ia menyoroti bahwa dalam beberapa tahun terakhir, sebagian operator kapal hanya berfokus pada keuntungan ekonomi semata, tanpa memperhatikan nilai-nilai spiritual yang menjadi bagian dari perjalanan laut itu sendiri.

“Kapal-kapal pelayaran hanya melintasi begitu saja untuk mendapatkan keuntungan tanpa memperhatikan yang di sini. Harus selaras antara alam dan manusia,” ujarnya, menekankan pentingnya keseimbangan.

Sentot juga menjelaskan isi dari sesaji yang dilarung ke laut. Di antaranya terdapat kepala kerbau jantan, pisang raja, apel, jeruk, serta bubur suro. Ia menegaskan bahwa bubur suro merupakan elemen penting dalam larung sesaji menurut kepercayaan leluhur.

“Bubur Suro ini penting, kalau tidak ada gak sah menurut leluhur. Supaya pelayaran Ketapang–Gilimanuk aman dan lancar,” pungkasnya.

Ritual larung sesaji ini menjadi pengingat bahwa dalam segala aktivitas manusia, terlebih yang berkaitan dengan laut, nilai-nilai kultural dan spiritual tetap memiliki tempat penting. Di tengah dinamika modernisasi transportasi laut, penghormatan terhadap alam dan kearifan lokal menjadi warisan berharga yang tak boleh ditinggalkan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index