Anies Baswedan

Anies Baswedan Tegaskan Sejarah Harus Jujur

Anies Baswedan Tegaskan Sejarah Harus Jujur
Anies Baswedan Tegaskan Sejarah Harus Jujur

JAKARTA - Dalam dinamika kebangsaan yang terus berkembang, diskursus mengenai sejarah nasional kembali menjadi sorotan. Kali ini, pandangan datang dari mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang menyoroti urgensi menjaga integritas dalam penulisan ulang sejarah. Bagi Anies, sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi fondasi penting untuk memahami arah bangsa ke depan.

Usai menghadiri sebuah forum nasional yang dihadiri berbagai tokoh masyarakat dan pemuda, Anies menyampaikan bahwa penulisan ulang sejarah bukanlah upaya revisi subjektif, melainkan proses memperbarui narasi masa lalu dengan tetap mengedepankan kejujuran dan fakta yang utuh.

“Penting untuk tidak mengurangi dan juga tidak menambah, lengkap apa adanya, sehingga sejarah menjadi pelajaran,” tegasnya.

Pernyataan Anies ini menyentuh isu fundamental yang selama ini kerap menjadi bahan perdebatan dalam narasi sejarah bangsa. Dalam setiap era pemerintahan, sejarah kerap ditulis ulang mengikuti sudut pandang kekuasaan, menyebabkan ketimpangan informasi dan pemahaman yang bias terhadap generasi penerus.

Anies menegaskan, pelajaran dari sejarah hanya bisa diambil apabila catatannya disampaikan secara apa adanya—bukan versi yang dimodifikasi sesuai kepentingan politik atau ideologi tertentu. Bagi Anies, sejarah harus menjadi cermin kolektif yang jujur dan utuh, bukan alat propaganda atau glorifikasi sepihak.

Dalam konteks global, ia juga menyinggung tentang kondisi geopolitik yang semakin kompleks. Ketegangan antarnegara, rivalitas kekuatan besar, serta pertarungan narasi dan identitas menjadi alasan mengapa generasi masa kini harus memiliki pijakan sejarah yang kuat dan tidak terdistorsi.

“Ketika geopolitik berubah dengan cepat dan dunia dihadapkan pada polarisasi baru, bangsa yang tidak memahami sejarahnya sendiri akan mudah terombang-ambing oleh wacana luar,” tambahnya.

Menurut Anies, kunci utama menghadapi perubahan zaman dan tekanan global adalah dengan memperkuat identitas nasional. Salah satu jalan utamanya adalah melalui narasi sejarah yang adil dan objektif. Ia percaya, penulisan ulang sejarah memang terkadang diperlukan untuk mengakomodasi fakta-fakta baru yang sebelumnya tersembunyi atau tidak terdokumentasikan dengan baik. Namun demikian, proses itu harus tetap setia pada integritas akademik dan nilai-nilai keilmuan.

“Bukan menulis ulang untuk mengaburkan, tapi memperbaiki jika ada yang luput. Tapi harus tetap utuh, bukan ditambah atau dikurangi agar sesuai kepentingan tertentu,” ujar Anies lebih lanjut.

Pernyataan ini mendapatkan respons beragam dari berbagai kalangan. Beberapa akademisi dan sejarawan menyambut baik pandangan Anies sebagai bentuk dorongan untuk menjaga objektivitas sejarah Indonesia. Di sisi lain, ada pula pihak yang menilai bahwa sejarah memang selalu dinamis dan tidak mungkin dituliskan tanpa interpretasi.

Namun, dalam pandangan Anies, interpretasi adalah hal wajar dalam ilmu sejarah, selama tidak mengubah fakta dasar. “Interpretasi boleh, tapi fakta jangan dipelintir. Generasi muda berhak tahu kenyataan sejarah bangsanya,” tegasnya.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini juga mengingatkan bahwa pendidikan sejarah seharusnya tidak hanya berfokus pada tokoh-tokoh besar, tetapi juga mencakup suara-suara kecil yang selama ini terpinggirkan. Dengan demikian, sejarah bisa menjadi lebih inklusif dan mewakili ragam realitas kehidupan masyarakat.

Sebagai negara besar dengan keragaman budaya dan latar belakang yang kompleks, Indonesia memerlukan pendekatan sejarah yang mempersatukan, bukan yang membelah. Karena itu, Anies mengajak seluruh elemen masyarakat—terutama para pendidik, akademisi, dan pembuat kebijakan—untuk menjadikan sejarah sebagai alat pendidikan moral dan kebangsaan.

Dalam forum yang dihadirinya tersebut, Anies juga banyak berbincang dengan para aktivis muda yang antusias mendiskusikan bagaimana sejarah dapat dijadikan sarana membentuk karakter dan memperkuat identitas nasional.

“Kita tidak bisa membangun masa depan tanpa memahami akar kita. Sejarah itu akar yang harus kuat agar pohon bangsa ini tumbuh tegak dan tidak mudah tumbang,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia mendorong agar pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas intelektual lebih aktif memfasilitasi dialog sejarah lintas generasi. Ruang-ruang diskusi yang sehat mengenai peristiwa-peristiwa masa lalu perlu terus dibuka agar generasi muda dapat melihat sejarah secara komprehensif, bukan sekadar dari satu perspektif.

Sebagai penutup, Anies mengingatkan bahwa bangsa besar adalah bangsa yang tidak malu menghadapi masa lalunya, bahkan jika itu kelam. Justru dari masa lalu itulah bangsa belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, sekaligus memperbaiki apa yang pernah luput.

Dengan pesan kuat untuk menjaga integritas sejarah, pernyataan Anies Baswedan ini menjadi alarm penting bagi semua pihak yang memiliki tanggung jawab dalam dunia pendidikan dan kebudayaan. Karena pada akhirnya, sejarah yang jujur adalah fondasi bagi masa depan yang tangguh.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index