JAKARTA - Dalam bayang-bayang derasnya arus impor dan tekanan kompetitif dari pasar global, industri kimia nasional tengah menghadapi tantangan besar. Di tengah situasi ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menguatkan upaya transformasi sektor manufaktur, terutama di bidang industri kimia, agar tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu tumbuh dan bersaing secara sehat di pasar domestik dan internasional.
Masuknya produk-produk impor dalam volume besar, khususnya di sektor bahan kimia seperti polyvinyl chloride (PVC), dikhawatirkan dapat menggerus utilisasi dan produktivitas pelaku industri dalam negeri. Kekhawatiran tersebut mencuat dalam pertemuan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dengan pihak Asahi Glass Co. (AGC) saat melakukan kunjungan kerja ke Jepang. Dalam diskusi tersebut, AGC menyampaikan aspirasi penting terkait perlunya perlindungan terhadap industri dalam negeri yang mulai terdampak langsung oleh membanjirnya produk impor.
AGC, yang menjalankan dua lini usaha besar di Indonesia—PT Asahimas Chemical dan PT Asahimas Flat Glass—mengungkapkan bahwa produk mereka, terutama di segmen petrokimia, tengah menghadapi tekanan dari kompetitor asing. Melalui dialog itu, AGC juga meminta dukungan nyata dari pemerintah Indonesia untuk menyikapi kondisi ini secara strategis.
Kebijakan Terintegrasi Demi Industri yang Tangguh
Menanggapi hal tersebut, Menteri Agus menekankan pentingnya harmonisasi kebijakan lintas kementerian guna memperkuat fondasi industri nasional. “Kemenperin terus berkoordinasi dan berkolaborasi dengan kementerian lain demi mencapai kebijakan strategis yang selaras dan meningkatkan daya saing industri,” ujarnya.
Ia menyebut sejumlah instrumen kebijakan seperti pengaturan harga gas untuk industri (HGBT), pengendalian impor, dan pemberian insentif fiskal sebagai elemen penting yang harus disinergikan. Tujuannya tidak hanya untuk melindungi industri dari gempuran produk luar, tetapi juga untuk menciptakan ruang tumbuh bagi inovasi dan investasi.
“Dengan kebijakan yang harmonis, pemerintah dapat memberikan perlindungan dan ruang tumbuh yang lebih besar bagi pelaku industri dalam negeri,” tambah Agus.
Transformasi industri bahan kimia menjadi salah satu fokus utama Kemenperin dalam menghadapi era industri berbasis teknologi tinggi dan ramah lingkungan. Pemerintah mendorong sektor ini agar menjadi lebih inovatif dan efisien, sekaligus berkontribusi terhadap target nasional pengurangan emisi karbon.
Menggabungkan Ketahanan Industri dan Dekarbonisasi
Selain isu kompetisi dan perlindungan pasar, Menteri Perindustrian juga mengangkat urgensi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor industri. Ia menekankan bahwa keberlanjutan menjadi komponen penting dalam transformasi industri jangka panjang.
Dalam konteks ini, Menperin mengapresiasi komitmen AGC yang telah menerapkan berbagai langkah konkret menuju target Net Zero Emission. Komitmen itu tercermin melalui penerapan sistem manajemen emisi, sertifikasi lingkungan, dan penyesuaian praktik bisnis agar sejalan dengan roadmap industri hijau nasional.
“Kami mengapresiasi komitmen dari AGC selama ini melalui berbagai langkah nyata yang telah diterapkan untuk mencapai Net Zero Emission lewat sertifikasi dan penerapan bisnis yang telah sejalan dengan roadmap industri nasional,” ucap Agus.
Namun demikian, Menperin mengingatkan bahwa masih ada ruang besar untuk peningkatan. Kedua anak usaha AGC di Indonesia masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi utama, yang tentu bertolak belakang dengan ambisi pengurangan emisi.
Ia pun mendorong AGC agar segera mempercepat transisi energi menuju sumber yang lebih bersih. “Sumber energi yang digunakan oleh PT Asahimas Chemical dan PT Asahimas Flat Glass perlu dipertimbangkan mengingat tujuan kita untuk mewujudkan industri hijau yang berkelanjutan,” katanya.
Teknologi CCU: Solusi Efisien dan Bernilai Tambah
Dalam kerangka dekarbonisasi industri, Kemenperin tengah mengkaji pemanfaatan teknologi Carbon Capture and Utilization (CCU) sebagai alternatif dari pendekatan Carbon Capture and Storage (CCS). Menurut Menperin, pendekatan CCU menawarkan efisiensi ekonomi yang lebih tinggi.
Teknologi CCU bekerja dengan menangkap emisi karbon dari proses industri dan kemudian mengolahnya kembali menjadi produk yang dapat digunakan dalam sektor lain. Dengan begitu, karbon tidak hanya dikurangi, tetapi juga dimonetisasi sehingga menciptakan nilai tambah bagi industri.
“Melalui pendekatan ini, emisi karbon yang ditangkap dari proses industri bisa diolah dan dimanfaatkan kembali menjadi produk yang berguna di sektor industri lainnya,” jelas Agus.
Pengembangan teknologi ini menjadi sangat relevan bagi perusahaan-perusahaan yang masih menggunakan energi fosil, seperti AGC. Implementasi teknologi CCU memungkinkan mereka untuk tetap beroperasi secara efisien tanpa mengorbankan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan.
Mendorong Kolaborasi Strategis dan Investasi Inklusif
Transformasi industri tidak akan tercapai hanya melalui regulasi sepihak. Kolaborasi lintas sektor, baik dari sisi swasta maupun publik, menjadi pondasi keberhasilan program transformasi industri berkelanjutan. Oleh sebab itu, Menperin mendorong AGC dan pelaku industri lainnya untuk aktif berinvestasi dalam riset dan teknologi ramah lingkungan.
Langkah ini sejalan dengan visi pemerintah dalam memperkuat ketahanan industri melalui pendekatan yang inklusif, kompetitif, dan adaptif terhadap tantangan masa depan. Upaya ini juga diyakini mampu memperluas basis produksi domestik, meningkatkan ekspor, serta menciptakan lapangan kerja baru yang berkualitas.
Dengan dukungan regulasi yang berpihak, inovasi teknologi berkelanjutan, serta komitmen kuat dari industri, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam industri kimia global yang ramah lingkungan dan bernilai tambah tinggi.