Anies Baswedan

Pengajar Tak Tergantikan oleh AI: Pandangan Anies Baswedan

Pengajar Tak Tergantikan oleh AI: Pandangan Anies Baswedan
Pengajar Tak Tergantikan oleh AI: Pandangan Anies Baswedan

JAKARTA - Di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa cepat, perdebatan tentang peran artificial intelligence (AI) dalam dunia pendidikan menjadi semakin relevan. Banyak yang mempertanyakan: apakah peran pengajar, khususnya dosen, suatu hari nanti akan tergeser oleh teknologi? Bagi Anies Baswedan, tokoh nasional dan mantan Gubernur Jakarta, jawabannya sangat jelas: teknologi, termasuk AI, tidak akan mampu menggantikan esensi seorang pendidik sejati.

Dalam sebuah forum cendekia yang digelar di Universitas Islam Bandung (Unisba), Anies menyampaikan pandangannya secara lugas dan reflektif. Ia menjelaskan bahwa AI memang dapat menjadi alat bantu yang kuat. Namun, AI hanya berperan sebagai pemantik, sebagai pemandu, bukan sebagai pengganti manusia dalam proses pembelajaran yang sejati.

Anies menegaskan bahwa kita hidup di abad ke-21, sebuah era dengan kecepatan perubahan yang tak terbayangkan sebelumnya. Dunia pendidikan harus beradaptasi dengan dinamika ini. Tantangan besar bagi para pengajar, menurutnya, bukan sekadar dalam hal menguasai teknologi baru, tetapi bagaimana mampu terus belajar, menyesuaikan diri, bahkan melepaskan paradigma lama yang sudah tidak relevan.

Ia menggambarkan dilema yang dihadapi banyak institusi pendidikan saat ini: di satu sisi ada keharusan untuk bergerak cepat mengikuti arus perubahan, di sisi lain ada beban administratif dan birokratis yang justru menyita waktu dan energi para pendidik dari esensi sebenarnya, yaitu proses belajar-mengajar.

"Semua orang di era ini harus menjadi pembelajar," tegas Anies. Ia menggarisbawahi bahwa tanggung jawab sebagai pengajar kini tak bisa dilepaskan dari peran sebagai pembelajar seumur hidup. Bahkan, menurutnya, menjadi pembelajar bukan hanya tentang mengetahui hal baru, tetapi juga soal unlearning—keberanian untuk melepaskan pengetahuan lama yang sudah usang atau tidak relevan.

Inilah tantangan utama bagi dunia pendidikan hari ini. Untuk bisa menjadi pembelajar sejati, seseorang tidak cukup mengandalkan logika dan pengetahuan saja. Dibutuhkan juga kesiapan hati untuk menerima bahwa pengetahuan yang dulu diagungkan bisa jadi tak lagi tepat saat ini. Melepaskan pemahaman lama bukan perkara mudah, apalagi jika hal itu sudah melekat begitu kuat dalam cara seseorang berpikir dan mengajar.

"Unlearning membutuhkan lebih dari sekadar pikiran, tetapi juga hati," ujar Anies.

Dalam pernyataan yang memancing refleksi mendalam, Anies mengajukan pertanyaan kepada para dosen: “Dosen seperti apa yang bisa digantikan oleh teknologi?” Pertanyaan ini seolah mengajak setiap pendidik untuk merenungkan posisi mereka dalam lanskap pendidikan yang semakin terdigitalisasi.

Jawaban atas pertanyaan tersebut, lanjutnya, tidak berada di luar diri seorang dosen. Bukan teknologi yang menentukan siapa yang akan tergantikan, melainkan para dosen itu sendiri. Bila selama bertahun-tahun metode mengajar tidak pernah berubah, bila catatan kuliah tidak pernah diperbarui, dan bila konten yang diberikan kepada mahasiswa tetap sama dari masa ke masa—maka, sangat mungkin peran tersebut digantikan oleh mesin atau sistem otomatisasi.

“Kalau MS Power Point yang digunakan tidak pernah berubah dalam sepuluh tahun, berarti itu bisa digantikan teknologi,” ujar Anies.

Namun, apabila seorang dosen senantiasa membawa semangat baru dalam setiap sesi pembelajaran, selalu menghadirkan pendekatan kontekstual yang relevan dengan kondisi zaman, dan mampu menginspirasi mahasiswanya, maka tidak ada teknologi secanggih apa pun yang bisa menggantikannya.

Kehadiran pengajar bukan sekadar penyampai materi. Ia adalah pembentuk karakter, penyalur semangat, dan penggerak rasa ingin tahu. Inilah dimensi manusiawi dalam dunia pendidikan yang tidak bisa diduplikasi oleh mesin. Sentuhan personal, empati, kepekaan terhadap kondisi emosional mahasiswa, serta kemampuan menyesuaikan pendekatan mengajar secara fleksibel sesuai kebutuhan individu—semua itu adalah hal-hal yang melekat pada peran pengajar dan tidak bisa dikodekan dalam barisan algoritma.

Anies menyampaikan, di era digital ini, kemampuan seorang pendidik untuk terus memperbarui diri menjadi penentu utama dalam menjaga relevansi dan eksistensinya. Ketika seorang dosen mampu mengadopsi teknologi sebagai alat bantu, bukan sebagai ancaman, maka ia justru bisa memperkuat posisinya dalam proses pendidikan.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa teknologi harus dipahami sebagai pelengkap, bukan pengganti. AI memang bisa memberikan simulasi pembelajaran, memberikan informasi yang cepat dan luas, bahkan menganalisis data secara kompleks. Namun, AI tetap tak bisa menggantikan peran seorang guru atau dosen dalam menanamkan nilai, membentuk karakter, dan menumbuhkan rasa kemanusiaan.

Pandangan Anies menjadi pengingat penting bagi dunia pendidikan di tengah derasnya arus digitalisasi. Keberadaan AI dan teknologi lainnya memang tidak terelakkan. Namun, yang perlu dipertanyakan bukanlah apakah teknologi akan menggantikan manusia, melainkan bagaimana manusia—dalam hal ini para pendidik—memilih untuk terus relevan, berkembang, dan menjadi sosok yang tak tergantikan karena nilai-nilai yang mereka bawa.

Di tengah kemajuan teknologi yang kian pesat, peran pengajar tidak hanya masih relevan, tetapi semakin penting. Dosen yang terus belajar, reflektif, dan inspiratif akan selalu menjadi sosok yang dibutuhkan, tak peduli seberapa canggih teknologi yang datang. Dunia pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga tentang relasi, nilai, dan sentuhan manusia. Dan di titik itulah, teknologi akan selalu berada di tempat kedua.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index