Pinjaman Online

Pinjaman Online Tembus Rp82 Triliun, OJK Waspada

Pinjaman Online Tembus Rp82 Triliun, OJK Waspada
Pinjaman Online Tembus Rp82 Triliun, OJK Waspada

JAKARTA - Di tengah derasnya arus digitalisasi layanan keuangan, pinjaman online kembali menunjukkan geliat yang signifikan di Indonesia. Masyarakat kini semakin mengandalkan platform daring untuk mengakses dana dengan cepat, tanpa harus melalui proses birokrasi panjang seperti halnya pada lembaga keuangan konvensional. Kemudahan ini menjadi daya tarik utama, sekaligus menyisakan sejumlah catatan penting mengenai stabilitas dan pengawasan sektor tersebut.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa per Juli 2025, nilai pembiayaan dari layanan pinjaman online mencapai Rp82,59 triliun. Angka ini mencerminkan pertumbuhan berkelanjutan dalam sektor keuangan digital yang makin diminati, baik oleh peminjam individu maupun pelaku usaha kecil dan menengah.

“Pertumbuhan ini menjadi sinyal positif dalam perkembangan pembiayaan digital di Indonesia,” ujar Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, dalam Konferensi Pers RDKB.

Menurut Agusman, lonjakan nilai pinjaman online menunjukkan pergeseran preferensi masyarakat ke layanan berbasis teknologi. Di era serba cepat, masyarakat mencari kemudahan akses dan fleksibilitas dalam penggunaan dana. Proses pengajuan yang dilakukan sepenuhnya secara daring—cukup dengan mengunggah identitas dan dokumen persyaratan lainnya—menjadi nilai lebih yang tidak bisa diabaikan.

Namun di balik perkembangan pesat ini, OJK tetap mencermati potensi risiko yang mengiringi. Pertumbuhan pesat tanpa pengawasan yang memadai dapat memicu gejolak baru dalam sistem keuangan. Salah satu indikator yang terus dipantau adalah rasio kredit bermasalah atau non-performing financing (NPF).

Agusman menyampaikan bahwa profil risiko perusahaan pembiayaan masih dalam kategori terkendali. Per Mei 2025, NPF gross berada di level 2,57 persen, sedangkan NPF net tercatat sebesar 0,88 persen. Angka tersebut dinilai masih dalam batas aman untuk menjaga stabilitas industri pembiayaan.

“Profil risiko perusahaan pembiayaan terjaga, dengan rasio NPF gross 2,57 persen dan NPF net 0,88 persen,” ungkapnya.

Tidak hanya dari sisi risiko, kemampuan perusahaan pembiayaan dalam mengelola struktur modal juga menjadi perhatian regulator. OJK mencatat, gearing ratio perusahaan pembiayaan berada di angka 2,20 kali, jauh di bawah ambang batas maksimal sebesar 10 kali. Hal ini mengindikasikan bahwa struktur permodalan perusahaan pembiayaan cukup sehat dan belum menunjukkan gejala leverage berlebih.

Menariknya, pertumbuhan signifikan juga terjadi pada layanan pembiayaan berbasis skema buy now pay later (BNPL). Fitur ini kini marak digunakan oleh masyarakat, terutama dalam bertransaksi secara daring. Berdasarkan data OJK, pembiayaan BNPL melonjak 54,26 persen secara tahunan per Mei 2025, dengan total nilai mencapai Rp8,58 triliun.

Namun, di balik popularitas BNPL, terdapat tantangan baru berupa peningkatan risiko gagal bayar. Agusman menyebutkan bahwa NPF gross di sektor BNPL tercatat sebesar 3,74 persen—angka yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata sektor pembiayaan lainnya.

“Kami mencatat NPF gross pada sektor BNPL sebesar 3,74 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pembiayaan lainnya,” tegas Agusman.

Lonjakan NPF di sektor ini menjadi alarm bagi perusahaan pembiayaan agar lebih selektif dalam menyalurkan pembiayaan. Risiko kredit perlu diantisipasi dengan penguatan sistem mitigasi, termasuk penilaian kelayakan kredit, pemantauan debitur, hingga edukasi keuangan kepada masyarakat.

Agusman juga menyoroti bahwa di balik pertumbuhan positif, masih ada pelaku industri yang belum sepenuhnya memenuhi ketentuan ekuitas minimum. Padahal, ekuitas yang kuat menjadi benteng pertama dalam menghadapi risiko-risiko pembiayaan di masa mendatang.

“Meski pembiayaan tumbuh, OJK menyoroti masih adanya pelaku industri yang belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum,” tambahnya.

Kondisi ini menggambarkan bahwa meskipun industri pinjaman online telah menjadi bagian integral dari lanskap keuangan nasional, penguatan tata kelola dan disiplin regulasi tetap menjadi keharusan. Keseimbangan antara pertumbuhan dan pengawasan menjadi kunci keberlanjutan sektor ini dalam jangka panjang.

Lebih jauh, masyarakat sebagai pengguna layanan pinjaman online juga diimbau untuk bersikap cermat dan bijak. Pilihlah platform pinjaman yang terdaftar dan diawasi OJK, pahami bunga dan biaya yang dikenakan, serta pastikan kemampuan bayar sebelum mengajukan pinjaman. Fenomena pinjaman online ilegal yang masih marak dapat menyebabkan kerugian besar, mulai dari bunga mencekik hingga praktik penagihan yang melanggar etika.

Seiring dengan berkembangnya ekosistem digital, pinjaman online memang memberikan harapan besar terhadap inklusi keuangan. Namun, pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan harus ditopang oleh regulasi yang kuat, tata kelola perusahaan yang disiplin, dan kesadaran konsumen yang tinggi.

Dengan tren saat ini, sektor pinjaman digital di Indonesia diproyeksikan terus berkembang, namun tantangan dalam pengelolaan risiko juga akan semakin kompleks. Oleh karena itu, kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan industri ini tetap kokoh, berdaya saing, dan memberikan manfaat nyata bagi perekonomian nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index