JAKARTA - Di tengah langkah pemerintah melakukan penataan kawasan hutan konservasi, muncul sorotan tajam terhadap dampak kebijakan tersebut terhadap pemenuhan hak dasar anak-anak, terutama dalam hal pendidikan. Hal ini menjadi perhatian penting, seiring dengan proses penertiban yang dilakukan di wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, yang telah memengaruhi aktivitas belajar-mengajar di sejumlah sekolah.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, mengingatkan bahwa dalam pelaksanaan penertiban, hak pendidikan anak tidak boleh diabaikan. Ia menegaskan bahwa anak-anak tidak seharusnya menjadi korban dari proses kebijakan yang sedang dijalankan negara, meskipun tujuannya untuk menyelamatkan kawasan konservasi dari kerusakan ekologis.
“Anak-anak tidak boleh menjadi korban dalam proses penertiban kawasan,” tegas Munafrizal dalam pernyataan resminya. Ia menggarisbawahi bahwa kewajiban negara dalam menjamin hak pendidikan tetap harus dipegang teguh dalam kondisi apapun, termasuk saat warga tengah menghadapi proses relokasi besar-besaran.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di Sumatera Barat, relokasi mandiri yang sedang berjalan menyentuh sekitar 11 ribu kepala keluarga atau mencakup sekitar 40 ribu jiwa. Angka ini menunjukkan skala dampak yang cukup besar terhadap kehidupan masyarakat, termasuk ribuan anak usia sekolah yang terdampak langsung dari penertiban tersebut.
Dalam proses penataan kawasan TNTN, puluhan sekolah dasar dan menengah di wilayah pemukiman yang terdampak terpaksa menghentikan aktivitas operasionalnya. Langkah ini diambil karena area pemukiman yang sebelumnya dihuni warga akan dikembalikan menjadi bagian dari kawasan konservasi hutan.
Situasi menjadi semakin rumit ketika akses ke sekolah alternatif sangat terbatas. Banyak anak yang harus menempuh perjalanan lebih dari 20 kilometer dari tempat tinggalnya untuk bisa sampai ke sekolah terdekat, sebuah jarak yang secara logistik dan keamanan sulit untuk dijangkau oleh anak-anak usia sekolah dasar dan menengah.
Sementara itu, di sisi pemerintah, upaya penertiban ini menjadi bagian dari program rehabilitasi kawasan konservasi. Pemerintah berupaya menjaga kelestarian Taman Nasional Tesso Nilo yang telah lama menjadi sorotan karena maraknya pembukaan lahan ilegal dan aktivitas yang mengancam ekosistem.
Untuk menertibkan kawasan ini, pemerintah mengerahkan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan di lapangan. Menteri Kehutanan telah menegaskan bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan lunak (soft power), dengan harapan relokasi warga dapat dilakukan secara mandiri tanpa memicu konflik atau gesekan sosial.
Meski demikian, Munafrizal mengingatkan bahwa pendekatan lunak tersebut tidak boleh mengorbankan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, terutama hak pendidikan anak-anak. Ia menyerukan agar kementerian terkait, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, segera mengambil langkah proaktif dalam menyikapi potensi krisis pendidikan di wilayah terdampak.
Menurutnya, jika tidak ditangani secara serius, terputusnya akses pendidikan ini dapat berdampak jangka panjang. Salah satunya adalah meningkatnya angka anak putus sekolah, yang selama ini menjadi perhatian serius pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia nasional.
“Jika akses pendidikan terputus, angka anak putus sekolah bisa meningkat, padahal ini menjadi perhatian serius pemerintah,” ujarnya lagi, menegaskan pentingnya kolaborasi antarkementerian untuk mencegah dampak negatif lanjutan.
Sejumlah lembaga pendidikan dan organisasi sosial juga menyuarakan keprihatinan serupa. Bagi mereka, sekolah bukan hanya tempat belajar, melainkan ruang perlindungan, pembentukan karakter, dan penyedia masa depan yang lebih baik bagi generasi muda di pedesaan dan kawasan terpencil. Apabila sekolah-sekolah ditutup tanpa solusi pengganti yang memadai, maka masa depan ribuan anak-anak terancam berada di ujung tanduk.
Pemerintah memang telah menyiapkan lahan relokasi untuk warga terdampak. Namun, belum ada kejelasan sejauh mana fasilitas pendidikan akan dibangun di lokasi baru tersebut. Dalam banyak kasus relokasi sebelumnya, pembangunan infrastruktur pendidikan cenderung tertinggal dibandingkan pemukiman, jalan, dan fasilitas umum lainnya. Jika pola ini berulang, maka anak-anak yang sudah terlanjur kehilangan sekolah di lokasi lama tidak segera mendapat akses pendidikan yang layak di tempat baru.
Penanganan krisis pendidikan dalam konteks relokasi kawasan hutan seperti ini memerlukan respons cepat dan komprehensif. Tidak hanya dibutuhkan alokasi anggaran dan pembangunan fisik, tetapi juga penyusunan program transisi belajar, pelibatan guru sukarelawan, serta transportasi yang aman untuk menjangkau sekolah terdekat bagi anak-anak di masa peralihan.
Harus diakui, penertiban kawasan konservasi merupakan langkah penting untuk menyelamatkan lingkungan dan keanekaragaman hayati yang mulai tergerus. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh berbagai pihak, perlindungan lingkungan harus dilaksanakan secara seimbang dengan perlindungan hak-hak warga negara, terutama kelompok rentan seperti anak-anak.
Ke depan, keberhasilan program relokasi kawasan hutan akan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah menjamin tidak hanya kelestarian alam, tetapi juga keberlangsungan kehidupan sosial, ekonomi, dan pendidikan masyarakat. Jika tidak, maka yang dipertaruhkan bukan hanya ekosistem hutan, tetapi juga masa depan generasi muda yang hari ini tengah kehilangan tempat belajar mereka.