Viral

Tradisi Pacu Jalur Viral Mendunia, Terancam Klaim Budaya

Tradisi Pacu Jalur Viral Mendunia, Terancam Klaim Budaya
Tradisi Pacu Jalur Viral Mendunia, Terancam Klaim Budaya

JAKARTA - Keunikan budaya lokal kerap kali menarik perhatian dunia, namun tak jarang pula menimbulkan persoalan serius ketika nilai-nilai kultural tersebut mulai diklaim oleh pihak lain. Salah satu contohnya adalah tradisi pacu jalur, balap perahu tradisional dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, yang tengah menjadi pusat perhatian setelah viral di media sosial.

Sorotan publik tak hanya datang dari keindahan visual perlombaan, melainkan juga dari kemunculan seorang bocah penari yang beraksi lincah di ujung kapal jalur. Aksi tersebut sontak menarik pujian luas dari netizen dan masyarakat budaya karena memperlihatkan sinergi antara kekuatan fisik dan seni gerak dalam satu panggung perahu tradisional.

Popularitas pacu jalur tak berhenti di dalam negeri. Sorotan global menguat ketika para pemain klub sepak bola Paris Saint-Germain (PSG) merayakan gol dengan gerakan yang menyerupai tarian khas pacu jalur. Bahkan maskot klub AC Milan turut menampilkan tarian serupa dalam salah satu aksinya. Momen ini memperlihatkan betapa kuatnya magnet budaya lokal jika dikemas dan dibagikan secara luas melalui media sosial.

Fenomena ini disebut sebagai bagian dari tren aura farming—yakni strategi penyebaran kebudayaan lokal melalui platform digital untuk meraih pengakuan global. Budaya pacu jalur kini tak hanya milik masyarakat Riau, tetapi telah menjadi simbol kebanggaan nasional yang menembus batas geografis Indonesia.

Namun, meningkatnya eksposur budaya ini turut menimbulkan kekhawatiran. Muncul kabar bahwa sebuah negara tetangga mulai mengklaim pacu jalur sebagai bagian dari warisan budayanya. Meski belum terbukti secara resmi, rumor tersebut cukup membuat masyarakat dan pegiat budaya nasional waspada. Dalam konteks geopolitik budaya, klaim sepihak seperti ini bukan perkara baru dan kerap memicu tensi antarnegara, terutama di Asia Tenggara.

Untuk memahami kedalaman budaya ini, perlu menengok ke belakang. Pacu jalur bukan sekadar lomba balap perahu, melainkan tradisi yang telah hidup sejak abad ke-17. Dalam bahasa daerah, "pacu" berarti balapan, sementara "jalur" merujuk pada perahu panjang terbuat dari kayu. Panjang perahu bisa mencapai 40 meter dan digerakkan oleh 40 hingga 60 pendayung. Dalam praktiknya, selain pendayung, kapal juga dilengkapi penabuh gendang dan komandan aba-aba yang berfungsi menjaga irama dan semangat.

Dahulu, jalur digunakan sebagai sarana transportasi utama warga Rantau Kuantan, khususnya untuk membawa hasil bumi seperti pisang dan tebu, serta mengangkut penumpang menyusuri Sungai Kuantan. Dalam perkembangannya, perahu dihias menyerupai hewan-hewan simbolik seperti harimau, buaya, dan ular. Ini menandakan kedudukan sosial, kekuatan, dan karakter pemiliknya. Pada masa kolonial Belanda, pacu jalur sempat digunakan untuk memperingati hari nasional Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, tradisi ini beralih menjadi bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Kini, pacu jalur tak lagi menjadi alat transportasi, melainkan simbol budaya dan ajang tahunan yang sarat makna. Diadakan hampir setiap tahun di Kuantan Singingi, acara ini tak hanya menyedot wisatawan, tetapi juga menjadi panggung besar pelestarian nilai budaya lokal. Antusiasme warga, baik tua maupun muda, membuktikan bahwa semangat gotong royong dan kebanggaan terhadap warisan leluhur masih membara.

Momen viral bocah penari dan gerakan selebrasi para atlet internasional menunjukkan bahwa nilai budaya Indonesia sangat mungkin diterima dan dihargai di kancah global. Tetapi di saat yang sama, eksistensi budaya tersebut juga menjadi rentan jika tidak segera dilindungi secara hukum dan diplomatik.

Ancaman klaim budaya oleh negara lain menjadi alarm penting bagi pemerintah dan masyarakat. Apalagi dalam sejarah kebudayaan Asia Tenggara, beberapa budaya Indonesia pernah menghadapi kontroversi karena diklaim sebagai milik negara lain—mulai dari lagu, tarian, hingga batik. Maka dari itu, pemerintah perlu mengambil langkah konkret, seperti mendaftarkan pacu jalur sebagai Warisan Budaya Takbenda ke UNESCO.

Pengakuan internasional semacam ini sangat penting untuk memastikan bahwa budaya pacu jalur memiliki tempat sah sebagai milik bangsa Indonesia. Tidak hanya akan memperkuat posisi Indonesia di mata dunia, tetapi juga melindungi tradisi ini dari pengambilalihan simbolik oleh pihak asing.

Kehadiran teknologi digital, terutama media sosial, menjadi peluang emas dalam memperluas pengaruh budaya lokal. Namun, peluang ini juga harus diimbangi dengan regulasi, diplomasi budaya, dan penguatan narasi sejarah yang terstandarisasi. Ketika budaya dipamerkan secara global, maka tanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya pun menjadi semakin besar.

Kini saatnya masyarakat, pemerintah daerah, dan lembaga kebudayaan bersatu padu. Selain terus melestarikan pacu jalur melalui event tahunan dan pelatihan generasi muda, penting pula menyusun dokumentasi dan narasi budaya yang kuat sebagai bukti autentik warisan Indonesia.

Pacu jalur bukan sekadar perlombaan perahu. Ia adalah kisah panjang peradaban masyarakat Sungai Kuantan, refleksi semangat kolektif, dan simbol kekuatan budaya lokal yang mampu menembus batas-batas global. Maka, menjaga pacu jalur berarti menjaga jati diri bangsa.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index