Pasar Modal

Proses Delisting Sritex di Pasar Modal BEI Tertahan, Ini Faktor Penghambatnya

Proses Delisting Sritex di Pasar Modal BEI Tertahan, Ini Faktor Penghambatnya
Proses Delisting Sritex di Pasar Modal BEI Tertahan, Ini Faktor Penghambatnya

JAKARTA - Meski status pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex sudah ditetapkan, nasib saham perusahaan tekstil raksasa ini di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih belum menemui kejelasan. Banyak pihak bertanya-tanya, mengapa hingga kini bursa belum juga melakukan delisting terhadap saham Sritex, padahal sejumlah syarat formal telah terpenuhi.

Fakta bahwa Sritex telah menyetop seluruh aktivitas operasionalnya dan masuk dalam proses likuidasi, seharusnya memberi jalan bagi penghapusan saham dari papan bursa. Namun, otoritas BEI menegaskan bahwa proses tersebut tak bisa dilakukan secara terburu-buru karena bergantung pada dinamika hukum dan administratif yang tengah berlangsung.

Terganjal Proses Likuidasi Kurator

Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Nyoman Gede Yetna, menyampaikan bahwa langkah delisting terhadap saham Sritex memang telah memenuhi syarat formal, namun masih terkendala oleh tahapan proses likuidasi yang sedang dilakukan oleh pihak kurator.

"Jadi, kami mengikuti proses penyelesaian tersebut. Deadline tergantung dari pihak kurator tentunya yang akan melakukan likuidasi," ujarnya kepada wartawan.

Penjelasan ini sekaligus menjawab spekulasi publik tentang alasan bursa yang dinilai lambat dalam mengambil keputusan. BEI, menurut Nyoman, tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian serta tunduk pada regulasi yang berlaku dalam menangani kasus emiten bermasalah seperti Sritex.

Syarat Delisting Sudah Dipenuhi

Mengacu pada ketentuan BEI, saham suatu perusahaan dapat didepak dari bursa apabila mengalami suspensi perdagangan selama lebih dari 24 bulan berturut-turut. Dalam kasus Sritex, suspensi saham SRIL sudah diberlakukan sejak tahun 2021 karena perusahaan mengalami gagal bayar utang.

Selain itu, kondisi kebangkrutan dan penghentian operasional perusahaan juga merupakan indikator kuat bahwa keberlanjutan usaha tidak lagi terjamin. Berdasarkan Peraturan Bursa Nomor I-N, khususnya pada ketentuan III.1.3, kondisi-kondisi tersebut merupakan dasar hukum bagi delisting suatu saham.

"Sehubungan telah dilakukannya suspensi atas saham SRIL selama lebih dari 24 bulan dan telah resmi dinyatakan pailitnya SRIL, maka kondisi tersebut telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan delisting atas suatu saham," jelas Nyoman dalam pernyataan tertulis.

Potensi Kerugian Investor

Saham Sritex yang beredar di publik tercatat mencapai sekitar 8,15 miliar lembar atau setara 39,89 persen dari total saham perusahaan. Jika dihitung berdasarkan harga terakhir saham sebelum suspensi, yakni Rp 146 per lembar, maka total nilai pasar saham publik Sritex berada di kisaran Rp 1,19 triliun.

Angka tersebut mencerminkan potensi kerugian besar bagi investor publik yang hingga kini belum dapat mencairkan nilai investasinya. Situasi ini memunculkan desakan dari kalangan pelaku pasar agar BEI segera mengambil keputusan tegas demi kepastian hukum dan perlindungan investor.

Kasus Hukum Membayangi

Tambahan tekanan datang dari aspek hukum, di mana mantan Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Ia diduga terlibat dalam penyalahgunaan fasilitas kredit perbankan yang turut menyeret reputasi perusahaan ke titik nadir.

Keterlibatan petinggi perusahaan dalam kasus perbankan ini semakin memperkuat asumsi bahwa struktur tata kelola perusahaan telah gagal secara sistemik, sehingga relevansi Sritex sebagai entitas publik pun layak dipertanyakan.

Mengapa BEI Tak Bisa Bertindak Cepat?

Meski publik menuntut tindakan segera, BEI tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian dan regulasi yang ada. Proses hukum pailit memang belum selesai secara menyeluruh. Tahapan likuidasi yang tengah dijalankan oleh kurator wajib dilalui hingga tuntas sebelum BEI dapat menghapuskan saham perusahaan dari bursa secara formal.

"Selama proses itu belum rampung, posisi bursa adalah menunggu hasil final dari kurator dan proses hukum lainnya. Delisting bukan hanya soal status pailit, tapi juga tentang kepastian seluruh prosedur telah dilalui secara sah," kata Nyoman.

Dengan demikian, proses delisting bukan sekadar keputusan administratif, melainkan hasil akhir dari berbagai proses hukum, audit, dan likuidasi yang menyangkut banyak pihak termasuk investor, kreditor, dan lembaga negara.

Pelajaran dari Kasus Sritex

Kasus Sritex membuka mata banyak investor akan pentingnya due diligence dan pemantauan terhadap emiten, tak hanya dari sisi laporan keuangan, tetapi juga tata kelola dan risiko bisnis. Pengalaman pahit ini diharapkan bisa menjadi pelajaran berharga bagi regulator dan publik dalam memperkuat sistem perlindungan investor di pasar modal Indonesia.

Di sisi lain, BEI juga perlu mempercepat penyempurnaan mekanisme pengawasan terhadap emiten bermasalah agar proses delisting tidak menjadi proses yang berlarut-larut dan merugikan investor ritel.

Untuk saat ini, nasib saham SRIL masih menanti ketukan akhir dari proses hukum dan kurator yang menangani likuidasi aset Sritex. Sementara itu, investor hanya bisa menunggu sambil berharap adanya transparansi dan percepatan proses agar mereka tidak terus dirugikan oleh ketidakpastian.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index