JAKARTA - Pada tahun ini, persoalan terkait sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) kembali menjadi sorotan di wilayah Bekasi Raya. Berbagai keluhan dari masyarakat mengemuka, khususnya soal bagaimana hak anak-anak mereka atas pendidikan yang semestinya dijamin justru terabaikan oleh sistem yang disebut-sebut sebagai upaya pemerataan. Ironisnya, sistem yang diharapkan bisa menciptakan keadilan ini malah menimbulkan kekecewaan, frustrasi, bahkan kesan diskriminasi.
Sebetulnya, niat di balik penerapan mekanisme PPDB dan SPMB ini memang mulia. Sistem tersebut dirancang untuk membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama untuk mendorong pemerataan pendidikan. Namun, dalam pelaksanaannya, muncul fakta yang tidak bisa diabaikan: pemerataan tanpa disertai keadilan justru berpotensi memperburuk kondisi yang ada, menciptakan ketimpangan baru yang lebih pelik.
Hal ini terlihat jelas ketika anak-anak yang berprestasi harus rela tergeser hanya karena aturan radius tempat tinggal yang ketat. Mereka yang seharusnya layak mendapatkan kesempatan justru terhalang oleh batasan geografis yang kaku. Sementara itu, keluarga kurang mampu yang berjuang keras menghadapi sistem teknis penerimaan yang rumit dan kompetitif, sering kali gagal mendapat tempat yang layak bagi anak-anaknya. Dalam konteks ini, bukanlah anak-anak yang gagal, melainkan sistem yang kurang mampu memberikan ruang bagi keadilan sejati.
Kisah nyata dari warga Bekasi Raya ini menjadi gambaran betapa kompleks dan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan PPDB dan SPMB. Perlu ada perbaikan yang tidak hanya menitikberatkan pada angka pemerataan, tetapi juga memastikan bahwa setiap anak mendapatkan peluang yang adil dan setara untuk meraih pendidikan yang berkualitas.
Sistem yang ada saat ini harus dilihat kembali dari sudut pandang keadilan substantif, bukan sekadar keadilan formal. Pemerataan harus dijalankan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial-ekonomi, kemampuan individu, serta potensi anak-anak yang sebenarnya. Tanpa pendekatan seperti ini, risiko diskriminasi dan ketidakpuasan masyarakat akan terus berlanjut.
Sebagai masyarakat dan pemangku kebijakan, kita memiliki tanggung jawab bersama untuk mendukung perubahan yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Anak-anak adalah masa depan bangsa, dan akses mereka ke pendidikan yang layak merupakan investasi penting bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu, sistem PPDB dan SPMB harus dirancang dan dijalankan dengan visi yang jelas: menjadikan pendidikan sebagai hak yang benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh anak tanpa kecuali.
Melalui dialog terbuka dan evaluasi yang menyeluruh, kita dapat mencari solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai hambatan dan ketidakadilan yang ada. Ini bukan hanya soal teknis atau prosedur administratif, melainkan soal menjamin masa depan yang cerah bagi generasi muda.
Sebagai penutup, permasalahan yang muncul di Bekasi Raya ini sebenarnya adalah cermin dari tantangan besar yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia secara umum. Kita harus berani mengakui kekurangan dan berusaha bersama-sama membangun sistem yang tidak hanya adil di atas kertas, tetapi juga dirasakan keadilannya oleh setiap individu, terutama anak-anak yang menjadi penerus bangsa.