JAKARTA - Di tengah ketenangan pagi di wilayah Seram Bagian Barat, Maluku, guncangan mendadak menggoyang daratan. Getaran yang cukup terasa ini bukan berasal dari laut, melainkan dari dalam tanah di daratan Pulau Seram. Fenomena alam ini kembali mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia adalah negeri yang berdiri di atas cincin api kawasan yang rawan gempa bumi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa gempa bumi yang terjadi di Seram Bagian Barat merupakan jenis gempa dangkal. Dengan kedalaman hiposenter hanya 13 kilometer di bawah permukaan tanah, gempa ini berpotensi dirasakan secara luas oleh penduduk di sekitarnya meskipun magnitudo tidak disebutkan secara eksplisit.
“Gempa bumi dikategorikan dangkal, dengan kedalaman hiposenter 13 Km,” terang BMKG melalui laporan resminya.
Pusat gempa berada di darat, tepatnya 14 kilometer dari arah barat Seram Bagian Barat, menjadikannya sebagai salah satu gempa darat yang tidak berasosiasi langsung dengan aktivitas sesar bawah laut. Letak geografis episenter dicatat di koordinat 3.27 Lintang Selatan (LS) dan 128.65 Bujur Timur (BT).
Bagi masyarakat di wilayah Amalatu dan sekitarnya, getaran ini cukup terasa. BMKG mencatat intensitas gempa yang dirasakan mencapai skala III MMI (Modified Mercalli Intensity). Skala ini menandakan bahwa gempa dapat dirasakan jelas di dalam rumah, seolah-olah ada kendaraan berat yang sedang melintas. Getaran seperti ini dapat mengejutkan, apalagi terjadi pada waktu yang tidak terduga seperti dini hari.
“Gempa dirasakan (skala MMI) III Amalatu,” tulis BMKG.
Wilayah Maluku, termasuk Seram Bagian Barat, memang dikenal memiliki potensi kegempaan tinggi. Keberadaan zona subduksi serta patahan aktif yang membelah wilayah ini menjadi penyebab utama terjadinya gempa baik dari laut maupun daratan. Namun, gempa dengan pusat di darat seperti ini relatif jarang dibanding gempa tektonik di dasar laut yang lebih sering dilaporkan.
Salah satu faktor yang membuat gempa dangkal seperti ini cukup signifikan adalah letaknya yang dekat dengan permukaan tanah. Meskipun kekuatan atau magnitudo tidak selalu besar, namun karena titik pusatnya dangkal dan dekat dengan permukiman, efek yang dirasakan masyarakat bisa cukup kuat. Karenanya, BMKG selalu menekankan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap skala MMI, yang lebih menggambarkan dampak di permukaan dibanding hanya melihat magnitudo semata.
Selain laporan teknis, BMKG juga tak lupa menyampaikan imbauan kepada masyarakat agar tetap tenang namun waspada. Potensi gempa susulan selalu menjadi perhatian setiap kali terjadi pergerakan lempeng yang memicu gempa awal. Oleh sebab itu, langkah mitigasi seperti memeriksa struktur bangunan, menghindari lokasi rawan longsor, serta menyiapkan jalur evakuasi sangat penting untuk dipahami bersama.
“BMKG mengimbau masyarakat agar tetap waspada terhadap potensi gempa susulan yang mungkin saja terjadi.”
Seruan ini bukan tanpa alasan. Di banyak kasus gempa darat, getaran awal kerap disusul oleh rentetan gempa kecil lainnya, atau bahkan gempa susulan yang magnitudonya bisa lebih besar. Dalam sejarah kegempaan di Indonesia, tidak sedikit kasus di mana gempa awal disusul gempa susulan yang justru menimbulkan kerusakan lebih parah karena terjadi saat masyarakat belum siap.
Seram Bagian Barat sendiri merupakan kawasan dengan keragaman alam dan kepadatan penduduk yang bervariasi. Meski belum ada laporan kerusakan atau korban jiwa akibat gempa ini, kejadian ini menjadi pengingat bahwa kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana harus terus ditingkatkan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan edukasi kebencanaan secara berkelanjutan kepada warga yang tinggal di zona rawan gempa.
Pihak BMKG secara berkala melakukan pembaruan data dan pengamatan terhadap aktivitas seismik di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Maluku. Dengan jaringan sensor gempa yang tersebar luas, informasi kegempaan bisa diketahui dalam hitungan menit setelah kejadian. Namun, kecepatan informasi tetap harus diimbangi dengan kesiapan masyarakat dalam memahami dan menindaklanjuti peringatan dini.
Dalam konteks jangka panjang, pemerintah daerah diharapkan dapat memperkuat sinergi dengan lembaga kebencanaan, tokoh masyarakat, dan dunia pendidikan untuk menciptakan budaya siaga bencana. Pemetaan ulang zona rawan gempa, simulasi evakuasi, hingga penguatan struktur bangunan merupakan bagian dari upaya preventif yang patut digalakkan.
Kejadian ini, meski tidak menimbulkan kerusakan besar, sejatinya adalah sinyal dari alam. Bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di antara tiga lempeng besar dunia selalu berada dalam risiko pergerakan geologi. Dan kesiapsiagaan adalah kunci untuk menyikapinya.