JAKARTA - Ambisi Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk memainkan peran strategis dalam akselerasi ekonomi nasional memasuki babak baru. Lembaga investasi yang berada langsung di bawah Presiden Prabowo Subianto ini disebut tengah menjajaki fasilitas pinjaman berskala besar yang dapat menjadi rekor baru di kawasan Asia Tenggara.
Dalam langkah yang dianggap sangat ambisius, Danantara dilaporkan telah menunjuk empat bank internasional sebagai koordinator untuk penggalangan pinjaman multiganda (multicurrency) dengan nilai total mencapai US$10 miliar. Jika terealisasi, angka ini tidak hanya menunjukkan kekuatan daya tawar Danantara di panggung keuangan global, tetapi juga mengindikasikan strategi fiskal agresif dari pemerintah untuk mendorong pembangunan.
Sumber yang memahami dinamika pembahasan ini menyebut bahwa empat bank tersebut adalah DBS Group Holdings Ltd., HSBC Holdings Plc., Natixis SA, dan Standard Chartered Plc. Kendati belum diumumkan secara resmi, keempat institusi keuangan tersebut diyakini tengah bekerja sama dengan Danantara dalam menyusun skema pendanaan dengan tenor jangka pendek, yakni sekitar tiga hingga lima tahun.
- Baca Juga Lonjakan Penumpang Pelni di Belawan
Langkah ini terkonfirmasi dari laporan sebelumnya yang menyebutkan bahwa Danantara telah mengirimkan proposal ke sejumlah bank regional dan global sebagai bagian dari proses awal pengajuan pinjaman. Proposal tersebut dikabarkan berisi struktur fasilitas pendanaan yang dinilai substansial baik dari sisi nominal maupun tenor.
Menurut catatan analis dari ANZ Banking Group, Viacheslav Shilin dan Ting Meng, “Proposal pinjaman itu nilainya substansial dan tenornya pendek, mengindikasikan tekanan pembayaran yang besar.” Hal ini diungkapkan keduanya dalam laporan strategis kredit kawasan Asia yang dikutip oleh Bloomberg.
Kedalaman nilai pinjaman dan jangka waktu pembayaran yang ketat menjadi sorotan utama analis dan investor. Secara struktural, hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya peningkatan ketergantungan terhadap dividen BUMN sebagai sumber pembiayaan untuk memenuhi kewajiban utang.
Implikasinya, BUMN sebagai penghasil pendapatan negara akan menghadapi tekanan ganda. Di satu sisi, mereka diharapkan menyetor dividen lebih besar untuk menopang kebutuhan likuiditas Danantara, sementara di sisi lain mereka juga memiliki beban operasional dan ekspansi yang harus dibiayai. Ketidakseimbangan ini berpotensi menekan sentimen investor terhadap BUMN Indonesia, khususnya perusahaan terbuka yang menjadi tulang punggung portofolio negara.
Kendati nilai pinjaman yang direncanakan tergolong sangat besar, belum ada konfirmasi resmi dari pihak-pihak terkait. Hingga kini, DBS, HSBC, dan Standard Chartered belum memberikan komentar atas keterlibatan mereka dalam skema pinjaman tersebut. Sementara itu, Danantara dan Natixis juga belum merespons permintaan konfirmasi dari media.
Adapun Danantara merupakan lembaga strategis yang dibentuk untuk mengelola investasi negara dengan orientasi jangka panjang. Lembaga ini dirancang sebagai instrumen utama Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga menyentuh angka 8% selama masa pemerintahannya. Dalam struktur kelembagaan, Danantara memiliki posisi unik karena langsung berada di bawah komando presiden, memungkinkan gerak cepat dalam mengambil keputusan investasi.
Di bawah supervisinya, Danantara membawahi berbagai entitas BUMN strategis, termasuk sektor perbankan, energi, dan infrastruktur. Total dana kelolaan Danantara saat ini diperkirakan telah melampaui US$1 triliun—angka yang menempatkan institusi ini sebagai salah satu manajer aset terbesar di kawasan Asia.
Rencana pengajuan pinjaman jumbo ini juga beriringan dengan target investasi ambisius lainnya. Sebelumnya, Danantara dikabarkan menjadi salah satu penerima dana suntikan besar dari ACWA Power dan Pertamina, dengan total nilai mencapai Rp162 triliun. Ini menjadi sinyal bahwa pemerintah tengah mendorong konsolidasi keuangan dan investasi sebagai pilar utama strategi pembangunan nasional.
Meski belum ada detail resmi terkait alokasi dana dari pinjaman tersebut, diperkirakan bahwa dana akan digunakan untuk mendanai berbagai proyek strategis, termasuk penguatan BUMN sektor energi, transformasi infrastruktur, serta proyek industrialisasi baru yang menjadi prioritas pemerintahan saat ini.
Namun, tantangan utama yang mungkin dihadapi Danantara adalah menjaga keseimbangan antara agresivitas ekspansi dan keberlanjutan fiskal. Mengingat besarnya nilai pinjaman dan tenor yang tergolong pendek, kemampuan pembayaran kembali dalam waktu singkat menjadi sorotan. Ini menuntut optimalisasi kinerja BUMN dan peningkatan efisiensi pada setiap lini usaha yang terlibat dalam struktur investasi negara.
Di tengah belum jelasnya skema akhir dan rincian implementasi, publik dan pelaku pasar masih menantikan transparansi lebih lanjut dari Danantara dan kementerian terkait. Apa pun bentuknya, rencana ini menunjukkan bahwa Indonesia tengah bersiap memasuki era baru dalam pengelolaan investasi negara, dengan pendekatan yang lebih terukur namun juga lebih agresif secara strategis.
Sebagai pengingat, berita ini tidak dimaksudkan untuk menganjurkan keputusan investasi, baik membeli maupun menjual saham atau instrumen keuangan lainnya. Segala keputusan investasi merupakan tanggung jawab masing-masing pihak.