Gas Bumi

Solusi Gas Bumi Bisa Jaga Kelangsungan Industri

Solusi Gas Bumi Bisa Jaga Kelangsungan Industri
Solusi Gas Bumi Bisa Jaga Kelangsungan Industri

JAKARTA - Ketahanan energi nasional tengah berada di persimpangan kritis, terutama terkait pasokan gas bumi untuk industri. Penurunan produksi dari blok-blok migas tua di wilayah Indonesia Barat telah menimbulkan kekhawatiran yang nyata bagi pelaku industri, terutama mereka yang sangat bergantung pada gas sebagai bahan baku dan energi produksi.

Menurut Prof. Tumiran, pakar energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga pernah menjadi anggota Dewan Energi Nasional (DEN), ketidakpastian pasokan gas dapat berdampak serius terhadap keberlangsungan usaha di sektor hilir. “Kalau pasokan gas nggak terjamin dan dia kolaps karena tidak produksi, itu segmen pasar dia bisa hilang. Nah segmen pasar hilang, untuk mengembalikan kepercayaan pasar akan sangat sulit. Tapi yang lebih positif kan orang-orang itu potensi kehilangan lapangan kerja kan terhindarkan. Nah itu harus dijaga, kepentingan sosial ekonomi harus dijaga,” jelas Tumiran.

Gas bumi memiliki peran krusial dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih dari 90 persen pasokan gas dialirkan ke sektor strategis seperti pembangkit listrik, industri petrokimia, pupuk, keramik, alas kaki, dan kaca. Dengan begitu banyak sektor yang bergantung, setiap gangguan pasokan berpotensi menimbulkan efek domino bagi ekonomi nasional.

Salah satu tantangan utama muncul akibat pergeseran sumber gas domestik dari wilayah barat, yang didominasi gas pipa, ke wilayah timur yang menghasilkan Liquefied Natural Gas (LNG). Selain biaya yang lebih tinggi, sebagian besar LNG telah dialokasikan untuk ekspor, sehingga pasokan untuk kebutuhan domestik terbatas. Prof. Tumiran menegaskan, opsi impor gas seharusnya menjadi langkah realistis dalam kondisi kekurangan pasokan. “Kalau memang dari gas dalam negeri itu sudah dialokasikan untuk ekspor seperti dari Tangguh, Bontang, dan lainnya memang sebagian sudah didedikasikan kontrak, ya sudah buka saja pasar impor. Jangan malu,” ujarnya.

Kekhawatiran tidak sebatas pada pasokan semata. Industri yang membutuhkan suhu dan tekanan tinggi, seperti pabrik karet atau petrokimia, mulai merasakan dampak nyata. Beberapa fasilitas bahkan terpaksa berhenti beroperasi karena pasokan gas hanya tersedia sekitar 48 persen dari kebutuhan normal. Ketua Umum Indonesian Rubber Glove Manufacturers Association (IRGMA), Rudy Ramadhan, menyatakan, “Kalau sudah berhenti setop produksi, maka akan ada perumahan tenaga kerja.” Hal ini menegaskan bahwa gangguan pasokan gas tidak hanya soal energi, tetapi juga potensi kehilangan lapangan kerja dalam skala luas.

Di sisi lain, infrastruktur distribusi gas yang dikembangkan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) telah memperluas akses hingga ke industri kecil, rumah tangga, dan UMKM. Sayangnya, perluasan ini tidak diimbangi dengan pasokan yang cukup di sisi hulu. Tumiran menekankan, “Masalahnya PGN saja sekarang kan kesulitan untuk mendapatkan pasokannya kan? Jika pasokan gas tidak bisa dipenuhi, untuk sementara waktu pemerintah bisa membuka peluang impor LNG.”

Pemerintah pun telah menunjukkan kesadaran terhadap isu ini. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pernah menyatakan kemungkinan membuka impor gas untuk industri sebagai respons terhadap tingginya harga gas domestik. Agus menjelaskan, apabila suplai gas nasional tidak mencukupi atau harga tidak sesuai regulasi, sektor industri harus diberikan fleksibilitas untuk memperoleh sumber gas lain, termasuk dari luar negeri. “Ketika bersama presiden, itu sudah disampaikan catatan keputusan, apabila dianggap suplai gas nasional nggak mencukupi baik kualitas dan harga nggak sesuai dengan regulasi. Maka seharusnya HKI atau industri bisa diberikan fleksibilitas yakni mendapat sumber gas lain termasuk dari luar negeri, dengan catatan suplai gas nasional terbatas,” jelas Agus.

Kondisi ini memunculkan dilema: di satu sisi pemerintah ingin menjaga ketahanan energi nasional, di sisi lain industri membutuhkan kepastian pasokan agar tidak kehilangan daya saing dan tenaga kerja. Prof. Tumiran menekankan bahwa membuka keran impor bukanlah langkah yang memalukan, melainkan solusi realistis. “Nggak bisa katakan cukup kalau memang kurang. Jadi itu harus diatasi. Keran impor dibuka saja lah, saya kira nggak masalah,” tambahnya.

Pihak industri kini menunggu langkah konkret dari pemerintah untuk memastikan ketersediaan gas jangka panjang. Pelaku usaha tidak dapat menunggu hingga sumber gas baru ditemukan, sementara kebutuhan operasional tetap berjalan. Dampak langsung dari kelangkaan gas dapat menghambat pertumbuhan sektor hilir, memengaruhi ekspor, dan mengganggu rantai pasok nasional.

Dengan situasi yang semakin genting, membuka opsi impor LNG bisa menjadi solusi cepat. Terlebih, harga LNG global saat ini sedang menurun, memberikan momentum bagi pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan industri tanpa membebani biaya produksi secara signifikan. Langkah ini diharapkan mampu menjaga keberlangsungan industri, menekan risiko PHK, dan memastikan ketahanan energi nasional tetap terjaga.

Krisis pasokan gas bumi ini menjadi pengingat penting bahwa ketahanan energi bukan sekadar isu teknis, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi. Keputusan strategis pemerintah dan kerja sama antara regulator, produsen, dan pengguna gas akan menentukan apakah industri domestik dapat tetap bertahan dan berkembang di tengah tantangan energi yang semakin kompleks.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index