sembako

Dukungan Diperkuat, UMKM Aceh Hadapi Kenaikan Harga Sembako

Dukungan Diperkuat, UMKM Aceh Hadapi Kenaikan Harga Sembako
Dukungan Diperkuat, UMKM Aceh Hadapi Kenaikan Harga Sembako

JAKARTA - Di tengah tantangan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Aceh kini menghadapi tekanan baru. Lonjakan harga sembako yang terjadi secara merata di seluruh Indonesia, termasuk di provinsi paling barat Tanah Air, membuat keberlangsungan usaha kecil kian terancam.

Para pelaku UMKM di Aceh, yang selama ini bergantung pada stabilitas harga bahan pokok seperti beras, telur, dan minyak goreng, kini harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan operasional usahanya. Mereka tidak hanya dibebani oleh menurunnya daya beli konsumen, tetapi juga oleh meningkatnya biaya produksi akibat harga bahan baku yang melonjak.

Kondisi ini mengemuka dalam Dialog Interaktif Banda Aceh Pagi Ini yang disiarkan oleh RRI Banda Aceh. Dalam acara tersebut, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh, Ir. Mohd Tanwir, M.M., menyampaikan bahwa fenomena kenaikan harga sembako bukan hanya terjadi di Aceh, melainkan hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Menurut Tanwir, pemerintah provinsi berkomitmen untuk menstabilkan harga pasar melalui sejumlah langkah konkret. Salah satunya adalah pelaksanaan operasi pasar beras yang akan digelar serentak di 23 kabupaten/kota. “Stok beras nasional masih aman, bahkan Bulog memiliki cadangan empat juta ton. Namun, agar tidak terjadi permainan harga di tingkat bawah, operasi pasar ini perlu digencarkan,” ujarnya.

Tanwir yang turut memantau langsung aktivitas di Pasar Induk Lambaro juga menekankan pentingnya pengawasan agar praktik penimbunan dan permainan harga tidak terjadi di tingkat pedagang.

Sementara itu, Nancy Ekariany, SE, M.Si., Ak, selaku Analis Kebijakan Pertama (AKP) Harga Pangan Dinas Pangan Aceh, menyoroti tren kenaikan harga bahan pokok yang sudah terpantau sejak Juni. Ia menyebutkan bahwa harga eceran beras medium di Aceh saat ini telah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp13.100 per kilogram.

“Rata-rata harga di pasar kini mencapai Rp14.000 hingga Rp15.000 per kilogram. Ini karena pasokan menurun, mengingat kita masih berada di luar musim panen, sementara permintaan tetap tinggi. Ini hukum ekonomi yang memang harus diintervensi lewat kebijakan strategis,” jelas Nancy.

Sebagai langkah taktis, Dinas Pangan Aceh telah menjalin kerja sama dengan koperasi desa dan outlet binaan pemerintah untuk mendistribusikan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) kepada masyarakat. Menurut Nancy, program ini sangat membantu menjaga keseimbangan harga dan menjangkau konsumen secara langsung.

Lebih jauh, Nancy juga menekankan pentingnya pemanfaatan instrumen hukum daerah yang telah tersedia, seperti Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cadangan Pangan, serta Peraturan Gubernur Aceh Nomor 58 Tahun 2023. Kedua regulasi ini dinilai menjadi dasar penting dalam menciptakan sistem ketahanan pangan yang adaptif dan responsif terhadap situasi krisis.

Sorotan tajam juga datang dari kalangan legislatif. Anggota Komisi II DPR Aceh, Fuadri, mengingatkan bahwa penguatan pengawasan serta realisasi regulasi yang telah disahkan menjadi hal mendesak yang harus segera dilakukan. Ia menegaskan, meskipun gudang Bulog memiliki stok beras dalam jumlah besar, namun hal tersebut tidak akan berdampak jika tidak diikuti dengan distribusi yang efektif ke masyarakat.

“Kami di DPR Aceh akan terus mendorong penyaluran cadangan beras Bulog agar tidak disimpan terlalu lama. Jangan sampai gudang penuh tapi rakyat kesulitan. Pemerintah harus proaktif, bukan hanya reaktif,” tegas Fuadri.

Menurut Fuadri, implementasi nyata dari Kanun Cadangan Pangan dan Kanun Distribusi Pangan harus dimulai dari alokasi anggaran dalam APBA Perubahan 2025. Tanpa dukungan anggaran, regulasi hanya akan menjadi dokumen tanpa kekuatan.

Kondisi sulit yang dihadapi pelaku UMKM saat ini menjadi pengingat pentingnya koordinasi lintas sektor dalam menjaga stabilitas harga bahan pokok. Selain itu, perlu pendekatan kebijakan yang tidak hanya bersifat jangka pendek seperti operasi pasar, tetapi juga langkah berkelanjutan yang menjamin ketersediaan pasokan di tengah fluktuasi harga global maupun regional.

UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Aceh memiliki peran vital dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Oleh karena itu, menjaga keberlangsungan usaha mereka merupakan tanggung jawab kolektif semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, lembaga legislatif, hingga instansi teknis di lapangan.

Dalam jangka panjang, penguatan sistem distribusi pangan, dukungan terhadap koperasi dan sektor pertanian lokal, serta peningkatan transparansi dalam rantai pasok harus menjadi prioritas. Ketahanan ekonomi masyarakat, khususnya di Aceh, sangat bergantung pada kebijakan strategis yang berpihak pada rakyat kecil dan pelaku UMKM.

Lonjakan harga sembako yang terus terjadi seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem pengendalian harga dan distribusi pangan yang masih rawan celah. Dengan gerak cepat dan kolaborasi yang solid, krisis ini bisa diatasi dan UMKM tetap bisa menjadi motor penggerak ekonomi daerah.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index