Anies Baswedan

Anies Baswedan: Sejarah Indonesia Harus Objektif

Anies Baswedan: Sejarah Indonesia Harus Objektif
Anies Baswedan: Sejarah Indonesia Harus Objektif

JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia memicu perbincangan luas di kalangan tokoh nasional, akademisi, dan masyarakat. Salah satu suara kritis datang dari mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, yang mengingatkan pentingnya menjaga integritas dan objektivitas dalam proses penulisan ulang tersebut.

Menurut Anies, sejarah adalah rekam jejak sebuah bangsa yang harus diungkap secara lengkap dan jujur. Ia mengingatkan bahwa dalam setiap proses penyusunan ulang dokumen sejarah, prinsip objektivitas mutlak diperlukan agar masa lalu bangsa tidak direkayasa atau dipoles sedemikian rupa hanya untuk kepentingan tertentu.

“Penting untuk tidak mengurangi dan juga tidak menambah, tapi lengkap apa adanya, sehingga sejarah menjadi pelajaran,” ujar Anies dalam sebuah kesempatan di Jakarta.

Ia menekankan bahwa keberhasilan suatu bangsa dalam sejarahnya dapat menjadi kebanggaan bersama, namun kekurangan atau kegagalan pun patut dicatat sebagai bahan evaluasi. Menurutnya, dua sisi ini adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah suatu bangsa.

“Keberhasilan jadi kebanggaan, dan kekurangan jadi bahan untuk koreksi. Itulah perjalanan bangsa,” tegas Anies.

Pandangan ini disampaikan seiring dengan bergulirnya wacana pemerintah untuk melakukan penulisan ulang sejarah Indonesia, yang kini tengah dalam tahap persiapan. Isu ini semakin mengemuka karena banyak kalangan menilai sejarah Indonesia yang selama ini diajarkan di sekolah masih menyimpan banyak celah, bahkan ada bagian yang cenderung disederhanakan atau dihilangkan.

Dalam tanggapannya, Anies juga menyoroti pentingnya kelengkapan data dan narasi. Baginya, seluruh peristiwa yang telah terjadi di negeri ini—baik masa kejayaan maupun masa sulit—harus dihadirkan secara adil dalam buku sejarah.

“Objektivitas, kelengkapan atas semua peristiwa yang terjadi, bangsa manapun ada masa jaya, ada prestasi yang dibanggakan, ada problem yang harus dikoreksi, dan kesemuanya adalah bagian dari sejarah,” tuturnya.

Anies bahkan mengibaratkan sejarah bangsa seperti sejarah pribadi manusia yang tak hanya dipenuhi oleh kesuksesan, tetapi juga kesalahan dan kekecewaan. Semua itu, menurutnya, adalah pelajaran berharga yang tidak boleh dihapus.

“Manusia juga begitu, ada prestasi, ada mungkin kalian berfrustrasi, dan itu bagian jadi sejarah pribadi. Itu pesan saya,” lanjut Anies.

Rencana penulisan ulang sejarah ini mendapat perhatian khusus dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan, DPR melalui Komisi X membentuk tim supervisi untuk memastikan prosesnya berjalan dengan akuntabel dan terbuka. Ketua DPR RI, Puan Maharani, sebelumnya juga menekankan agar dalam proses penulisan sejarah ulang ini tidak terjadi pengaburan sejarah.

Fadli Zon, yang kini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, menyambut positif langkah DPR tersebut. Ia menyebut pembentukan tim supervisi sebagai bagian dari fungsi pengawasan lembaga legislatif terhadap program pemerintah, khususnya dalam hal yang menyangkut warisan intelektual bangsa.

“Ya baguslah. Ini kan memang tugas DPR untuk melakukan supervisi, termasuk dari Komisi X sendiri,” kata Fadli Zon menanggapi pembentukan tim tersebut.

Sebagai bagian dari upaya memastikan transparansi, pemerintah dan DPR juga telah merencanakan pelaksanaan uji publik terhadap naskah-naskah sejarah yang akan disusun ulang. Kegiatan ini diharapkan menjadi ruang dialog antara pemerintah, sejarawan, akademisi, dan masyarakat umum, agar proses penulisan ulang benar-benar mencerminkan semangat kebangsaan yang inklusif dan faktual.

Agenda ini dianggap strategis oleh banyak pihak, mengingat sejarah bukan hanya narasi masa lalu, melainkan pondasi identitas bangsa yang membentuk pola pikir generasi masa depan. Oleh karena itu, proses penyusunan ulang sejarah bukan sekadar aktivitas administratif, melainkan menyangkut arah pendidikan nasional dan pembentukan karakter kebangsaan.

Kekhawatiran publik muncul bukan tanpa alasan. Selama ini, kritik kerap dilontarkan terhadap narasi sejarah nasional yang dianggap terlalu didominasi oleh sudut pandang tertentu, sementara kontribusi atau penderitaan kelompok lain kerap diabaikan. Sebagian kalangan akademisi bahkan menilai bahwa sejarah Indonesia perlu direvisi bukan untuk kepentingan politik, tetapi demi akurasi dan keadilan sejarah.

Di tengah proses yang masih berlangsung ini, seruan seperti yang disampaikan Anies Baswedan menjadi pengingat penting bagi semua pemangku kebijakan. Bahwa sejarah bukanlah milik satu rezim, kelompok, atau tokoh, melainkan milik bersama yang harus dijaga keasliannya. Setiap catatan sejarah memiliki dampak jangka panjang terhadap cara generasi mendatang memahami jati dirinya dan perjalanan bangsanya.

Dengan begitu, wacana penulisan ulang sejarah Indonesia seharusnya tidak hanya menjadi program pemerintah semata, tapi juga melibatkan partisipasi publik yang luas. Hanya dengan keterlibatan berbagai pihak, mulai dari sejarawan, budayawan, akademisi, hingga masyarakat sipil, maka sejarah yang ditulis akan mencerminkan keberagaman pengalaman dan kebenaran yang utuh.

Kritik, saran, dan pengawasan terhadap proses ini menjadi penting agar sejarah Indonesia benar-benar menjadi cermin bangsa bukan sekadar cerita yang menyenangkan dibaca, tetapi juga jujur, akurat, dan menjadi alat refleksi kolektif.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index