Dokter

Dokter Ingatkan Bahaya Myasthenia Gravis

Dokter Ingatkan Bahaya Myasthenia Gravis
Dokter Ingatkan Bahaya Myasthenia Gravis

JAKARTA - Kelelahan dan gangguan penglihatan sering dianggap sepele. Namun, bagi penderita Myasthenia Gravis (MG), gejala ringan tersebut bisa menjadi pertanda penyakit serius yang mengancam nyawa. Myasthenia Gravis merupakan penyakit autoimun kronis yang menyerang sistem neuromuskular, menyebabkan kelemahan otot yang dapat berujung pada komplikasi fatal jika tidak ditangani tepat waktu.

Dokter Spesialis Saraf RSCM, dr. Ahmad Yanuar Safri, SpS(K), mengingatkan bahwa Myasthenia Gravis tidak hanya berbahaya bagi kesehatan fisik, tetapi juga dapat menurunkan produktivitas secara signifikan. “Selain dapat menyebabkan kematian, penyakit ini juga menurunkan produktivitas kerja, membatasi aktivitas sosial, dan pada akhirnya menimbulkan dampak ekonomi dan sosial bagi pasien, keluarga, dan sistem kesehatan,” ujarnya dalam pernyataan di Jakarta.

Penyakit MG sering disamakan dengan rasa lelah biasa. Gejala seperti kelopak mata yang turun, pandangan ganda, suara serak atau sengau, serta kesulitan menelan sering kali diabaikan. Sayangnya, keterlambatan penanganan dapat menimbulkan risiko krisis miastenik atau bahkan gagal napas, kondisi gawat darurat yang membutuhkan penanganan intensif.

dr. Ahmad Yanuar menegaskan pentingnya pengobatan yang tepat dan berkelanjutan untuk pasien MG. Tanpa pengobatan rutin, pasien berisiko mengalami penurunan kualitas hidup yang drastis. Ia juga menyoroti tantangan akses pengobatan yang masih menjadi hambatan bagi sebagian penderita. “Pasien MG memerlukan pengobatan yang tepat, konsisten, dan terjangkau untuk dapat mempertahankan kualitas hidup yang optimal. Ketersediaan dan akses pengobatan menjadi aspek krusial,” jelasnya.

Sementara itu, Dokter Spesialis Saraf dari RS Brawijaya Saharjo, dr. Zicky Yombana, Sp.S, mengungkapkan keprihatinannya terhadap rendahnya kesadaran masyarakat terhadap gejala awal MG. Ia menilai, banyak orang kerap menyepelekan gejala ringan seperti turunnya kelopak mata atau perubahan suara yang dianggap sebagai kelelahan semata.

“Di era digital, tidak sedikit masyarakat yang terjebak dalam jebakan 'Dokter Google'. Mereka sering mendiagnosis diri sendiri tanpa berkonsultasi dengan tenaga medis yang kompeten, sehingga diagnosis dan pengobatan tertunda,” ujarnya.

Dokter Zicky juga membagikan pengalamannya sebagai dokter sekaligus pasien MG. Ia menekankan pentingnya deteksi dini untuk mencegah kondisi penyakit semakin memburuk. “Sebagai dokter sekaligus pasien, saya tahu persis betapa pentingnya diagnosis dini. Jika Anda merasakan kelemahan otot yang hilang timbul, segera berkonsultasi dengan dokter saraf. Inilah kunci mencegah komplikasi seperti krisis miastenik dan tetap menjalani kehidupan produktif,” tegasnya.

Kampanye untuk meningkatkan kesadaran terhadap Myasthenia Gravis tidak hanya disuarakan oleh kalangan medis, tetapi juga oleh kalangan industri kesehatan. Presiden Direktur Menarini Indonesia, Idham Hamzah, mengajak berbagai pihak untuk aktif berperan dalam menyebarluaskan edukasi tentang MG.

“Perlu keterlibatan semua pemangku kepentingan untuk mengedukasi masyarakat mengenai Myasthenia Gravis. Kita harus bersama-sama mengurangi keterlambatan diagnosis dan memastikan pasien mendapatkan terapi yang tepat secara berkelanjutan,” jelas Idham.

Penting untuk diketahui bahwa Myasthenia Gravis menyerang siapa saja tanpa memandang usia dan jenis kelamin, meskipun lebih sering ditemukan pada wanita muda dan pria di atas usia 60 tahun. Penyakit ini terjadi ketika sistem imun memproduksi antibodi yang mengganggu komunikasi antara saraf dan otot, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk berkontraksi secara normal.

Gejala MG dapat bervariasi antar individu, namun keluhan umum yang sering muncul meliputi:

Kelemahan otot yang memburuk setelah beraktivitas dan membaik saat beristirahat,

Kelopak mata turun (ptosis),

Penglihatan ganda (diplopia),

Kesulitan berbicara, mengunyah, atau menelan,

Otot wajah melemah hingga kesulitan mengekspresikan mimik wajah,

Dalam kasus berat, dapat menyebabkan gangguan pernapasan.

Meski belum ada obat yang dapat menyembuhkan MG sepenuhnya, terapi yang tepat dapat membantu mengontrol gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Pengobatan dapat berupa obat imunosupresif, kortikosteroid, hingga terapi imunoglobulin dan plasmapheresis untuk kasus berat. Selain pengobatan, terapi suportif seperti fisioterapi juga dianjurkan.

Para ahli menekankan bahwa deteksi dini adalah kunci untuk mencegah kecacatan akibat MG. Jika dibiarkan tanpa penanganan, MG dapat menimbulkan risiko kesehatan serius, mulai dari gangguan penglihatan permanen, kesulitan berbicara, hingga kematian akibat gagal napas.

Dukungan keluarga, lingkungan kerja, serta sistem kesehatan juga menjadi faktor penting dalam pengelolaan MG. Mengingat dampaknya yang luas, baik dari sisi medis maupun sosial, edukasi masyarakat tentang penyakit ini harus terus digalakkan.

Dengan pengobatan yang tepat dan kesadaran yang meningkat, para penyintas MG dapat tetap menjalani hidup aktif dan produktif. Deteksi dini, akses pengobatan yang merata, serta dukungan moral adalah pondasi penting untuk membantu mereka mengelola kondisi kronis ini dengan lebih baik.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index