BYD

Evaluasi Subsidi EV Dorong Transparansi Industri Otomotif Tiongkok, BYD Siap Berbenah

Evaluasi Subsidi EV Dorong Transparansi Industri Otomotif Tiongkok, BYD Siap Berbenah
Evaluasi Subsidi EV Dorong Transparansi Industri Otomotif Tiongkok, BYD Siap Berbenah

JAKARTA - Di tengah upaya masif pemerintah Tiongkok dalam mendorong transisi kendaraan ramah lingkungan, muncul kabar yang mencoreng kepercayaan terhadap dua raksasa otomotif negeri Tirai Bambu. Temuan audit dari Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi (MIIT) Tiongkok menyoroti penyimpangan dana subsidi kendaraan listrik oleh BYD Co. dan Chery Automobile Co., dua merek yang selama ini dikenal sebagai pionir dalam pengembangan mobil listrik domestik.

Temuan ini menyiratkan bahwa tidak semua pelaku industri menjalankan prinsip keberlanjutan dengan cara yang transparan. Justru, dorongan agresif pemerintah lewat insentif keuangan besar-besaran tampaknya menjadi celah yang dimanfaatkan sebagian produsen secara tidak semestinya.

Menurut laporan audit tersebut, praktik penyalahgunaan subsidi yang dilakukan kedua perusahaan berlangsung sejak tahun 2020. Angka yang dilaporkan tidak kecil—disebut-sebut nilai total subsidi yang digelapkan mencapai USD 53 juta, atau jika dikonversi ke rupiah, setara sekitar Rp860 miliar. Jumlah ini mewakili klaim subsidi atas kendaraan yang seharusnya tidak memenuhi syarat untuk menerima dukungan pemerintah.

Dalam laporan yang sama dijelaskan, dari 21.725 unit kendaraan yang dinilai tidak layak menerima subsidi, Chery bertanggung jawab atas 7.663 unit, sementara BYD menyumbang 4.973 unit. Jika digabungkan, kedua perusahaan menyumbang hampir 60% dari total kendaraan yang diklaim tidak sesuai dengan syarat penerima subsidi.

Kriteria utama yang dilanggar adalah tidak terpenuhinya persyaratan minimum jarak tempuh kendaraan yang disyaratkan oleh kebijakan subsidi EV Tiongkok. Pemerintah pun dengan tegas meminta BYD dan Chery mengembalikan dana subsidi yang telah diklaim secara tidak sah.

Langkah keras tersebut tentu memberikan tekanan tambahan bagi para produsen kendaraan listrik. Industri otomotif Tiongkok sendiri saat ini tengah menghadapi sejumlah tantangan besar, mulai dari kelebihan kapasitas produksi, tekanan perang harga berkepanjangan, hingga penurunan margin keuntungan yang memicu friksi antara produsen, diler, dan pemasok.

Regulasi baru pun mulai diberlakukan oleh pemerintah, terutama menyangkut kontrol harga dan pengurangan kapasitas produksi yang dianggap tidak efisien. Langkah ini sekaligus menjadi sinyal bahwa pemerintah bertekad membereskan ekosistem industri kendaraan listrik, termasuk menertibkan penerima manfaat dari subsidi energi baru.

Skema subsidi yang diberikan Tiongkok memang merupakan salah satu yang paling agresif di dunia. Sejak tahun 2009, pemerintah menyediakan dana miliaran dolar untuk mendorong pengembangan dan adopsi kendaraan energi baru (NEV). Kategori ini mencakup mobil listrik murni (BEV), plug-in hybrid, dan kendaraan berbahan bakar hidrogen (fuel cell).

Tujuan utamanya adalah mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, menekan polusi udara, dan memposisikan Tiongkok sebagai pemimpin global dalam teknologi otomotif bersih. Insentif ini juga telah membuat produsen seperti BYD dan Chery bisa berkembang pesat dalam waktu singkat.

Hasil dari program ini memang cukup impresif. Sejak awal 2025, penjualan kendaraan energi baru di pasar domestik Tiongkok secara konsisten telah melampaui penjualan kendaraan konvensional berbahan bakar bensin. Ini menjadi titik balik dalam sejarah otomotif global.

Namun, keberhasilan ini kini dibayangi oleh dugaan penyimpangan penggunaan dana publik. Kasus BYD dan Chery menjadi perhatian besar karena menunjukkan bahwa insentif pemerintah, meski dirancang untuk tujuan mulia, tetap memiliki potensi disalahgunakan jika pengawasannya tidak ketat.

Pemerintah Tiongkok tampaknya tak akan tinggal diam. Meski hingga kini belum ada sanksi publik seperti denda atau larangan operasional, permintaan pengembalian dana subsidi menjadi langkah awal untuk menegakkan disiplin dan akuntabilitas dalam industri yang tengah berkembang pesat.

Selain itu, dinamika industri kendaraan listrik kini juga dipengaruhi oleh kompetisi global yang semakin ketat. Pabrikan dari Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan Korea Selatan terus meningkatkan daya saingnya, baik dari sisi teknologi, efisiensi baterai, maupun harga. Oleh karena itu, reputasi menjadi aset yang sangat penting—dan skandal seperti ini berisiko menggerusnya secara signifikan.

Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, merek seperti BYD telah melakukan ekspansi besar-besaran ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Kehadiran produk-produk seperti BYD Seal, Chery Omoda E5, atau Chery C5 di pasar Asia Tenggara juga turut memperkuat posisi perusahaan-perusahaan Tiongkok dalam peta otomotif global.

Konsumen di luar Tiongkok pun semakin kritis. Isu terkait etika bisnis, kepatuhan terhadap regulasi, dan komitmen terhadap keberlanjutan kini menjadi bahan pertimbangan utama dalam keputusan pembelian. Maka tak heran jika publik menyoroti kasus ini dengan tajam, meskipun skalanya masih berada dalam konteks audit internal pemerintah.

Sebagai respons terhadap kondisi ini, industri otomotif Tiongkok kemungkinan besar akan melihat penguatan regulasi pengawasan subsidi dan kriteria sertifikasi kendaraan EV dalam waktu dekat. Diperlukan pula sistem pelaporan dan evaluasi yang lebih transparan agar penyaluran subsidi tidak lagi disalahgunakan demi keuntungan sesaat.

Kasus ini juga menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lain termasuk Indonesia yang sedang mengembangkan industri kendaraan listrik dan tengah menyiapkan insentif serupa. Bahwa di balik program ambisius, dibutuhkan pengawasan ketat, mekanisme evaluasi berkala, serta sanksi tegas bagi pelanggaran agar tujuan besar transisi energi tidak dikorbankan oleh kepentingan jangka pendek.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index