JAKARTA - Saat pemerintah mengumumkan rencana untuk menaikkan anggaran subsidi listrik menjadi Rp104,97 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, beragam tanggapan pun bermunculan. Salah satu kritik tajam datang dari pengamat kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, yang menilai bahwa peningkatan alokasi subsidi tersebut berpotensi besar tidak tepat sasaran dan bisa memperlebar jurang defisit anggaran negara.
Alih-alih menyambut baik kenaikan subsidi tersebut sebagai upaya perlindungan masyarakat berpenghasilan rendah, Achmad justru mempertanyakan efektivitas alokasi anggaran tersebut dalam konteks belanja negara yang berkelanjutan. Menurutnya, pembengkakan anggaran subsidi, jika tidak dikelola secara akurat dan tepat sasaran, hanya akan menjadi beban fiskal yang tidak produktif.
“Anggaran subsidi sebesar Rp104,97 triliun ini akan menambah beban anggaran negara yang berpotensi mendorong terjadinya defisit,” ujar Achmad dalam keterangan yang dikutip media, Senin 08 JULI 2025.
- Baca Juga Target Produksi Batu Bara 2025
Anggaran Subsidi Listrik Naik, Siapa yang Diuntungkan?
Rencana kenaikan subsidi listrik ini merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam menghadapi risiko ekonomi global serta menjaga daya beli masyarakat. Subsidi tersebut ditujukan untuk menahan laju inflasi, terutama di sektor energi rumah tangga dan usaha mikro.
Namun, berdasarkan evaluasi di tahun-tahun sebelumnya, realisasi subsidi energi, termasuk listrik, kerap tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat miskin dan rentan. Banyak kelompok masyarakat menengah yang masih menikmati tarif subsidi karena kelemahan dalam basis data penerima manfaat.
Achmad menekankan pentingnya verifikasi data dan evaluasi sistem penyaluran subsidi sebelum pemerintah menyetujui alokasi sebesar itu dalam RAPBN.
“Pemerintah harus memastikan bahwa subsidi tersebut hanya diterima oleh masyarakat yang berhak, bukan oleh mereka yang sebenarnya mampu membayar listrik sesuai tarif keekonomian,” katanya.
Ia menambahkan bahwa subsidi yang tidak tepat sasaran hanya akan menurunkan efektivitas fiskal negara dan membuat pengeluaran negara menjadi tidak efisien.
Risiko Fiskal: Mengulang Pola Lama?
Masalah subsidi yang tidak efisien bukan hal baru dalam manajemen fiskal Indonesia. Dalam banyak kasus, lonjakan anggaran subsidi sering kali tidak diiringi dengan hasil konkret dalam menurunkan beban ekonomi masyarakat miskin.
Menurut Achmad, pemerintah semestinya belajar dari pengalaman masa lalu dan mulai mengarahkan kebijakan subsidi ke arah subsidi tertutup, seperti yang pernah dirancang dalam beberapa program subsidi energi sebelumnya. Sistem subsidi tertutup memungkinkan penyaluran bantuan secara langsung kepada kelompok sasaran yang telah terverifikasi melalui data kependudukan dan sosial ekonomi.
“Subsidi terbuka seperti ini sudah seharusnya digantikan dengan subsidi tertutup. Dengan sistem yang lebih tepat sasaran, potensi kebocoran dan penyalahgunaan dapat diminimalkan,” ujar Achmad lagi.
Alternatif Kebijakan: Efisiensi vs Subsidi
Pakar kebijakan publik itu juga menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pendekatan alternatif untuk mengurangi beban subsidi listrik secara keseluruhan. Salah satunya adalah dengan mendorong efisiensi energi dan memperluas akses terhadap energi terbarukan, terutama di wilayah terpencil dan belum teraliri jaringan listrik PLN secara penuh.
Achmad menilai bahwa dengan memprioritaskan investasi pada infrastruktur energi berbasis terbarukan, pemerintah bisa mengurangi ketergantungan pada subsidi jangka panjang dan mendorong kemandirian energi masyarakat.
Ia juga menyoroti bahwa dalam konteks transisi energi, alokasi subsidi yang besar terhadap listrik berbasis fosil bisa jadi kontraproduktif terhadap target pengurangan emisi karbon nasional.
“Jika pemerintah ingin serius dalam agenda transisi energi, maka subsidi harus diarahkan untuk mendukung pembangunan energi bersih, bukan memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil bersubsidi,” tegasnya.
Pemerintah Diminta Jujur dan Transparan
Kritik Achmad juga menyorot aspek transparansi anggaran. Ia meminta agar pemerintah membuka data dan proyeksi penggunaan subsidi listrik tersebut secara terbuka ke publik. Menurutnya, transparansi bukan hanya soal akuntabilitas, tapi juga untuk memastikan bahwa anggaran negara digunakan secara efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
“Jangan sampai ada publikasi besar-besaran soal kenaikan subsidi, tetapi tidak ada kejelasan ke mana alokasi itu mengalir, dan siapa yang menikmatinya. Ini penting agar rakyat bisa menilai kebijakan secara objektif,” ujarnya.
Perlu Evaluasi Komprehensif
Rencana pemerintah menaikkan subsidi listrik tahun 2026 memang dimaksudkan untuk menjaga stabilitas sosial dan daya beli masyarakat, terutama kelompok ekonomi lemah. Namun, jika tidak diikuti dengan mekanisme pengawasan dan verifikasi yang ketat, kebijakan tersebut justru berisiko menjadi bumerang fiskal.
Achmad Nur Hidayat sebagai pengamat kebijakan publik mengingatkan bahwa keberpihakan pada rakyat kecil seharusnya tidak diwujudkan dalam bentuk subsidi yang tidak terukur dan rentan salah sasaran, melainkan melalui kebijakan yang cermat, tepat guna, dan berkelanjutan secara fiskal.
“Keadilan sosial dalam pengelolaan anggaran negara hanya bisa tercapai jika pemerintah menggunakan data yang akurat dan kebijakan yang rasional. Subsidi boleh ada, tapi harus tepat sasaran dan dikelola dengan disiplin anggaran,” tutup Achmad.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, publik kini menunggu tindak lanjut dari pemerintah dan DPR dalam pembahasan RAPBN 2026, khususnya soal bagaimana subsidi listrik ini akan diarahkan agar benar-benar menyentuh masyarakat yang paling membutuhkan, tanpa menambah beban fiskal negara yang semakin berat.