KORPORASI

DPR Desak Kejaksaan Agung Berani Tindak Korporasi dalam Kasus Korupsi

DPR Desak Kejaksaan Agung Berani Tindak Korporasi dalam Kasus Korupsi
DPR Desak Kejaksaan Agung Berani Tindak Korporasi dalam Kasus Korupsi

JAKARTA - Isu korupsi di Indonesia telah menjadi sorotan utama publik selama bertahun-tahun. Meski banyak pelaku individu yang telah ditangkap dan diadili, penindakan terhadap entitas korporasi yang terlibat dalam praktik lancung tersebut dinilai masih sangat minim. Hal ini memicu kekhawatiran sejumlah kalangan di legislatif yang mendesak agar pendekatan hukum yang lebih progresif dan menyeluruh diterapkan.

Salah satu suara yang lantang dalam mendorong pendekatan hukum korporatif datang dari Anggota Komisi III DPR RI, Syarifuddin Sudding. Ia menilai bahwa aparat penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Agung, perlu lebih berani mengungkap dan menjerat pelaku tindak pidana korporasi dalam berbagai kasus korupsi, bukan hanya sekadar memenjarakan individu pelaku.

“Kejaksaan Agung harus mengungkap tindak pidana korporasi dari sebuah kasus korupsi yang dilakukan oleh koruptor,” tegas Sudding.

Penindakan Terbatas: Saat Korporasi Luput dari Jeratan Hukum

Selama ini, kecenderungan penegakan hukum terhadap korupsi masih terfokus pada individu: pejabat negara, birokrat, atau pengusaha sebagai perseorangan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak kasus korupsi justru melibatkan perusahaan atau korporasi yang memfasilitasi, memanfaatkan, bahkan menjadi pusat dari kejahatan itu sendiri.

Sudding menyoroti bahwa penjeratan hukum terhadap korporasi sangat jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Padahal, menurutnya, dalam sistem hukum Indonesia, sudah ada landasan yang memungkinkan penegakan hukum terhadap badan hukum atau korporasi yang terbukti bersalah.

“Selama ini pendekatan hukum terhadap korupsi terlalu individualistik. Ini membuat korporasi yang turut diuntungkan dari kejahatan tersebut bisa dengan mudah lepas dari jeratan hukum. Ini celah besar dalam sistem kita,” ujarnya.

Landasan Hukum Sudah Ada, Mengapa Masih Ragu?

Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang memungkinkan penindakan terhadap tindak pidana korporasi. Pasal-pasal dalam KUHP, UU Tipikor, serta Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 sudah mengatur tentang tata cara penanganan perkara pidana dengan terdakwa korporasi.

Namun, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Dalam praktiknya, hanya segelintir kasus yang berhasil membawa korporasi ke kursi pesakitan. Bahkan ketika korporasi tersebut disebut-sebut dalam dakwaan, proses hukum biasanya berhenti sampai pada eksekusi terhadap individu yang bertindak atas nama perusahaan.

“Kalau kita lihat regulasinya, tidak ada alasan untuk tidak menjerat korporasi. Jadi ini bukan soal hukum, tapi soal kemauan,” kata Sudding menegaskan.

Akuntabilitas Perusahaan: Celah Kepatuhan yang Tak Tersentuh

Sudding juga menyinggung bahwa dalam banyak kasus korupsi, peran korporasi bukan sekadar sebagai perantara, melainkan justru sebagai inisiator atau aktor utama. Dari praktik suap untuk memenangkan tender, penggelapan dana proyek, hingga rekayasa laporan keuangan—semua itu dilakukan dalam struktur perusahaan yang rapi dan terencana.

Namun, tanpa adanya jeratan hukum langsung kepada entitas bisnis, maka pemulihan kerugian negara pun menjadi tidak maksimal. Selain itu, efek jera yang seharusnya menjadi dampak dari penegakan hukum pun tidak tercipta.

“Yang kita inginkan adalah pembenahan sistemik. Kalau korporasi tidak disentuh, maka akan selalu ada jalan untuk mengulangi kejahatan itu dalam bentuk yang lain,” kata Sudding.

Perlunya Paradigma Baru dalam Penegakan Hukum

Desakan untuk menindak korporasi tidak bisa dilihat sebagai langkah menghukum sektor bisnis, melainkan sebagai bentuk penegakan integritas dalam dunia usaha. Hal ini menjadi penting dalam menciptakan iklim investasi yang sehat dan bebas dari praktik suap atau kolusi.

Langkah Kejaksaan Agung untuk lebih aktif menelusuri keterlibatan badan hukum dalam kasus korupsi dinilai akan membuka babak baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Korporasi yang terbukti melakukan praktik curang harus bertanggung jawab secara hukum, baik melalui denda, pencabutan izin, maupun restrukturisasi manajemen.

“Pemerintah dan penegak hukum harus mengedepankan prinsip keadilan korporatif. Jangan sampai hanya rakyat kecil yang dihukum, sementara perusahaan besar yang menikmati keuntungan dari korupsi malah tidak tersentuh,” tegas anggota DPR dari Fraksi PAN tersebut.

Harapan Akan Transparansi dan Reformasi Penegakan Hukum

Langkah-langkah reformasi sistem peradilan pidana korporasi juga dinilai penting untuk menjawab tuntutan masyarakat atas keadilan. Sudding menegaskan bahwa DPR akan terus mengawasi kerja Kejaksaan Agung, serta mendukung setiap langkah progresif yang dilakukan untuk menindak tegas para pelaku kejahatan terorganisir, termasuk dari sektor korporasi.

Selain itu, ia juga mendorong agar kasus-kasus korupsi besar yang selama ini hanya menyentuh level individu segera dibuka ulang untuk ditelusuri kemungkinan keterlibatan badan usaha.

“Jangan sampai kita hanya menyalahkan oknum, padahal sistemnya memang cacat karena dikendalikan oleh kepentingan perusahaan,” ujar Sudding.

Membongkar Jaringan, Bukan Sekadar Menjatuhkan Satu Nama

Apa yang disampaikan Syarifuddin Sudding sejatinya merupakan refleksi dari kritik publik yang selama ini menganggap pemberantasan korupsi berjalan setengah hati. Ketika korupsi dilakukan secara sistemik dan melibatkan struktur perusahaan, maka penanganannya pun harus bersifat struktural dan menyeluruh.

Mendorong Kejaksaan Agung untuk menindak korporasi bukan semata demi ekspos media, melainkan untuk menciptakan efek jera yang nyata, pemulihan kerugian negara yang optimal, dan penataan ulang praktik bisnis yang lebih etis dan bertanggung jawab.

Saatnya pendekatan hukum tidak hanya berhenti pada satu atau dua pelaku individu, tetapi berani menelusuri alur dana, jaringan pelaku, dan kekuatan institusional yang menopang praktik korupsi itu sendiri—termasuk di dalamnya, korporasi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index