Anggota DPR Soroti Masalah Pascatambang di Sumsel: Kasus PT MPC Dinilai Hanya Puncak Gunung Es

Selasa, 27 Mei 2025 | 09:18:23 WIB
Anggota DPR Soroti Masalah Pascatambang di Sumsel: Kasus PT MPC Dinilai Hanya Puncak Gunung Es

JAKARTA - Isu lingkungan akibat aktivitas pertambangan kembali menjadi sorotan tajam di Sumatera Selatan. Menyusul kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, ke lokasi bekas tambang milik PT Musi Prima Coal (MPC) di Desa Gunung Raja, Kecamatan Empat Petulai Dangku, anggota Komisi XII DPR RI, Yulian Gunhar, menyampaikan apresiasi sekaligus peringatan keras atas persoalan lingkungan yang meluas di wilayah tersebut.

Dalam kunjungan yang berlangsung pada Minggu 25 MEI 2025, Menteri Hanif mencatat adanya sekitar 400 hingga 500 hektare lahan pascatambang milik PT MPC yang belum dilakukan pemulihan atau reklamasi sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Temuan ini memperkuat kekhawatiran publik terkait minimnya kepatuhan korporasi terhadap kewajiban lingkungan pasca eksploitasi sumber daya alam.

Yulian Gunhar mengapresiasi langkah cepat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang turun langsung ke lapangan dan menginventarisasi kondisi riil lahan pascatambang yang terbengkalai. Namun, ia mengingatkan bahwa penanganan tidak boleh berhenti hanya pada satu perusahaan saja.

“Kasus PT MPC hanyalah puncak gunung es. Ada banyak perusahaan lain di Sumatera Selatan yang bermasalah serupa. Salah satunya adalah PT Tanjung Belit Bara Energi (TBBE) di Gunung Megang. Semua harus diperiksa dan ditindak tegas,” tegas Gunhar dalam pernyataan resminya, Selasa (27/5/2025).

Permasalahan Pascatambang di Sumsel: Sistemik dan Luas

Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi penghasil batu bara terbesar di Indonesia, dengan puluhan perusahaan tambang yang beroperasi di berbagai kabupaten. Namun, tingginya aktivitas pertambangan tidak selalu dibarengi dengan tanggung jawab lingkungan yang memadai. Data sementara menunjukkan bahwa ribuan hektare bekas tambang di wilayah ini belum direklamasi atau dikembalikan ke fungsi ekologis sebagaimana mestinya.

Menurut Gunhar, situasi ini mengindikasikan adanya kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum. Banyak perusahaan yang setelah selesai menambang, meninggalkan lahan dalam kondisi rusak, tidak aman, dan bahkan berpotensi membahayakan masyarakat sekitar.

“Kalau tidak ada tindakan tegas, maka ini akan terus menjadi preseden buruk. Perusahaan hanya mengambil keuntungan dan meninggalkan beban lingkungan kepada masyarakat dan pemerintah daerah,” ujar Gunhar.

Ancaman Lingkungan dan Keselamatan Masyarakat

Lahan-lahan bekas tambang yang tidak direklamasi menyimpan berbagai risiko lingkungan dan sosial. Lubang tambang yang dibiarkan terbuka dapat menjadi kolam raksasa yang mengancam keselamatan warga, terutama anak-anak. Selain itu, kontaminasi air tanah dan kerusakan ekosistem lokal merupakan konsekuensi jangka panjang yang sering kali diabaikan oleh perusahaan.

Pakar lingkungan dari salah satu universitas di Palembang menjelaskan bahwa reklamasi pascatambang bukan sekadar menutup lubang, tetapi memulihkan kembali fungsi ekologis lahan. “Reklamasi mencakup penanaman kembali vegetasi, pengelolaan air, dan restorasi keanekaragaman hayati. Tanpa itu, lahan akan terus menjadi sumber kerusakan,” jelasnya.

Kondisi ini juga berdampak pada sektor pertanian dan sumber air masyarakat yang berada di sekitar kawasan bekas tambang. Tanah yang rusak tidak lagi subur untuk bercocok tanam, sementara air permukaan tercemar akibat peningkatan kadar logam berat dari aktivitas tambang yang tidak dikelola secara bertanggung jawab.

Regulasi Ada, Tapi Implementasi Lemah

Secara regulatif, Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur secara jelas bahwa setiap pemegang izin usaha pertambangan (IUP) wajib melakukan reklamasi dan pascatambang. Bahkan, perusahaan diwajibkan menyetor dana jaminan reklamasi sebelum memulai produksi.

Namun, implementasi di lapangan menunjukkan masih banyak kelemahan. Dalam banyak kasus, pengawasan terhadap pelaksanaan reklamasi tidak dilakukan secara konsisten. Selain itu, proses pengenaan sanksi terhadap pelanggar sering kali tidak transparan dan berlarut-larut.

Gunhar mendesak agar Kementerian ESDM, KLHK, serta pemerintah daerah memperkuat sinergi dalam penegakan hukum lingkungan. Ia juga mendorong adanya audit menyeluruh terhadap seluruh IUP di Sumatera Selatan, terutama yang telah memasuki masa akhir produksi atau pascatambang.

“Ini saatnya kita bersih-bersih. Semua perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban reklamasi harus diungkap, diaudit, dan jika perlu dicabut izinnya,” tegasnya lagi.

Masyarakat Butuh Perlindungan dan Kepastian

Gunhar juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan aktivitas tambang. Ia menyarankan agar pemerintah membentuk tim pengawas independen yang melibatkan unsur akademisi, LSM lingkungan, serta perwakilan masyarakat lokal.

“Jangan biarkan masyarakat hanya jadi penonton dan korban. Mereka harus diberdayakan untuk ikut mengawasi, melaporkan, dan dilibatkan dalam proses pemulihan lingkungan,” ujarnya.

Sebagai wakil rakyat, Gunhar menyatakan komitmennya untuk membawa isu ini ke dalam pembahasan Komisi XII DPR RI, agar tidak berhenti sebagai wacana. Ia berjanji akan mendorong pembentukan panitia kerja (panja) khusus untuk menindaklanjuti kasus-kasus tambang bermasalah di berbagai daerah, termasuk di Sumatera Selatan.

Langkah Selanjutnya: Tindak Tegas dan Publikasi Data

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, dalam kunjungannya ke lokasi PT MPC, telah menginstruksikan agar dilakukan investigasi menyeluruh dan upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan yang ditemukan. Pemerintah pusat juga sedang menyiapkan laporan resmi untuk dipublikasikan sebagai bentuk transparansi kepada publik.

Yulian Gunhar meminta agar hasil investigasi tersebut tidak hanya dijadikan bahan laporan, tetapi ditindaklanjuti dengan langkah hukum konkret. Selain itu, ia juga mendorong agar data seluruh lahan pascatambang yang belum direklamasi dapat dibuka ke publik.

“Publikasikan data-data itu. Biar masyarakat tahu siapa yang bertanggung jawab dan sejauh mana negara menindak. Transparansi adalah langkah awal menuju keadilan lingkungan,” pungkasnya.

Kasus PT MPC di Gunung Raja menjadi titik awal dari rangkaian masalah lingkungan yang lebih luas di Sumatera Selatan. Namun, seperti yang ditegaskan Yulian Gunhar, permasalahan ini tidak boleh berhenti pada satu perusahaan saja. Pemerintah pusat, daerah, dan legislatif harus bersama-sama melakukan tindakan menyeluruh dan tegas untuk memastikan bahwa kekayaan sumber daya alam Indonesia tidak berakhir menjadi kerusakan permanen yang diwariskan kepada generasi mendatang.

Momentum ini harus dimanfaatkan untuk melakukan koreksi struktural terhadap tata kelola pertambangan, memperkuat pengawasan, dan membangun kesadaran kolektif bahwa lingkungan hidup adalah warisan tak ternilai yang harus dijaga bersama.

Terkini