JAKARTA - Dalam dunia Mixed Martial Arts (MMA), hanya sedikit petarung yang mampu meninggalkan jejak mendalam bukan hanya karena prestasi, tetapi juga karena kepribadian dan keteguhan mentalnya. Salah satunya adalah Dustin Poirier, atau yang akrab dijuluki The Diamond. Julukan itu bukan sekadar hiasan, melainkan cerminan bagaimana dirinya terbentuk dari tekanan, bertahan dalam ujian, hingga mampu berkilau di puncak kariernya.
Namun, seiring berlalunya waktu, setiap berlian pun bisa retak. Itulah yang terjadi di UFC 318, ketika Poirier harus mengakui keunggulan Max Holloway melalui keputusan angka mutlak. Laga tersebut bukan hanya menandai kekalahan, melainkan juga membuka kemungkinan bahwa publik telah menyaksikan pertarungan terakhir sang ikon di oktagon.
Dari Lafayette Menuju Panggung Dunia
- Baca Juga Hoki Lapangan: Sejarah dan Strategi
Dustin Poirier lahir dan besar di Lafayette, Louisiana, sebuah daerah yang keras dan penuh tantangan. Lingkungan itu membentuk karakter pantang menyerah yang kemudian ia bawa ke dunia MMA. Mentalitasnya yang kokoh inilah yang membuatnya mendapat julukan The Diamond—tangguh, tahan banting, dan semakin bersinar ketika ditekan oleh situasi sulit.
Karier profesional Poirier dimulai pada 2009. Sejak saat itu, ia mengumpulkan rekor mengesankan dengan puluhan kemenangan, termasuk menumbangkan nama-nama besar seperti Conor McGregor, Justin Gaethje, dan Eddie Alvarez. Pada 2019, puncak prestasinya hadir saat ia meraih gelar interim Lightweight UFC, sebuah pencapaian yang mengukuhkan statusnya sebagai salah satu petarung terbaik di generasinya.
Rivalitas Panjang dengan Max Holloway
Nama Dustin Poirier dan Max Holloway kerap dikaitkan dalam sejarah UFC. Pertemuan pertama mereka terjadi pada 2012, ketika Poirier berhasil menang. Duel kembali berlanjut di UFC 236 tahun 2019, di mana Poirier kembali keluar sebagai pemenang lewat keputusan mutlak.
Namun, di UFC 318, cerita berbalik arah. Holloway tampil lebih disiplin dan agresif, sementara Poirier terlihat kewalahan sejak ronde awal. Pada akhirnya, Poirier kalah angka mutlak, membuat catatan pertemuan keduanya menjadi imbang. Kekalahan ini terasa emosional, karena muncul di momen ketika rumor soal masa depan Poirier semakin santer.
Lebih dari Sekadar Petarung
Meski dikenal garang di dalam oktagon, Dustin Poirier menunjukkan sisi berbeda di luar arena. Bersama sang istri, ia mendirikan The Good Fight Foundation, sebuah lembaga amal yang membantu pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan sosial bagi komunitas. Banyak barang-barang hasil pertarungannya dilelang, dan seluruh hasilnya disumbangkan untuk kegiatan kemanusiaan.
Sikap ini membuat Poirier tak hanya dihormati sebagai atlet, tetapi juga sebagai sosok manusia yang peduli. Tak heran, respek padanya datang dari berbagai pihak, termasuk lawan-lawan tangguhnya. Khabib Nurmagomedov, Conor McGregor, hingga Max Holloway sendiri pernah menunjukkan penghormatan tinggi kepada Poirier, meski setelah pertarungan penuh rivalitas.
Kehormatan yang Menutup Karier
Pasca kekalahan di UFC 318, Poirier mengisyaratkan ingin rehat panjang dari dunia pertarungan. Meski tidak secara resmi mengumumkan pensiun, banyak pengamat meyakini duel melawan Holloway bisa menjadi laga terakhirnya.
Dalam wawancaranya, ia menegaskan bahwa keluarga kini menjadi prioritas utama. Keinginan untuk menjalani hidup lebih tenang setelah lebih dari satu dekade menghadapi kerasnya oktagon merupakan pilihan yang manusiawi. Jika benar ini akhir kariernya, Dustin Poirier meninggalkan UFC dengan kehormatan tinggi sebagai sosok petarung tangguh, dermawan, dan inspiratif.
Warisan Sang Berlian
Setiap petarung punya kisahnya sendiri, tetapi kisah Dustin Poirier menonjol karena kombinasi antara mental baja, pencapaian gemilang, sikap rendah hati, dan kontribusi sosialnya. Dari jalanan Lafayette hingga menjadi bintang UFC, Poirier membuktikan bahwa “berlian” sejati bukan hanya soal kekerasan, tetapi juga keteguhan hati dan kepedulian pada sesama.
UFC 318 mungkin menutup satu bab besar dalam hidupnya, tetapi warisan The Diamond tetap bersinar. Ia bukan hanya ikon UFC, tetapi juga teladan bahwa dalam setiap pertarungan, baik di dalam maupun di luar oktagon, integritas dan ketulusanlah yang membuat seorang juara diingat selamanya.