ESDM

Menteri ESDM: Skema LPG Satu Harga Masih Digodok

Menteri ESDM: Skema LPG Satu Harga Masih Digodok
Menteri ESDM: Skema LPG Satu Harga Masih Digodok

JAKARTA - Wacana pemerintah untuk menerapkan kebijakan LPG satu harga bagi tabung 3 kilogram masih berada dalam tahap pembahasan. Pemerintah belum merilis rincian teknis maupun waktu implementasi dari rencana ini. Hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saat memberikan keterangan di Jakarta, Senin 14 JULI 2025.

Meskipun belum ada kepastian mengenai waktu pelaksanaan maupun mekanisme tarif, Bahlil menekankan bahwa proses perumusan aturan sedang berlangsung secara bertahap, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk ketersediaan anggaran subsidi dan mekanisme distribusi yang tepat sasaran.

"Aturannya lagi dibahas kok. Aturannya masih dibahas, kalau sudah selesai, baru kami akan sampaikan ya," ujar Bahlil kepada awak media.

Pernyataan tersebut memberikan konfirmasi bahwa pemerintah tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan menyangkut pengaturan harga LPG 3 kg, mengingat sensitivitasnya terhadap stabilitas ekonomi rumah tangga, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Subsidi Raksasa untuk LPG 3 Kg: Rp80–87 Triliun Diajukan untuk 2026

Selain menyinggung proses pembahasan aturan, Menteri ESDM juga mengungkapkan rencana alokasi anggaran subsidi LPG untuk tahun anggaran 2026. Jumlahnya tidak kecil—yakni berkisar antara Rp80 triliun hingga Rp87 triliun.

Angka tersebut menunjukkan tingginya beban subsidi energi yang harus ditanggung oleh negara, dan sekaligus mencerminkan betapa besarnya ketergantungan masyarakat terhadap tabung gas bersubsidi ukuran 3 kilogram tersebut.

“Anggaran sebesar itu sudah disiapkan untuk tahun anggaran 2026,” terang Bahlil, sembari menambahkan bahwa efisiensi distribusi dan keadilan penerima manfaat menjadi fokus utama dalam perumusan kebijakan ini.

Pemerintah menyadari bahwa alokasi subsidi yang besar tidak serta-merta menjamin efektivitas di lapangan. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan yang tepat sasaran agar anggaran negara benar-benar menjangkau kelompok masyarakat yang paling membutuhkan.

LPG 3 Kg: Akses Terjangkau, Distribusi Tak Merata

Gas elpiji 3 kg merupakan salah satu komoditas yang paling vital dalam kehidupan rumah tangga masyarakat Indonesia. Dirancang khusus untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah, tabung “melon” ini sejak awal diatur dalam skema subsidi agar tetap terjangkau.

Namun, dalam praktiknya, kebijakan harga dan distribusi gas elpiji kerap menimbulkan polemik. Kelangkaan, permainan harga di tingkat pengecer, hingga kebocoran distribusi kepada pihak yang seharusnya tidak menerima subsidi menjadi tantangan utama yang berulang setiap tahun.

Dengan skema satu harga yang sedang dirancang, pemerintah berupaya menciptakan kepastian tarif di seluruh daerah, terutama bagi wilayah yang selama ini mengalami ketimpangan distribusi atau harga yang jauh dari ketentuan.

Meski begitu, mekanisme pengendalian di lapangan menjadi tantangan tersendiri. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan baru ini tidak dimanfaatkan oleh oknum pelaku usaha untuk menumpuk keuntungan atau menyalahgunakan distribusi.

Aspek Sosial dan Ekonomi Jadi Pertimbangan Utama

Menurut pengamat energi, rencana kebijakan satu harga LPG ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi fiskal atau anggaran semata, tetapi juga harus mencerminkan keberpihakan terhadap rakyat kecil. Pasalnya, LPG 3 kg telah menjadi kebutuhan dasar rumah tangga sejak program konversi minyak tanah dilakukan beberapa tahun silam.

Penerapan kebijakan ini juga harus memperhatikan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), di mana distribusi logistik dan infrastruktur transportasi masih menjadi kendala. Tanpa pendekatan distribusi yang adaptif, skema satu harga bisa jadi hanya efektif di wilayah perkotaan atau daerah padat, namun tidak menyelesaikan persoalan di daerah pelosok.

“Kalau pemerintah menerapkan satu harga, maka distribusinya harus dipastikan lancar dulu. Kalau tidak, masyarakat di pelosok tetap akan membeli di harga tinggi, karena ongkos kirim mahal dan stok terbatas,” ujar seorang analis energi dalam diskusi daring pekan lalu.

Sinyal Pemerintah: Hati-Hati Tapi Tegas

Pernyataan Bahlil bahwa “aturan masih dibahas” mencerminkan sikap hati-hati pemerintah dalam menelurkan kebijakan ini. Wacana satu harga tentu mengandung konsekuensi luas. Pemerintah tidak hanya berbicara soal tarif, tetapi juga menyusun ulang mekanisme subsidi dan evaluasi terhadap jaringan distribusi nasional.

Beberapa pihak menilai bahwa sistem digitalisasi penyaluran LPG, seperti program subsidi tepat sasaran berbasis data NIK, bisa menjadi solusi untuk menjamin subsidi tepat kepada rumah tangga miskin, pelaku UMKM, dan sektor yang diatur.

Namun digitalisasi juga menuntut kesiapan infrastruktur dan literasi pengguna. Dengan kata lain, kebijakan satu harga dan penyaluran subsidi yang efisien bukan hanya persoalan anggaran dan hukum, tetapi juga masalah sosial, teknologi, dan edukasi publik.

Menanti Aturan Final: Publik Butuh Kepastian

Meski Menteri ESDM menyatakan bahwa aturan masih dalam tahap pembahasan, publik tentu berharap kejelasan arah kebijakan bisa segera disampaikan, mengingat tingginya ketergantungan masyarakat pada LPG 3 kg.

Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa fluktuasi harga masih sering terjadi, terutama di luar pulau Jawa. Di beberapa daerah, harga bisa jauh melampaui HET karena ketidakteraturan suplai, tingginya ongkos distribusi, atau permainan spekulan.

Tanpa regulasi yang tegas dan sistem pengawasan yang kuat, potensi kebocoran subsidi dan kelangkaan tetap akan terjadi. Karena itu, keberadaan aturan yang dirancang secara menyeluruh dan partisipatif menjadi sangat penting untuk menjamin efektivitas implementasi kebijakan ini ke depan.

Mengatur Ulang Arah Subsidi Energi

Dengan anggaran subsidi LPG 3 kg yang mencapai hingga Rp87 triliun untuk tahun 2026, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa dana tersebut digunakan dengan efisien, adil, dan tepat sasaran.

Kebijakan tarif satu harga bisa menjadi instrumen untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam akses energi bersubsidi, tetapi hanya jika ditopang oleh sistem distribusi yang kuat, pengawasan yang tegas, serta keterbukaan informasi kepada publik.

Masyarakat kini menunggu kapan aturan ini selesai dibahas, seperti yang dijanjikan Menteri Bahlil. Sebab, lebih dari sekadar angka, kebijakan ini menyangkut hajat hidup orang banyak—dan menyentuh langsung dapur rakyat kecil di seluruh Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index