HUKUM

Tegaskan Perlindungan Hak Perempuan dalam Proses Hukum

Tegaskan Perlindungan Hak Perempuan dalam Proses Hukum
Tegaskan Perlindungan Hak Perempuan dalam Proses Hukum

JAKARTA - Dalam upaya memperbarui sistem hukum pidana nasional yang lebih inklusif dan berkeadilan, pemerintah dan DPR kembali mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam naskah akademik terbaru adalah pengakuan eksplisit terhadap hak-hak perempuan yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai tersangka, terdakwa, korban, maupun saksi.

RUU KUHAP generasi baru ini tidak hanya menghadirkan pendekatan prosedural semata, tetapi juga memuat aspek perlindungan khusus berbasis gender, sebuah dimensi yang selama ini minim mendapat ruang dalam kerangka hukum pidana Indonesia. Penekanan pada hak perempuan dalam sistem peradilan pidana ini dipandang sebagai langkah maju untuk memperbaiki ketimpangan perlakuan hukum yang kerap dialami oleh kelompok rentan, khususnya perempuan.

Kebutuhan Khas Perempuan Diakui dalam Proses Peradilan

Selama ini, sistem hukum pidana cenderung bersifat netral gender secara normatif, namun dalam praktiknya, ketimpangan perlakuan justru sering terjadi. Perempuan yang terlibat dalam proses hukum sering mengalami kesulitan mengakses keadilan, baik sebagai korban maupun pelaku. Dalam banyak kasus, kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial perempuan tidak menjadi pertimbangan dalam proses hukum, yang menyebabkan munculnya diskriminasi atau pengabaian hak.

RUU KUHAP mengakui bahwa perempuan yang berhadapan dengan hukum memiliki kebutuhan yang bersifat khas, seperti perlindungan dari pelecehan seksual dalam tahanan, kebutuhan privasi dalam pemeriksaan, hingga pendampingan psikologis bagi korban kekerasan seksual. Dalam kerangka ini, negara diberi tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak-hak tersebut secara proporsional.

Hak Perempuan: Dari Tersangka hingga Korban

RUU KUHAP 2025 mengatur bahwa dalam setiap tahapan proses hukum, perempuan memiliki hak atas perlakuan yang manusiawi dan setara, termasuk perlindungan atas martabat dan integritas fisiknya. Secara lebih rinci, regulasi ini menggarisbawahi bahwa:

Tersangka atau terdakwa perempuan berhak atas pemisahan tempat penahanan dari laki-laki.

Terpidana perempuan yang sedang hamil atau menyusui harus mendapatkan perlakuan khusus, termasuk akses layanan kesehatan dan makanan bergizi.

Korban perempuan, terutama dalam kasus kekerasan seksual, memiliki hak atas pendampingan dan tidak diwajibkan mengulang-ulang kesaksian yang bersifat traumatis.

Saksi perempuan juga memiliki hak atas perlindungan dan kenyamanan selama proses pemeriksaan berlangsung.

Hal ini merupakan jawaban atas kritik lama terhadap sistem peradilan pidana yang kerap dianggap abai terhadap trauma dan kondisi psikologis korban perempuan, terutama dalam kasus kekerasan seksual, KDRT, maupun perdagangan orang.

Tantangan Implementasi: Antara Regulasi dan Realita

Meski langkah legislasi ini dipandang progresif, tantangan implementasi di lapangan tetap besar. Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Dr. Fajri Ramadhan, menyebut bahwa keberhasilan pasal-pasal perlindungan ini bergantung pada kesiapan institusi penegak hukum, termasuk penyidik, jaksa, dan hakim untuk memahami dan menerapkan perspektif gender.

“RUU KUHAP ini membuka ruang reformasi hukum acara yang lebih berpihak pada korban dan kelompok rentan, tapi ini tidak akan berjalan efektif tanpa pelatihan dan perubahan paradigma di tingkat aparat,” ujar Dr. Fajri.

Ia juga menekankan perlunya sinergi lintas sektor antara aparat penegak hukum, lembaga layanan korban, rumah sakit, dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu perempuan dan anak.

Suara dari Komnas Perempuan dan Aktivis

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut baik pengakuan kebutuhan khusus perempuan dalam RUU KUHAP. Dalam keterangan resminya, lembaga ini menyatakan bahwa banyak korban kekerasan seksual atau KDRT yang selama ini justru merasa dipersulit oleh sistem hukum.

“Ketika korban datang untuk melapor, mereka seringkali diinterogasi dengan cara yang menyudutkan, bahkan direviktimisasi oleh pertanyaan yang tidak sensitif. Maka, pasal-pasal ini penting sebagai pijakan legal,” ujar Komisioner Komnas Perempuan.

Sementara itu, aktivis dari LSM Perempuan Berdaya, Siti Marwah, mengingatkan agar reformasi hukum ini tidak berhenti di atas kertas. Ia mendorong pembentukan unit layanan ramah perempuan di setiap kantor polisi dan pengadilan agar hak-hak ini benar-benar terwujud.

Konteks Global: Indonesia Belajar dari Praktik Internasional

Indonesia tidak sendiri dalam mendorong reformasi hukum pidana yang inklusif gender. Banyak negara seperti Kanada, Swedia, dan Australia telah mengadopsi pendekatan feminis dalam hukum acara pidana, yang mempertimbangkan pengalaman dan posisi sosial perempuan dalam sistem hukum.

RUU KUHAP Indonesia kini mulai mengadopsi arah serupa. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum nasional mulai menyadari bahwa keadilan tidak bisa bersifat "netral gender" secara absolut, melainkan harus peka terhadap kebutuhan spesifik warga negara yang berbeda-beda.

Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Berkeadilan

Diharapkan, dengan pengesahan RUU KUHAP yang baru, Indonesia dapat menciptakan sistem hukum yang lebih berkeadilan, tidak hanya secara formal, tetapi juga secara substansial. Perlindungan hak perempuan dalam proses hukum merupakan indikator penting dalam menilai sejauh mana hukum melindungi semua warga negara, tanpa diskriminasi.

Kini, saatnya publik ikut mengawal proses legislasi ini agar tidak hanya menjadi janji hukum di atas kertas, melainkan menjadi pijakan konkret dalam menghadirkan keadilan bagi perempuan Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index