JAKARTA - Ketika seorang petarung berhasil menduduki puncak klasemen divisi dan menyandang gelar juara, ekspektasi publik terhadap kemampuannya tentu meninggi. Begitu pula yang terjadi pada Ilia Topuria, petarung yang tengah jadi sorotan di Ultimate Fighting Championship (UFC) setelah sukses meraih berbagai kemenangan spektakuler, mayoritas melalui KO. Namun, komentar dari salah satu mantan lawannya, Max Holloway, justru menghadirkan sudut pandang menarik dan tak terduga.
Holloway, pemegang gelar BMF (Baddest Mother F***er) yang dikenal sebagai salah satu petarung paling tangguh di oktagon, pernah menghadapi langsung kekuatan pukulan Topuria. Dalam duel perebutan gelar kelas bulu UFC yang mempertemukan keduanya, Holloway harus mengakui keunggulan lawannya setelah tumbang lewat KO di ronde ketiga.
Meski kalah dalam pertarungan tersebut, Holloway tidak serta merta mengakui bahwa Topuria adalah pemukul paling keras yang pernah dihadapinya. Dalam sebuah wawancara, Holloway dengan lugas menyatakan bahwa kekuatan pukulan Topuria masih kalah jika dibandingkan dengan Justin Gaethje, petarung UFC lain yang dikenal memiliki daya pukul luar biasa.
“Saat saya berada di dalam sana (oktagon), saya tidak merasa bahwa pria ini (Ilia) memukul lebih keras. Namun pria itu pasti memukul dengan keras,” ujar Holloway.
Ia melanjutkan, “Namun, bandingkan pukulannya. Saat saya melawan Gaethje, saya merasakan beberapa hal. Saya merasa Gaethje memukul dengan keras dan Gaethje menendang dengan keras.”
Pernyataan Holloway ini cukup mengejutkan bagi banyak penggemar, mengingat reputasi Topuria sebagai petarung yang selalu mampu menyelesaikan laga lebih cepat lewat pukulan-pukulan eksplosifnya. Namun dari sudut pandang Holloway, pengalaman fisik saat menghadapi Gaethje justru meninggalkan kesan lebih dalam dibandingkan Topuria.
“Ketika Ilia memukul saya, tidak ada yang seperti, ‘oh man, dia memukul dengan keras atau apa pun,” ungkapnya jujur.
Kritik Holloway ini bukan ditujukan untuk meremehkan kemampuan Topuria. Sebaliknya, ia tetap mengakui bahwa Topuria memiliki kekuatan dan kemampuan bertarung yang solid. Tapi dalam konteks pembanding, Gaethje menurutnya masih unggul dalam hal intensitas pukulan dan tendangan.
Pernyataan tersebut tidak serta-merta mengurangi gemilangnya pencapaian Topuria. Faktanya, sejak debutnya di UFC, Topuria mencatatkan rekor tak terkalahkan yang mencolok. Ia mengalahkan banyak nama besar, termasuk Alexander Volkanovski, Ryan Hall, dan Damon Jackson sebagian besar melalui KO.
Puncak dari performa Topuria terlihat saat ia berhasil menghentikan Charles Oliveira di UFC 317. Dalam duel itu, Topuria hanya butuh setengah ronde untuk menjatuhkan sang lawan ke kanvas tanpa memberi kesempatan bangkit. Aksi ini mempertegas reputasinya sebagai petarung kelas ringan yang bukan hanya memiliki teknik solid, tetapi juga insting pemburu KO yang menakutkan.
Kemenangan atas Oliveira turut mengukuhkan statusnya sebagai raja baru divisi kelas ringan UFC. Tidak hanya itu, ia juga sukses mempertahankan tren kemenangannya yang sebagian besar diraih lewat penyelesaian cepat sebuah catatan yang membuatnya semakin disegani di pentas MMA dunia.
Namun, komentar Holloway menghadirkan nuansa baru dalam penilaian terhadap Topuria. Ia memberi sudut pandang dari perspektif seorang lawan yang telah merasakan langsung dampak serangan sang juara. Penilaiannya menambahkan kedalaman pada narasi seputar dominasi Topuria: bahwa kemenangan bukan hanya soal pukulan keras, tetapi juga tentang presisi, waktu, dan strategi.
Di sisi lain, Max Holloway sendiri masih menunjukkan semangat kompetitif tinggi. Setelah kekalahan dari Topuria, ia tidak memilih rehat panjang. Justru Holloway bersiap untuk kembali ke oktagon dalam waktu dekat, membuktikan bahwa semangat juang dan daya saingnya belum luntur. Petarung asal Hawaii ini dikenal dengan gaya bertarung agresif dan stamina luar biasa karakteristik yang membuatnya selalu jadi favorit penonton.
Terlepas dari perbandingan soal kekuatan pukulan, baik Holloway maupun Topuria adalah dua petarung dengan gaya khas yang berbeda. Holloway dikenal sebagai spesialis volume striking, sementara Topuria cenderung lebih efisien dan eksplosif. Keduanya menunjukkan bahwa MMA bukan hanya soal kekuatan fisik, tapi juga kecerdasan dan adaptasi di dalam oktagon.
Kritik Holloway terhadap Topuria juga memperkaya diskusi di kalangan penggemar dan analis. Apakah kekuatan pukulan adalah penentu utama kemenangan? Atau justru presisi, mentalitas, dan waktu eksekusi yang membuat perbedaan? Dalam kasus Topuria, efektivitasnya tidak terbantahkan, meski Holloway mungkin tidak merasakannya sebagai yang paling "menyakitkan".
Bagi Topuria, komentar dari Holloway mungkin tidak akan banyak memengaruhi langkahnya ke depan. Fokus utamanya kini tentu adalah mempertahankan gelar dan menghadapi tantangan baru dari penantang lain di divisi yang semakin kompetitif. Namun bagi Holloway, pengalamannya menjadi korban KO dan sekaligus menjadi pengamat dari dalam arena memberikan kita gambaran lebih lengkap tentang sosok Topuria petarung yang terus menanjak dalam daftar legenda UFC masa depan.