Karier

Karier Politik Bobby dan Peran Jokowi

Karier Politik Bobby dan Peran Jokowi
Karier Politik Bobby dan Peran Jokowi

JAKARTA - Dalam dunia politik Indonesia, peran jaringan keluarga kerap menjadi sorotan. Salah satu contoh yang mencolok adalah perjalanan karier Bobby Nasution, menantu Presiden Joko Widodo, yang menapaki dunia pemerintahan dalam waktu singkat, mulai dari Wali Kota Medan hingga mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara.

Melesatnya nama Bobby sebagai figur politik tak lepas dari bayang-bayang pengaruh orang terdekatnya. Di balik langkah politiknya, terdapat sejumlah manuver dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk sang mertua, yang disebut-sebut punya andil besar dalam mengarahkan perjalanan kariernya sejak awal.

Perjalanan Bobby dimulai sejak namanya dipertimbangkan untuk Pilkada Kota Medan. Saat itu, Presiden Joko Widodo disebut meminta bantuan seorang akademisi, Haryadi, dari Universitas Airlangga, untuk mempersiapkan Bobby. Haryadi, yang dikenal sebagai mantan anggota Tim Sebelas tim transisi Jokowi-Jusuf Kalla, menjadi penghubung antara Bobby dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Meski bukan kader partai sebelumnya, Bobby akhirnya bergabung dengan PDIP. Langkah ini menandai permulaan dari upaya untuk mengusungnya sebagai calon wali kota, menggantikan inkumben Akhyar Nasution. Strategi pemenangan pun mulai dibentuk melalui tim internal Bobby yang aktif membangun citra di Kota Medan.

Tim tersebut, sebagaimana disebut oleh dua mantan anggotanya, bertugas menaikkan popularitas Bobby dengan melibatkan media lokal dan organisasi masyarakat. Narasi yang mereka bangun menekankan Bobby sebagai sosok muda potensial yang dibutuhkan Medan.

Dalam proses tersebut, Bobby disebut mendapat dukungan logistik dari mantan Kapolda Sumatera Utara, Agus Andrianto. Selain membuka jaringan ke berbagai komunitas, Agus juga disebut memfasilitasi kebutuhan pemenangan. Meski demikian, Agus belum memberikan klarifikasi terkait keterlibatannya tersebut.

Nama Rektor Universitas Sumatera Utara, Muryanto Amin, juga muncul dalam proses pencalonan Bobby. Ia disebut turut membantu lewat survei yang menunjukkan popularitas Bobby meningkat drastis menjelang masa pencalonan. Survei tersebut menunjukkan efek elektoral dari status keluarga Bobby yang berkaitan dengan Presiden.

Meski sejumlah dukungan mengalir, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sempat menyuarakan keraguannya. Ia menilai Bobby belum cukup matang dalam pengalaman politik dan menyarankan agar Bobby aktif di partai minimal lima tahun atau mencalonkan diri sebagai wakil wali kota terlebih dahulu. Namun, keinginan tersebut tak sejalan dengan dorongan Presiden.

Dalam pertemuan dengan Haryadi, Jokowi disebut menyatakan bahwa waktu terbaik untuk mencalonkan Bobby adalah saat itu juga. Bahkan, kepada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, Jokowi menjamin kemenangan Bobby. Hasto menyampaikan permintaan ini kepada Megawati, yang akhirnya menyetujui pencalonan menantunya.

Akhyar Nasution, yang saat itu masih menjadi calon inkumben dari PDIP, diminta untuk mengalah. Namun, ia menolak dan akhirnya hengkang ke Partai Demokrat dan PKS untuk tetap maju di Pilwalkot Medan.

Guna mempercepat pemahaman Bobby tentang tata kelola pemerintahan, Megawati meminta Bobby menjalani semacam magang kilat di tiga kota: Banyuwangi, Semarang, dan Surabaya. Ketiga kota ini dipimpin kepala daerah dari PDIP dan dikenal dengan berbagai program pembangunan. Namun, laporan menyebutkan bahwa Bobby hanya sempat sekali hadir dalam sesi belajar tersebut, yakni saat mempelajari revitalisasi Kota Lama di Semarang.

Setelah menang di Pilwalkot Medan, nama Bobby terus menjadi sorotan. Baru-baru ini, perhatian publik kembali tertuju padanya, bukan karena pencapaian politik, tetapi karena orang dekatnya, Topan Obaja Putra Ginting, tersandung kasus korupsi. Topan, yang membantu Bobby di Pilkada Medan, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam operasi tangkap tangan.

Penangkapan Topan menjadi pukulan serius karena ia digadang-gadang akan menempati posisi penting di pemerintahan provinsi. Namun sebelum sempat dilantik, ia terjerat dugaan suap dalam proyek infrastruktur jalan senilai lebih dari Rp 230 miliar. Ia disebut memerintahkan dua pejabat pembuat komitmen agar memenangkan dua perusahaan swasta.

KPK menyita sejumlah uang tunai dalam penangkapan tersebut, dengan dugaan komisi 10–20 persen dari nilai proyek. Menurut Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, Topan diperkirakan mendapat bagian sebesar 4–5 persen dari total proyek atau sekitar Rp 8 miliar. Selain uang tunai Rp 231 juta, penyidik juga menemukan Rp 2,8 miliar di rumah Topan saat penggeledahan.

Kasus ini masih dalam pengembangan, termasuk menelusuri aliran dana suap dan potensi keterlibatan pihak lain. Nama Bobby pun kian dikaitkan, meskipun hingga kini belum ada bukti keterlibatan langsung.

Polemik ini menambah panjang daftar kontroversi seputar karier politik yang dipercepat oleh afiliasi keluarga. Di tengah harapan akan regenerasi politik yang bersih dan profesional, masyarakat kini kembali mempertanyakan: sejauh mana peran keluarga dalam membentuk jalan politik, dan bagaimana pengaruhnya terhadap integritas kepemimpinan di masa depan?

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index