JAKARTA - Kebijakan tarif impor sebesar 32 persen yang mulai diberlakukan Amerika Serikat pada 1 Agustus 2025 bukan hanya sekadar headline ekonomi—tetapi sejatinya menjadi alarm untuk seluruh sektor ekspor Indonesia. Komoditas unggulan seperti peralatan listrik, elektronik, tekstil, alas kaki, dan furnitur semakin berada di ujung tantangan baru, saat pasar AS yang merupakan mitra dagang utama tiba-tiba membentangkan tembok proteksionis baru.
Ini bukan situasi hipotetis. Apalagi kabar ini datang dalam konteks kebijakan tarif Presiden Donald Trump yang menggulirkan langkah-langkah proteksionis besar. Dengan beban pajak yang melonjak, produk impor di pasar domestik AS otomatis akan terdongkrak harganya—yang artinya daya saing ekspor Indonesia bisa tertekan. Ujung-ujungnya, konsumen AS bakal menjadi penerima implikasi inflasi global jauh sebelum efek global masuk ke Indonesia.
Jika tarif memicu kenaikan harga produk Indonesia di AS, maka ekspor berbagai komoditas nasional bisa terkena imbas, terutama sektor seperti peralatan listrik, elektronik, tekstil, alas kaki, dan furnitur.
Lantunkan Efek Domino ke Industri dan Konsumen
Kenaikan tarif sebesar 32% bukan angka kecil. Ini akan menjadi beban tambahan yang harus ditanggung oleh importir AS—baik dalam bentuk margin dikorbankan atau dilewatkan ke konsumen akhir. Langkah ini diprediksi akan menurunkan daya beli, konsumsi, dan pada level tertentu memperlambat pertumbuhan ekonomi konsumen.
Di satu sisi, angkat topi untuk proteksi industri dalam negeri AS. Namun di sisi lain, tentu saja ini akan mengganggu rantai pasok global yang selama ini memanfaatkan efisiensi produksi di kawasan seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Tekanan bagi Komoditas Ekspor Nasional
Komoditas seperti elektronik atau furnitur adalah salah satu sektor utama dari industri perakitan dan manufaktur di dalam negeri. Banyak brand global memanfaatkan keunggulan biaya produksi Indonesia untuk menjual produknya di pasar Barat. Tarif baru dapat mengganggu strategi harga dan margin keuntungan.
Jika exportir Indonesia harus menanggung tarif tinggi tanpa dukungan dari rantai lokal AS, biaya mungkin dibebankan kepada pembeli akhir melalui piping ke konsumen. Alhasil, volume ekspor bisa turun.
Tantangan Pemerintah dan Pelaku Industri
Tren proteksionisme ini memaksa pemerintah dan pelaku industri untuk menyiapkan strategi tangkis. Menurut temuan terbaru, Indonesia masih memiliki ruang untuk memperluas pasar lewat kerja sama dagang alternatif—seperti Eastern Europe, Asia Tengah, dan bahkan kekuatan pasar global lain.
Namun ini juga lebih dari sekadar diversifikasi pasar. Pemerintah dan pelaku industri perlu mengkaji kembali skema perjanjian bilateral/dengan AS, memperkuat pangsa pasar domestik, hingga meningkatkan nilai tambah produk agar tetap kompetitif.
Momentum Evaluasi Kebijakan Perdagangan
Kebijakan tarif AS menjadi pemicu evaluasi kebijakan ekspor nasional. Menteri Perdagangan, Kemenperdagangan, serta perwakilan negosiasi perlu menghidupkan kembali mekanisme konsultasi strategis antarnegara. Negosiasi tarif yang bisa diturunkan, fokus pada produk dengan ancaman besar, serta memanfaatkan kanal lokal bisa jadi titik start.
Optimisme dan Strategi Jangka Menengah
Meski diterpa badai tarif, ini bisa jadi momentum untuk penyesuaian struktural. Industri lokal bisa mendorong peningkatan kualitas, sertifikasi mutu ekspor, dan investasi teknologi agar produk tak lagi dijual hanya berdasarkan harga, tapi juga nilai tambah.
Investasi ke Fasilitas Logistik, teknologi produksi ramah lingkungan, dan penguatan branding premium bisa menarik buyer global yang tidak hanya sensitif terhadap harga.