Nikel

Harga Nikel Tertekan Imbas Kebijakan China

Harga Nikel Tertekan Imbas Kebijakan China
Harga Nikel Tertekan Imbas Kebijakan China

JAKARTA - Langkah China memperpanjang bea masuk anti-dumping (BMAD) sebesar 20,2% terhadap produk stainless steel asal Indonesia bukan hanya menimbulkan tantangan baru di sektor ekspor, tetapi juga berpotensi menciptakan efek berantai yang cukup dalam terhadap stabilitas industri nikel nasional. Kebijakan ini dinilai dapat memicu penurunan permintaan terhadap bahan baku utama stainless steel, yakni bijih nikel saprolit, dan berujung pada tekanan terhadap harga komoditas strategis tersebut.

Indonesia, sebagai salah satu produsen utama nikel dunia, memiliki cadangan besar bijih nikel laterit yang terbagi dalam dua jenis utama: limonit dan saprolit. Di antara keduanya, saprolit merupakan bahan baku unggulan dalam produksi stainless steel karena kandungan nikel yang lebih tinggi. Selama ini, permintaan saprolit sebagian besar berasal dari industri pengolahan di China.

Menurut Dewan Penasehat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno, keputusan China tersebut secara langsung akan mengurangi serapan stainless steel dari Indonesia, sehingga berdampak pada menurunnya permintaan terhadap nikel saprolit.

"Jika permintaan terhadap nikel saprolit menurun, terutama dari China sebagai pasar utama, maka secara otomatis harga bijih nikel akan tertekan. Dampaknya akan terasa pada penerimaan negara dari sektor ini, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)," jelas Djoko.

Situasi ini, jika tidak segera diantisipasi, dapat menjalar lebih luas ke sektor hilir. Djoko menegaskan bahwa stagnasi permintaan berpotensi menyebabkan terjadinya overkapasitas produksi dan stagnasi operasional, terutama di smelter-smelter pirometalurgi. Kawasan industri strategis seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) disebut-sebut sebagai titik rawan jika kebijakan ini tidak disikapi dengan langkah strategis yang tepat.

Smelter pirometalurgi di kawasan tersebut selama ini berperan penting dalam mengolah bijih saprolit menjadi produk setengah jadi stainless steel, dan menjadi tulang punggung ekspor nikel Indonesia ke pasar global, termasuk China. Penurunan permintaan dari China tentu menjadi alarm penting bagi industri pengolahan nikel nasional.

Menyikapi kondisi tersebut, APNI mengusulkan kepada pemerintah agar segera mengambil langkah diplomatis. Djoko mengatakan bahwa pemerintah perlu membuka ruang dialog dengan otoritas perdagangan China guna membahas kemungkinan renegosiasi tarif anti-dumping ataupun pembentukan skema price undertaking, yaitu penetapan harga minimum ekspor yang bisa menjadi kompromi bagi kedua belah pihak.

"Langkah diplomasi dan renegosiasi sangat diperlukan untuk mengurangi tekanan pasar. Selain itu, diversifikasi pasar tujuan ekspor seperti India, negara-negara ASEAN, Timur Tengah, dan Afrika juga perlu segera dilakukan," paparnya.

Strategi ini dinilai akan memperluas jangkauan ekspor produk stainless steel Indonesia dan mengurangi ketergantungan pasar terhadap China. Di tengah kondisi global yang semakin kompetitif, ketergantungan pada satu pasar utama bisa menjadi kelemahan strategis, terutama saat dinamika kebijakan berubah secara tiba-tiba.

Tak hanya menyoroti diplomasi perdagangan, APNI juga menekankan pentingnya keseimbangan dalam strategi hilirisasi industri nikel nasional. Saat ini, perhatian besar pemerintah banyak terarah pada pengembangan industri baterai kendaraan listrik (EV) melalui teknologi hidrometalurgi yang memanfaatkan nikel limonit. Meski langkah ini sejalan dengan tren elektrifikasi global, Djoko memperingatkan agar euforia pengembangan baterai EV tidak membuat sektor stainless steel tersingkir.

"Jangan sampai sektor stainless steel tersingkir karena euforia industri baterai EV. Keseimbangan strategi hilirisasi penting agar industri nikel nasional tetap berkelanjutan dan tangguh menghadapi dinamika global," tegasnya.

Keseimbangan antara pirometalurgi dan hidrometalurgi tidak hanya akan menjaga keberagaman produk turunan nikel, tetapi juga menciptakan ketahanan industri dalam jangka panjang. Dengan tetap mempertahankan kontribusi sektor stainless steel, Indonesia juga bisa menjaga stabilitas lapangan kerja, investasi smelter, serta memastikan bahwa cadangan bijih nikel termanfaatkan secara optimal.

Dalam kondisi saat ini, pilihan untuk tidak mengambil langkah responsif bisa memperbesar risiko tekanan terhadap sektor nikel nasional. Penurunan harga bijih nikel tidak hanya memengaruhi penerimaan negara, tetapi juga berdampak langsung terhadap pendapatan perusahaan tambang dan pemerintah daerah penghasil tambang.

Dengan proyeksi dampak yang cukup luas tersebut, urgensi respons pemerintah menjadi semakin mendesak. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian diharapkan dapat segera menjalin koordinasi dengan pihak China maupun mitra dagang alternatif untuk membahas solusi yang saling menguntungkan.

Langkah ke depan juga mencakup perlunya memperkuat posisi Indonesia di mata pasar global, termasuk melalui perbaikan daya saing, standardisasi produk, serta peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Di tengah tantangan global seperti kebijakan proteksionisme dan ketegangan geopolitik, langkah-langkah adaptif dan kolaboratif menjadi kunci untuk memastikan sektor nikel Indonesia tetap menjadi pemain utama dalam industri logam global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index