JAKARTA - Di tengah sorotan publik atas isu perjalanan istrinya ke Eropa, Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Menkop UKM) Maman Abdurrahman mengambil langkah yang tidak biasa. Alih-alih menghindar atau hanya memberikan pernyataan pers singkat, Maman justru memilih mendatangi langsung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tindakan ini menuai tanggapan dari berbagai kalangan, salah satunya dari Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad.
Dalam keterangan yang disampaikan dari Jakarta pada Minggu, Suparji menilai bahwa langkah tersebut merupakan bentuk kepedulian moral seorang pejabat terhadap isu yang mencuat. “Menurut saya, kedatangannya ke KPK dalam rangka memberikan sebuah pertanggungjawaban moral. Ini patut diapresiasi,” kata Suparji.
Langkah Maman menegaskan bahwa isu yang melibatkan nama baik seorang pejabat publik harus dijawab dengan pendekatan yang bertanggung jawab dan transparan. Ia tidak hanya menyampaikan klarifikasi melalui media atau pernyataan tertulis, tetapi langsung menemui lembaga yang memiliki otoritas hukum dalam isu-isu yang beririsan dengan korupsi atau penyalahgunaan jabatan.
Meskipun tidak ada indikasi resmi bahwa kunjungan sang istri menggunakan anggaran negara, Maman tetap memilih hadir di KPK sebagai bentuk inisiatif pribadi yang menunjukkan keterbukaan. Dalam konteks etika jabatan, tindakan semacam ini mencerminkan kesadaran tinggi akan pentingnya kepercayaan publik terhadap pejabat negara. Kepercayaan tersebut bukan semata dibangun melalui kinerja birokrasi, tetapi juga lewat sikap dalam merespons berbagai tudingan yang berkembang.
Respons seperti ini menjadi penting karena publik kini semakin kritis terhadap perilaku pejabat dan keluarganya. Isu tentang perjalanan ke luar negeri oleh anggota keluarga pejabat sering menimbulkan persepsi negatif, terutama jika dilakukan dalam situasi sosial-ekonomi yang tidak merata. Dengan menemui KPK secara langsung, Maman seolah menempatkan dirinya di bawah pengawasan hukum dan etika publik tanpa harus menunggu desakan atau penyelidikan.
Tindakan ini, menurut Suparji, harus dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, yakni kesediaan untuk mempertanggungjawabkan tindakan yang berpotensi menimbulkan keresahan publik meskipun belum tentu ada unsur pelanggaran hukum. Dalam sistem demokrasi modern, moralitas pejabat publik menjadi salah satu pilar utama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.
Kunjungan Maman ke KPK juga bisa diartikan sebagai upaya edukasi politik. Ia memperlihatkan kepada pejabat lain dan masyarakat luas bahwa tidak ada salahnya bersikap terbuka dan akuntabel, bahkan ketika menghadapi isu yang sebenarnya belum masuk ke ranah hukum. Ini dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya pejabat publik bersikap ketika menghadapi kritik atau kecurigaan dari masyarakat.
Langkah semacam ini tentu tidak serta merta membuat isu tersebut selesai. Namun, setidaknya, Maman menunjukkan niat baik dan kesungguhan dalam menghadapi situasi yang menyangkut nama baik dirinya dan keluarganya. Ia tidak sekadar membela diri, melainkan membuka ruang kepada lembaga penegak hukum untuk turut mengevaluasi apabila terdapat indikasi penyimpangan, sekecil apa pun itu.
Di tengah situasi politik yang kerap dipenuhi dengan sikap saling tuding dan saling menghindar dari tanggung jawab, kehadiran Maman di KPK menjadi narasi berbeda. Narasi ini mendorong munculnya tradisi baru dalam praktik politik Indonesia: keberanian untuk hadir, menjelaskan, dan bertanggung jawab secara moral meskipun belum ada kewajiban hukum yang menuntut.
Apresiasi dari kalangan akademisi seperti Suparji menjadi indikator bahwa langkah ini bukan hanya gestur politik biasa, tetapi mencerminkan keseriusan dalam menjunjung nilai-nilai etika jabatan. Dengan memberikan penilaian bahwa “kedatangannya ke KPK dalam rangka memberikan sebuah pertanggungjawaban moral” dan menyebutnya “patut diapresiasi,” Suparji menempatkan tindakan Maman dalam kerangka etika publik yang lebih luas.
Dalam jangka panjang, tindakan seperti ini bisa mendorong munculnya budaya politik yang lebih sehat. Budaya di mana pejabat publik tidak hanya dinilai dari seberapa cepat ia menjalankan program atau seberapa tinggi pencapaian kinerjanya, melainkan juga dari integritas, keterbukaan, dan kesediaannya untuk mempertanggungjawabkan hal-hal yang menimbulkan tanda tanya di masyarakat.
Tentu saja, publik tetap berhak mengawasi dan menilai apakah langkah ini disertai dengan tindakan lanjutan yang lebih transparan. Namun sebagai awalan, keberanian Maman menemui KPK bisa menjadi landasan yang baik untuk membangun ulang hubungan pejabat dengan masyarakat dalam bingkai kepercayaan dan keterbukaan informasi.
Dalam dunia birokrasi yang kompleks dan seringkali tertutup, langkah ini seharusnya tidak menjadi pengecualian, melainkan menjadi kebiasaan baru. Apalagi di era digital saat ini, di mana segala bentuk aktivitas pejabat publik dengan cepat menjadi konsumsi masyarakat luas. Maka dari itu, tindakan bertanggung jawab secara moral adalah bentuk adaptasi penting dalam menjawab tuntutan transparansi zaman.
Kesimpulannya, langkah Menteri Maman Abdurrahman menemui KPK bukan sekadar tindakan defensif atas polemik yang melibatkan keluarganya. Lebih dari itu, ia menunjukkan bahwa tanggung jawab moral adalah pilar penting dalam kepemimpinan publik. Pernyataan Suparji Ahmad menggarisbawahi bahwa inisiatif ini patut dicontoh, dan bahkan layak menjadi standar baru dalam tata kelola pemerintahan yang beretika.