JAKARTA - Dalam suasana politik yang tengah memanas akibat ketegangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), publik menyoroti berbagai pihak yang terlibat maupun menyampaikan pandangan mereka. Namun, berbeda dari banyak tokoh yang menyampaikan posisi tegas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Patrialis Akbar memilih mengambil jalur tengah: netralitas.
Di tengah tekanan opini publik dan sorotan terhadap langkah presiden menindaklanjuti rekomendasi Tim Delapan, Patrialis menyatakan bahwa dirinya tidak memihak dan tidak membela siapa pun. Sikap ini ia sampaikan saat melakukan kunjungan kerja ke Lembaga Pemasyarakatan Denpasar. "Sebagai Menteri, saya bersikap netral dan tidak membela siapa-siapa," tegasnya.
Pernyataan tersebut menjadi menarik karena muncul dalam konteks evaluasi dan rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden RI terkait kisruh antara KPK dan Polri yang telah menyita perhatian nasional. Tim Delapan sendiri dibentuk sebagai upaya independen untuk menelaah persoalan yang dinilai telah memunculkan krisis kepercayaan publik terhadap dua lembaga penegak hukum.
Meskipun tidak memberi komentar spesifik terhadap isi rekomendasi tersebut, Patrialis menekankan pentingnya penghormatan terhadap hasil kerja tim yang telah menyusun laporan dan memberikan rekomendasi kepada presiden. Menurutnya, apa yang dihasilkan Tim Delapan seharusnya menjadi masukan berharga dalam proses penegakan hukum ke depan.
"Temuan dan rekomendasi Tim Delapan itu harus dihormati dan dihargai. Hasil tim itu baik, harus dipergunakan oleh penegak hukum untuk memperhatikan kelemahan penyidikan. Apakah ada rekayasa, cukup bukti, harus didalami," ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa bila dalam proses penyelidikan dan penyidikan tidak ditemukan cukup bukti, maka perkara tersebut seharusnya dihentikan dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Namun sebaliknya, jika ditemukan bukti kuat, proses hukum harus dilanjutkan sesuai mekanisme yang berlaku.
"Kalau tidak cukup bukti, tidak boleh dipaksakan, harus di-SP3. Tapi kalau cukup bukti, harus diproses sesuai mekanisme," imbuh Patrialis.
Pernyataan ini secara tidak langsung menunjukkan dukungan terhadap prinsip hukum yang adil dan berimbang—yakni tidak memaksakan penyidikan yang lemah, dan tidak mengabaikan perkara yang memiliki dasar hukum kuat. Pendekatan normatif ini mencerminkan gaya kepemimpinan Patrialis yang mengedepankan prinsip-prinsip hukum, terlepas dari tekanan politik maupun opini publik.
Ia juga menekankan bahwa rekomendasi Tim Delapan telah melalui proses pengkajian yang tidak sembarangan. “Tim Delapan sudah memproses dan mendalami kasus itu. Tidak tiba-tiba ada hasilnya,” katanya. Menurutnya, hasil kerja tim tersebut layak untuk menjadi perhatian serius aparat penegak hukum, terutama pihak kepolisian, agar dapat mengambil langkah yang tepat.
Meski menyatakan tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam menentukan kelanjutan kasus yang tengah diproses, Patrialis memberikan penegasan penting: bahwa semua pihak harus kembali pada sistem hukum yang berlaku. "Secara normatif, saya mengajak bangsa Indonesia kembali ke sistem," pungkasnya.
Pernyataan ini menjadi semacam penyeimbang di tengah narasi panas yang beredar luas di publik. Banyak pihak mendorong agar presiden segera mengambil sikap, sementara sebagian lainnya menilai proses hukum harus tetap berjalan tanpa intervensi.
Sikap netral Menkumham ini bisa dibaca sebagai bentuk kehati-hatian. Di satu sisi, pemerintah dituntut cepat tanggap menanggapi rekomendasi dan sorotan masyarakat. Di sisi lain, penegakan hukum harus berjalan dalam koridor yang sesuai prosedur, bukan tekanan massa atau opini sesaat.
Sebagai anggota kabinet yang memiliki tanggung jawab terhadap urusan hukum dan hak asasi manusia, Patrialis tampak memilih jalur konstitusional yang mengedepankan supremasi hukum, bukan reaksi emosional. Ia tidak menyatakan dukungan atau penolakan eksplisit terhadap rekomendasi Tim Delapan, tetapi tetap menyerukan perlunya penyikapan bijak berdasarkan aturan yang berlaku.
Langkah ini tentu tidak lepas dari risiko. Di satu sisi, ia mungkin dikritik karena dianggap tidak mengambil sikap tegas dalam isu yang menyangkut institusi besar negara. Namun di sisi lain, posisinya ini justru bisa dibaca sebagai upaya menjaga keseimbangan dan mencegah polarisasi lebih lanjut dalam masyarakat.
Apalagi, kisruh antara KPK dan Polri bukan semata persoalan institusional, melainkan telah berkembang menjadi isu publik yang menyentuh aspek kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Dalam konteks inilah, ajakan untuk “kembali ke sistem” menjadi relevan. Bahwa penyelesaian polemik tidak boleh bergantung pada sentimen atau tekanan, melainkan pada prosedur hukum yang sah dan adil.
Pernyataan Patrialis Akbar menjadi salah satu suara penting dalam diskursus nasional tentang bagaimana negara seharusnya menangani konflik di antara lembaga penegak hukum. Alih-alih memperkeruh suasana atau menarik kesimpulan sepihak, ia memilih menyerahkan prosesnya kepada mekanisme formal yang telah ditentukan undang-undang.
Dengan demikian, sikap netral sang menteri bukanlah tanda ketidaktegasan, tetapi bentuk tanggung jawab dalam menjaga integritas sistem hukum. Di tengah gejolak opini publik yang penuh tekanan, netralitas dapat menjadi bentuk keberanian tersendiri.