JAKARTA - Di tengah gegap gempita kampanye transisi energi menuju masa depan berkelanjutan, industri energi hijau justru menyimpan ironi yang patut dicermati. Fenomena yang terjadi di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa banyak perusahaan energi hijau, khususnya di subsektor energi surya, justru mengalami tekanan bisnis yang begitu besar hingga terpaksa mengajukan kebangkrutan. Realita ini menjadi peringatan penting bagi Indonesia yang tengah menggencarkan proyek energi hijau sebagai bagian dari agenda nasional.
Performa kinerja perusahaan-perusahaan energi hijau di negeri Paman Sam, yang selama ini dijadikan acuan dan inspirasi berbagai program transisi energi global, menunjukkan gejala rapuhnya fondasi finansial sejumlah entitas di sektor ini. Meskipun digadang-gadang sebagai motor masa depan, berbagai perusahaan—kebanyakan berupa startup—nyatanya tak mampu bertahan di tengah kompetisi, tingginya biaya operasional, serta ketergantungan terhadap insentif dan kebijakan yang fluktuatif.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa prospek usaha ekonomi hijau tidak sekuat klaim yang selama ini digaungkan. Apalagi jika strategi yang diterapkan hanya berfokus pada narasi idealisme tanpa diimbangi dengan kekuatan model bisnis yang kokoh.
Gelombang Kebangkrutan Energi Surya di AS
Dalam dua tahun terakhir, industri energi matahari di AS menunjukkan tanda-tanda krisis yang cukup signifikan. Puluhan perusahaan telah atau tengah mempersiapkan langkah hukum untuk mengajukan permohonan perlindungan kebangkrutan di bawah Chapter 11. Proses hukum ini mengindikasikan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut sudah tidak sanggup lagi menjalankan operasional secara sehat.
Gelombang kebangkrutan ini bukan terjadi karena ketidakpercayaan pada energi hijau sebagai solusi jangka panjang, melainkan akibat struktur bisnis yang tidak mampu mengantisipasi tantangan pasar. Beberapa perusahaan diketahui terlalu cepat melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan daya beli konsumen, keberlanjutan investasi, serta kelangsungan suplai bahan baku dan teknologi.
Fenomena ini menyadarkan bahwa sektor energi hijau bukanlah medan usaha tanpa risiko. Justru sebaliknya, volatilitas di sektor ini sangat tinggi, terutama karena teknologi dan regulasi yang terus berubah cepat. Para investor global kini semakin selektif, menuntut bukti konkret keberlanjutan finansial dari startup energi hijau sebelum menanamkan modal mereka.
Konteks Indonesia: Antara Ambisi dan Kewaspadaan
Situasi di Amerika Serikat seyogianya menjadi bahan refleksi bagi Indonesia yang tengah mendorong berbagai proyek strategis energi hijau. Pemerintah Indonesia secara aktif menunjukkan komitmen terhadap transisi energi melalui berbagai kebijakan, termasuk pembangunan pabrik panel surya di Kendal dan proyek-proyek energi hijau lainnya yang didukung penuh oleh Presiden.
Meski langkah ini patut diapresiasi sebagai bagian dari diplomasi energi bersih dan upaya meraih target nol emisi karbon, pemerintah dan pelaku industri tetap perlu bersikap realistis terhadap kemungkinan tantangan di masa mendatang. Investasi besar dalam energi hijau semestinya dilakukan dengan kalkulasi risiko yang matang, terlebih dengan adanya sinyal kegagalan dari negara yang menjadi pionir di bidang ini.
Dampak kegagalan startup energi hijau tidak hanya merugikan investor, tapi juga bisa menghambat agenda transisi energi nasional jika tak ditangani secara strategis. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk menyeimbangkan ambisi politik dan ekonomi dengan perencanaan bisnis yang adaptif dan berbasis data pasar.
Klaim dan Realita: Waspadai Ekspektasi Berlebih
Salah satu pelajaran dari kasus di AS adalah jauhnya jarak antara klaim perusahaan dengan realita di lapangan. Banyak perusahaan startup energi hijau memasarkan diri dengan narasi revolusioner, menjanjikan efisiensi tinggi, teknologi mutakhir, dan dampak lingkungan yang signifikan. Namun pada kenyataannya, produk yang dihasilkan belum tentu mampu memenuhi ekspektasi pasar atau menghadapi persaingan dengan produk impor yang lebih murah.
Indonesia perlu waspada terhadap klaim serupa, terutama ketika melibatkan proyek-proyek besar yang menggunakan dana publik atau insentif pemerintah. Transparansi, akuntabilitas, dan evaluasi berkala terhadap capaian perusahaan-perusahaan lokal maupun asing yang berinvestasi di sektor ini menjadi hal yang krusial.
Harus Ada Sistem Monitoring dan Akuntabilitas
Agar Indonesia tidak terjebak pada pola kegagalan serupa, pemerintah disarankan untuk memperkuat sistem monitoring terhadap kinerja proyek-proyek energi hijau. Ini mencakup pengawasan terhadap kemajuan teknologi, utilisasi sumber daya, efektivitas penyerapan tenaga kerja, serta dampak lingkungan yang dihasilkan.
Di samping itu, dukungan terhadap riset dan pengembangan dalam negeri menjadi kunci agar Indonesia tidak sekadar menjadi pasar produk energi hijau dari luar negeri, tetapi juga mampu menjadi produsen dan inovator di bidang ini. Tanpa kesiapan teknologi lokal, ketergantungan pada pemasok asing justru berpotensi memunculkan masalah baru di kemudian hari.
Optimisme dengan Kewaspadaan
Transisi energi bersih tetap merupakan agenda penting dan tak terhindarkan dalam perjalanan pembangunan global, termasuk di Indonesia. Namun, pendekatan terhadap energi hijau harus disesuaikan dengan dinamika global dan pembelajaran dari pengalaman negara lain.
Kisah kegagalan puluhan perusahaan energi surya di AS menunjukkan bahwa jalan menuju masa depan hijau tak selamanya mulus. Dalam situasi seperti ini, optimisme perlu diiringi oleh kewaspadaan dan kehati-hatian agar Indonesia benar-benar siap menjadi pemain utama, bukan sekadar penonton dalam panggung energi masa depan.