JAKARTA - Alih-alih menjadi solusi jangka panjang dalam membangun bangsa, pendidikan di Indonesia justru kerap menciptakan persoalan baru yang tak kunjung usai. Bukan hanya soal kurikulum atau anggaran, tetapi menyangkut mentalitas dan arah pembangunan sistem yang seharusnya memerdekakan pikiran generasi masa depan. Polemik demi polemik seolah membuktikan bahwa pendidikan kita lebih sering jadi ladang eksperimen ketimbang ruang pembelajaran hakiki.
Cerminan Bangsa: Kualitas Pendidikan Antara Mimpi dan Kenyataan
Kualitas pendidikan idealnya mencerminkan masa depan bangsa. Bangsa yang mengedepankan pendidikan akan melahirkan pemimpin yang bijak, masyarakat yang kritis, dan inovator yang solutif. Namun, realitas di Indonesia jauh dari bayangan itu. Potensi generasi muda terhambat oleh sistem yang carut marut dan pendekatan kebijakan yang cenderung tambal sulam.
“Bangsa yang bodoh mudah dimanipulasi dan dikuasai,” ungkapan ini bukan sekadar retorika, tetapi gambaran nyata dari konsekuensi pendidikan yang gagal mencerdaskan.
Kurikulum: Sekadar Ganti Nama Tanpa Substansi
Tak ada yang lebih membingungkan dalam sistem pendidikan kita selain kurikulum yang terus berganti. Setiap menteri baru seolah membawa ‘revolusi’, namun kenyataannya hanya sebatas mengganti sampul. Inti dan isinya? Masih tetap menyisakan banyak lubang.
Siswa, guru, dan orang tua terus dipaksa beradaptasi dengan kebijakan yang belum sempat matang namun keburu diganti. Energi habis untuk penyesuaian, sementara esensi belajar justru tersisihkan. Sistem seperti ini bukan hanya membingungkan, tapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap otoritas pendidikan.
Akses dan Biaya: Pendidikan Jadi Privilege?
Di negara yang menjunjung tinggi hak atas pendidikan, biaya justru menjadi hambatan paling nyata. Realita di lapangan menunjukkan betapa mahalnya akses terhadap sekolah berkualitas. Uang pangkal tinggi, SPP melambung, belum lagi biaya tak resmi yang seringkali muncul tiba-tiba.
Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi ‘drama tahunan’ yang lebih mirip medan kompetisi orang tua berduit. Koneksi lebih berharga daripada prestasi. Sekolah "unggulan" seringkali hanya tampak luar yang manis, tapi masih menyisakan banyak persoalan di dalamnya.
“Kalaupun ada sekolah yang benar-benar bagus, biayanya selangit, hanya bisa dijangkau oleh kalangan berduit.”
Lebih ironi lagi, guru sebagai ujung tombak pendidikan justru sering diperlakukan tak layak. Digaji rendah, tanpa jaminan kesejahteraan, tapi terus dituntut untuk berprestasi. Semua atas nama “pengabdian”. Retorika “pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi tameng untuk menutupi kegagalan negara dalam menyejahterakan guru.
Ijazah Tak Lagi Bermakna: Ketika Integritas Dibeli
Di tengah semangat anak muda yang terus belajar dan berkompetisi, fakta bahwa ijazah bisa dibeli adalah tamparan keras. Praktik jual beli gelar akademik, pemalsuan dokumen, hingga lembaga abal-abal yang menjual ‘sertifikasi instan’ seolah menjadi rahasia umum yang tak pernah benar-benar diberantas.
“Ketika nilai sebuah ijazah tidak lagi mencerminkan kompetensi dan kerja keras, bangsa ini semakin jauh dari kata maju.”
Fenomena ini menghancurkan fondasi integritas yang seharusnya tertanam dalam dunia pendidikan. Nilai moral yang hancur tak hanya melahirkan generasi yang apatis, tetapi juga sistem yang korup. Elit penguasa pun tetap berpesta pora, memanfaatkan celah, sementara rakyat kecil ditinggalkan dalam kekecewaan.
Ditambah lagi praktik nepotisme yang terus langgeng. Siapa yang dekat dengan kekuasaan akan dapat posisi. Sementara mereka yang berkompetisi dengan jujur hanya mendapatkan janji-janji basi.
Menuju Perubahan: Jangan Hanya Tambal Sulam
Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Jawabannya tidak sesederhana mengganti kurikulum atau menaikkan anggaran. Solusi pendidikan membutuhkan perubahan mendasar dan komitmen kolektif. Berikut beberapa langkah strategis yang bisa dijadikan pijakan:
1. Visi Pendidikan Jangka Panjang yang Konsisten
Stop politisasi pendidikan! Harus ada konsensus nasional yang tak tergantung siapa menterinya. Visi jangka panjang yang realistis dan berkelanjutan mutlak dibutuhkan agar sistem tidak lagi dikendalikan oleh kepentingan jangka pendek.
2. Pemerataan Akses dan Kualitas
Bangun sekolah bermutu hingga ke pelosok. Dana pendidikan harus tepat sasaran. Hentikan pendekatan yang hanya menguntungkan kota besar. Transparansi dalam alokasi anggaran harus jadi prioritas.
3. Kesejahteraan Guru dan Peningkatan Kompetensi
Guru bukan robot pengabdi tanpa hak. Mereka butuh pelatihan berkelanjutan dan kesejahteraan yang sepadan. Dengan guru yang sejahtera dan kompeten, proses belajar akan bermakna dan hasilnya maksimal.
4. Pendidikan Karakter dan Antikorupsi Sejak Dini
Tidak cukup hanya pintar, generasi muda harus diajarkan untuk jujur dan berintegritas. Pendidikan karakter harus menjadi kurikulum inti, bukan sekadar pelengkap.
5. Evaluasi dan Akuntabilitas yang Tegas
Evaluasi pendidikan tidak boleh hanya berbasis angka. Harus ada partisipasi publik dalam pengawasan, dan setiap pelanggaran seperti jual beli ijazah harus ditindak tegas dan terbuka.
Harapan: Masihkah Ada?
Pendidikan kita sedang berada di persimpangan antara kemunduran dan kebangkitan. Meskipun kompleks, masalah ini bukan tanpa solusi. Selama ada kemauan politik dan partisipasi masyarakat yang kuat, sistem pendidikan Indonesia masih bisa diperbaiki.
Namun jika pembiaran terus terjadi, kita hanya akan mengulang kegagalan yang sama. Generasi muda akan terus jadi korban dari sistem yang tidak berpihak, dan bangsa ini akan semakin sulit mengejar ketertinggalan.
“Padahal Indonesia berpeluang besar menjadi pemimpin peradaban dunia. Tapi... mungkinkah justru ada yang tak ingin bangsa ini bangkit agar tetap bisa dikuasai?”