JAKARTA - Proyek tol Trans Sumatra yang digadang-gadang sebagai proyek strategis nasional membawa harapan besar bagi kemajuan wilayah Sumatra, terutama dalam memperlancar konektivitas dan membuka peluang ekonomi. Namun, di balik gegap gempita pembangunan infrastruktur ini, terdapat kisah pilu dari Desa Karya Indah, Kabupaten Kampar, yang menunjukkan sisi lain dari pembangunan besar yang kurang memperhatikan kebutuhan dan hak warga sekitar.
Jalan Pemuda yang selama ini menjadi akses utama warga Desa Karya Indah kini mengalami perubahan drastis. Puluhan tahun jalan tersebut digunakan secara lancar oleh masyarakat, menjadi urat nadi bagi aktivitas sosial dan ekonomi mereka. Namun, kini jalan tersebut terbelah dan dipenuhi tiang pancang beton yang merupakan bagian dari konstruksi jalan tol. Keberadaan tiang pancang yang menjulang di tengah jalan utama itu tidak hanya menghambat akses warga, tapi juga menciptakan kesulitan baru.
Lebar Jalan Pemuda yang hanya sekitar enam meter kini harus terbagi oleh tiang pancang yang berdiri kokoh, memaksa kendaraan berat seperti truk sulit melintas dan membuat warga harus memutar lebih jauh untuk keluar masuk desa. Hal ini jelas menimbulkan dampak besar pada mobilitas warga, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidup dari aktivitas ekonomi harian dan akses pendidikan.
Kondisi jalan yang dulu mulus dan mudah dilalui kini menjadi berliku dan rusak akibat penggalian yang dilakukan oleh kontraktor. Sirtu (pasir dan tanah urug) yang sebelumnya ditimbun sebagai akses truk pengangkut material kini dikorek kembali, dengan alasan memindahkan material tersebut ke lokasi lain. Akibatnya, genangan air sering muncul hingga mencapai setinggi lutut warga, membuat kondisi jalan menjadi lebih parah terutama saat musim hujan.
Seorang warga, Sudarmaji, mengungkapkan kekecewaannya dengan nada getir. “Sakit hati kami. Jalan yang sudah dipakai warga, sudah enak dilalui, tiba-tiba dikorek lagi. Sekarang malah banjir. Air sampai selutut,” ujarnya. Pernyataan ini menggambarkan bagaimana perubahan kondisi jalan yang seharusnya membantu warga justru memperburuk kualitas hidup mereka.
Sebelum proyek tol dimulai, kawasan tersebut tidak pernah mengalami banjir. Kini, penggalian tanah dan perubahan drainase menyebabkan air tergenang, menghambat aktivitas warga sehari-hari. Meski material yang diambil sudah dikembalikan, ketinggian timbunan tidak sama seperti sebelumnya, dan yang terpenting, sikap hormat terhadap hak-hak masyarakat setempat tidak dirasakan.
Kemarahan warga makin menjadi ketika menyaksikan tiga puluh tiang pancang beton besar berdiri di tengah jalan utama, seakan mengabaikan fungsi jalan sebagai akses vital. Jalan yang selama ini menjadi milik rakyat, hasil gotong royong dan hibah masyarakat, kini terkesan diabaikan oleh pelaksana proyek.
Robin Eduar, Ketua Komisi I DPRD Pekanbaru dan juga warga Desa Karya Indah, menyuarakan ketidakpuasan warga secara tegas. “Kami sudah sampaikan, tolong tiang pancang itu digeser dari tengah jalan. Tapi tidak digubris. Sekarang sudah dicor, tidak bisa lagi digeser. Ini bentuk pembangkangan terhadap suara rakyat!” katanya. Pernyataan ini menunjukkan frustrasi yang dirasakan oleh masyarakat karena aspirasi mereka tidak diperhatikan dalam proses pembangunan.
Menurut Robin, Jalan Pemuda bukan hanya sekadar jalur fisik. Jalan ini merupakan bagian dari identitas desa, sarana utama yang menopang berbagai aktivitas masyarakat seperti pendidikan, perdagangan, hingga mobilitas sosial. Namun sekarang, dengan adanya tiang pancang yang memotong jalan dan penurunan ketinggian jembatan tol yang hanya sekitar tiga meter, banyak kendaraan besar tidak bisa melewati jalan tersebut dengan aman.
“Kalau jalan ini nanti terputus, siapa yang bertanggung jawab? Ini jalan rakyat, bukan milik kontraktor,” tegas Robin. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas dampak negatif pembangunan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
Warga mendesak agar pengelola proyek tol memberikan penjelasan yang jelas dan solusi konkrit atas persoalan yang mereka alami. Mereka menolak menjadi korban pembangunan yang hanya mengutamakan kemajuan infrastruktur tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat di sekitarnya. Proyek infrastruktur nasional seharusnya berjalan seimbang antara pembangunan dan perlindungan hak masyarakat, bukan dengan cara mengabaikan kepentingan mereka.
Jalan Pemuda selama ini menjadi simbol gotong royong masyarakat Desa Karya Indah. Jalan itu bukan hanya akses fisik, melainkan juga pintu gerbang pendidikan, ekonomi, serta sosial bagi warga. Pengorbanan demi pembangunan tol yang dilakukan tanpa kompromi atas jalan ini terasa seperti tindakan arogan yang menyinggung rasa keadilan sosial.
Kondisi ini memperlihatkan dilema pembangunan besar-besaran di Indonesia, di mana proyek strategis nasional terkadang berjalan tanpa melibatkan masyarakat secara maksimal dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat, malah dirugikan.
Penting bagi pelaksana proyek dan pemerintah untuk mendengarkan suara masyarakat yang terdampak secara serius dan mencari solusi yang bisa mengakomodasi kebutuhan semua pihak. Misalnya dengan meninjau kembali penempatan tiang pancang, memperbaiki kondisi jalan dan drainase, serta menyediakan akses alternatif yang layak bagi warga.
Selain itu, pemerintah daerah harus berperan aktif dalam memastikan proyek nasional seperti Tol Trans Sumatra ini berjalan dengan memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Pendekatan yang humanis dan partisipatif sangat diperlukan agar pembangunan tidak hanya berorientasi pada kemajuan fisik, tapi juga kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Dengan begitu, proyek besar seperti Tol Trans Sumatra tidak hanya menjadi simbol kemajuan infrastruktur, tapi juga contoh pembangunan yang berkeadilan, yang memadukan kemajuan ekonomi dengan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal.