JAKARTA – Varian baru COVID-19 bernama Nimbus atau dengan kode ilmiah NB.1.8.1, tengah menjadi sorotan dunia setelah terdeteksi menyebar cepat di setidaknya 22 negara. Varian ini merupakan subvarian dari Omicron JN.1 dan pertama kali diidentifikasi pada akhir Januari lalu. Seiring penyebarannya, laporan kasus infeksi pun terus meningkat, meskipun risiko keparahan infeksinya dinilai rendah.
Sejumlah pasien yang terpapar varian Nimbus mengalami gejala umum COVID-19 seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, serta kelelahan. Beberapa juga melaporkan kesulitan bernapas hingga diare, menunjukkan bahwa varian ini tetap patogen meskipun dinilai tidak lebih ganas dari pendahulunya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah secara resmi memasukkan varian Nimbus ke dalam daftar Variants Under Monitoring (VUMs). Artinya, meskipun varian ini menyebar cepat, WHO menilai tidak ada peningkatan signifikan dalam angka perawatan di rumah sakit maupun tingkat kematian akibat infeksi ini.
“Mempertimbangkan bukti yang tersedia, risiko kesehatan masyarakat tambahan yang ditimbulkan oleh NB.1.8.1 dievaluasi rendah pada tingkat global,” tulis WHO dalam laporan terbarunya.
Pakar Imunologi Ungkap Penyebab Kenaikan Kasus
Pakar imunologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR), Dr dr Agung Dwi Wahyu Widodo, MSi, SpMK, menjelaskan bahwa ada tiga faktor utama yang memicu peningkatan kembali kasus COVID-19 secara global, yakni kemunculan varian baru, penurunan kekebalan populasi, dan perubahan perilaku masyarakat pascapandemi.
“Varian baru ini merupakan hasil mutasi Omicron, mulai dari JN.1 hingga NB.1.8.1. Varian NB.1.8.1 ini dikenal dengan nama Nimbus. Nimbus memiliki perbedaan struktur spike yang sangat signifikan dari varian Omicron sebelumnya,” jelas dr Agung, dikutip dari laman resmi UNAIR.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa mutasi ini memungkinkan virus untuk menghindari sistem kekebalan tubuh, termasuk dari antibodi yang terbentuk melalui vaksin generasi awal. Meski gejalanya cenderung ringan, kemampuan virus untuk menghindari kekebalan menjadi perhatian karena bisa meningkatkan penularan secara masif.
Kemenkes RI: Varian Nimbus Belum Terdeteksi di Indonesia
Meskipun penyebaran varian Nimbus sudah meluas ke berbagai negara, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) memastikan bahwa hingga kini belum ditemukan kasus NB.1.8.1 di Indonesia. Pemeriksaan varian COVID-19 di Indonesia dilakukan menggunakan teknologi Whole Genome Sequencing (WGS) yang mampu mendeteksi varian secara spesifik.
“Sampai minggu ke-23, subvarian yang masih bersirkulasi di Indonesia adalah MB.1.1 dan KP.2.18, secara umum memiliki karakteristik yang sama dengan JN.1 dan penilaian risiko rendah,” ujar Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI.
Kemenkes juga menegaskan bahwa Indonesia tetap meningkatkan kewaspadaan melalui pemantauan ketat terhadap perkembangan varian-varian baru, serta mengimbau masyarakat untuk tidak lengah dalam menjaga protokol kesehatan, meskipun masa darurat pandemi telah berakhir.
Varian Nimbus di Dunia: Asia Tenggara hingga Amerika
Sejumlah negara telah melaporkan kasus varian Nimbus, di antaranya:
-Singapura: 366 kasus
-Thailand: 176 kasus
-Amerika Serikat: 148 kasus
-Australia: 188 kasus
-Kanada: 108 kasus
-Selandia Baru: 92 kasus
-Hong Kong: 77 kasus
-Taiwan: 48 kasus
-Korea Selatan: 47 kasus
-Inggris dan Prancis: Masing-masing 29 kasus
Peningkatan jumlah kasus ini menunjukkan bahwa varian Nimbus memiliki tingkat penyebaran yang tinggi, meskipun tidak menunjukkan lonjakan signifikan dalam tingkat keparahan. WHO dan otoritas kesehatan global tetap mengamati perkembangan ini secara ketat.