JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan adanya kontraksi signifikan pada subsektor industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki (KBLI 15) dalam laporan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) manufaktur periode Mei 2025. Meski secara keseluruhan sektor manufaktur nasional masih menunjukkan tren positif dengan IKI yang kembali bertahan di fase ekspansi pada angka 52,11, namun subsektor industri kulit ini menjadi perhatian khusus karena perannya yang sangat vital sebagai industri padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Kinerja Manufaktur Secara Keseluruhan Tunjukkan Perbaikan
Laporan Indeks Kepercayaan Industri manufaktur Mei 2025 yang dirilis Kemenperin menandai adanya optimisme yang terus tumbuh di kalangan pelaku industri manufaktur nasional. Angka IKI sebesar 52,11 menandakan manufaktur masih berada di zona ekspansi, menunjukkan kepercayaan pelaku industri dalam kondisi bisnis dan prospek ekonomi ke depan.
“Kinerja manufaktur pada Mei 2025 menunjukkan perbaikan yang menggembirakan, hal ini mencerminkan respons positif industri terhadap kebijakan pemerintah dan pemulihan ekonomi nasional,” ungkap Direktur Jenderal Industri Manufaktur Kemenperin, Dr. Rina Hartati.
Namun, di balik tren positif tersebut, tidak semua subsektor mengalami pertumbuhan yang sama. Beberapa subsektor justru mencatat kontraksi, salah satunya adalah industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki, yang dikenal sebagai sektor yang sangat padat karya.
Kontraksi di Industri Kulit, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki
Subsektor industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki (KBLI 15) mengalami penurunan kepercayaan industri yang cukup signifikan pada Mei 2025. Kontraksi ini menjadi perhatian utama karena sektor ini menyerap banyak tenaga kerja, sehingga kondisi tersebut berpotensi berdampak sosial-ekonomi yang luas.
Menurut Rina Hartati, kontraksi ini disebabkan oleh beberapa faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi permintaan dan produksi di sektor ini. “Industri kulit dan alas kaki menghadapi tantangan dalam hal kenaikan biaya bahan baku serta penurunan permintaan pasar domestik dan ekspor,” jelasnya. Selain itu, gangguan rantai pasok global juga turut membebani performa subsektor ini.
Dampak Sosial dari Kontraksi Industri Padat Karya
Industri kulit dan alas kaki memiliki karakteristik sebagai salah satu sektor padat karya dengan penyediaan lapangan pekerjaan bagi ribuan pekerja di berbagai daerah. Oleh karena itu, kontraksi yang dialami subsektor ini bukan hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga sosial, khususnya terkait dengan potensi penurunan kesempatan kerja.
“Sebagai industri padat karya, perlambatan sektor ini tentu menjadi perhatian serius karena dapat mempengaruhi kesejahteraan para pekerja dan keluarganya,” ujar pengamat industri, Bapak Agus Santoso. Ia menambahkan, perlunya langkah strategis dan kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri untuk mengatasi tantangan ini agar mampu menjaga keberlanjutan sektor.
Strategi Pemerintah dan Pelaku Industri untuk Pemulihan
Menanggapi situasi tersebut, Kemenperin berkomitmen untuk memberikan dukungan maksimal kepada subsektor industri kulit dan alas kaki. Pemerintah tengah merancang sejumlah program stimulus dan fasilitasi, mulai dari kemudahan akses bahan baku, pelatihan peningkatan keterampilan tenaga kerja, hingga promosi produk dalam dan luar negeri.
“Kami fokus pada penguatan daya saing industri kulit dan alas kaki melalui inovasi produk, peningkatan kualitas, dan diversifikasi pasar ekspor. Hal ini penting agar subsektor ini dapat bangkit dan terus berkontribusi pada perekonomian nasional,” tegas Dr. Rina Hartati.
Selain itu, Kemenperin juga mendorong sinergi antar pelaku industri, asosiasi, serta lembaga riset untuk mengembangkan teknologi produksi dan desain yang sesuai tren pasar global. Penguatan rantai pasok dan optimalisasi penggunaan sumber daya lokal juga menjadi bagian dari strategi pemulihan.
Potensi dan Peluang di Pasar Ekspor
Meskipun menghadapi kontraksi, industri kulit dan alas kaki Indonesia masih memiliki potensi besar di pasar ekspor internasional. Produk kulit asli dari Indonesia dikenal memiliki kualitas tinggi dan nilai estetika yang mampu bersaing di pasar global. Oleh karena itu, pemulihan sektor ini menjadi sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekspor nasional.
Menurut Agus Santoso, “Pelaku industri perlu lebih gencar memanfaatkan peluang ekspor ke negara-negara tujuan potensial dengan melakukan adaptasi produk yang sesuai kebutuhan konsumen internasional. Dukungan pemerintah dalam membuka akses pasar juga sangat krusial.”
Kondisi Pasar Domestik dan Konsumen
Selain tantangan ekspor, permintaan domestik yang melemah juga menjadi faktor utama kontraksi subsektor kulit dan alas kaki. Perubahan pola konsumsi masyarakat, termasuk pergeseran ke produk alternatif dan peningkatan kesadaran terhadap sustainability, turut mempengaruhi permintaan produk kulit.
Pelaku industri diharapkan dapat beradaptasi dengan tren baru ini dengan menghadirkan produk yang lebih ramah lingkungan serta inovatif, sehingga mampu menarik minat konsumen yang semakin kritis.
Laporan Indeks Kepercayaan Industri manufaktur Mei 2025 dari Kemenperin mengungkapkan gambaran umum industri manufaktur yang terus bergerak menuju fase ekspansi dengan angka IKI 52,11. Namun, subsektor industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki mengalami kontraksi yang cukup signifikan, yang menjadi perhatian karena perannya sebagai sektor padat karya dan penopang banyak lapangan kerja.
Kementerian Perindustrian menegaskan komitmennya untuk mengatasi tantangan ini melalui berbagai program strategis guna memperkuat daya saing dan kapasitas industri kulit dan alas kaki, baik di pasar domestik maupun internasional. “Dukungan pemerintah dan kolaborasi pelaku industri menjadi kunci agar subsektor ini dapat kembali tumbuh dan berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional,” tutup Direktur Jenderal Industri Manufaktur, Dr. Rina Hartati.
Pemulihan industri kulit dan alas kaki tidak hanya penting bagi keberlangsungan ekonomi, tetapi juga kesejahteraan tenaga kerja yang bergantung pada sektor ini. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan seluruh pemangku kepentingan menjadi langkah utama dalam menjaga keberlanjutan dan pertumbuhan sektor manufaktur yang inklusif dan berkelanjutan.