JAKARTA - Di tengah upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, lonjakan permintaan energi pada musim panas kembali menghidupkan pasar batu bara internasional. Harga komoditas ini menunjukkan penguatan tajam dalam beberapa hari terakhir, terutama karena permintaan dari sejumlah negara Asia dan Eropa yang menghadapi suhu tinggi dan peningkatan konsumsi listrik.
Data dari Refinitiv mencatat bahwa harga batu bara terus bergerak naik, ditutup di level US$112,9 per ton dengan kenaikan sebesar 1,16% dibandingkan hari sebelumnya. Kenaikan ini sekaligus melanjutkan tren positif dalam dua hari berturut-turut dengan total penguatan hampir 3%. Situasi ini menunjukkan bagaimana faktor musiman dan kondisi iklim tetap menjadi kekuatan dominan dalam menentukan arah pasar batu bara, meskipun dunia tengah didorong untuk transisi ke energi bersih.
Gelombang panas yang melanda kawasan Eropa dan Asia menjadi pemicu utama lonjakan permintaan terhadap batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, China, Pakistan, dan Bangladesh, bersama dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Italia, Yunani, dan Polandia, kini tengah menghadapi musim panas dengan suhu ekstrem.
- Baca Juga Target Produksi Batu Bara 2025
Permintaan listrik untuk keperluan pendinginan melonjak drastis, yang secara otomatis meningkatkan kebutuhan terhadap pasokan energi, khususnya dari pembangkit listrik berbasis batu bara. Hal ini tak hanya berkontribusi pada peningkatan harga, tetapi juga mencerminkan tantangan dalam mencapai keseimbangan antara kebutuhan jangka pendek dan komitmen jangka panjang terhadap dekarbonisasi.
Namun demikian, meskipun harga batu bara meningkat, prospek pengiriman global dalam jangka pendek masih dibatasi oleh sejumlah faktor. Dua negara dengan konsumsi batu bara terbesar di dunia, India dan China, saat ini masih menahan pembelian dalam jumlah besar. Keduanya memiliki cadangan batu bara yang cukup tinggi sehingga belum menunjukkan urgensi dalam menambah pasokan meskipun harga tengah naik.
Di India, fenomena monsun yang datang lebih cepat dari perkiraan memberikan dampak positif terhadap volume air di bendungan dan waduk. Akibatnya, pembangkit listrik tenaga air lebih banyak dioperasikan, mengurangi ketergantungan pada batu bara untuk sementara waktu. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa permintaan batu bara dari India relatif terkendali, meski permintaan global tengah meningkat.
Sementara itu, China menghadapi gelombang panas yang lebih ekstrem di beberapa wilayah. Di negara dengan populasi terbesar di dunia ini, lonjakan temperatur mendorong penggunaan energi secara besar-besaran, khususnya untuk pendingin ruangan di kota-kota besar. Kondisi ini diprediksi dapat memicu peningkatan konsumsi batu bara dalam waktu dekat sebagai solusi cepat untuk memenuhi kebutuhan listrik yang melonjak.
Menurut analis pengiriman global dari BIMCO, Filipe Gouveia, fenomena cuaca ekstrem seperti ini dapat menyebabkan lonjakan konsumsi batu bara, terutama ketika produksi energi dari sumber terbarukan sedang menurun. Meski demikian, ia menilai bahwa lonjakan tersebut cenderung bersifat jangka menengah.
“Permintaan batu bara bisa meningkat selama periode cuaca ekstrem atau ketika output energi dari sumber terbarukan menurun,” ujar Gouveia. Ia menambahkan bahwa kondisi seperti ini kerap bersifat sementara, dan tidak mengubah tren penurunan permintaan global dalam jangka panjang.
Secara regional, pengiriman batu bara ke negara-negara berkembang di Asia Selatan dan Asia Tenggara masih diperkirakan akan meningkat. Negara-negara seperti Bangladesh, Vietnam, dan Filipina, yang tengah memperluas kapasitas pembangkit listrik, masih mengandalkan batu bara sebagai salah satu sumber utama energi mereka. Hal ini menjadi peluang pasar tersendiri di tengah ketidakpastian pasokan dari negara-negara besar seperti China dan India.
Namun, dari perspektif makro dan keberlanjutan, tren global tetap mengarah pada pengurangan konsumsi batu bara. Seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap krisis iklim dan kebutuhan menurunkan emisi karbon, negara-negara di seluruh dunia mulai mempercepat investasi mereka pada energi terbarukan seperti angin, surya, dan hidro.
“Prospek jangka panjang tetap lemah karena permintaan baja menurun dan banyak negara mulai beralih dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan demi mencapai target dekarbonisasi global,” jelas Gouveia.
Penurunan permintaan batu bara dari sektor industri baja juga menjadi indikator penting dari pergeseran paradigma energi global. Selain sektor kelistrikan, industri baja selama ini merupakan salah satu pengguna terbesar batu bara. Ketika permintaan dari sektor ini melemah, tekanan terhadap harga batu bara dalam jangka panjang pun semakin besar.
Walaupun harga batu bara saat ini menunjukkan tren positif, para analis memperingatkan bahwa keberlanjutan lonjakan harga sangat tergantung pada kondisi cuaca dan kebijakan energi masing-masing negara. Jika suhu ekstrem berkurang dan pembangkit energi terbarukan mulai kembali stabil, maka permintaan terhadap batu bara bisa kembali menurun.
Di sisi lain, para pelaku industri juga terus mencermati arah kebijakan energi dari negara-negara besar, termasuk rencana investasi dalam infrastruktur pembangkit terbarukan serta regulasi lingkungan yang makin ketat. Semua ini menjadi faktor penting dalam menentukan daya tahan pasar batu bara ke depan.
Sebagai komoditas energi yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung kelistrikan global, batu bara kini berada di persimpangan jalan. Meski masih dibutuhkan dalam kondisi darurat atau permintaan musiman, arah jangka panjangnya semakin jelas menuju penurunan, seiring komitmen dunia menuju energi bersih.