JAKARTA - Harga batu bara global kembali menunjukkan pergerakan yang cenderung stagnan setelah sebelumnya sempat menguat. Meskipun masih berada di jalur positif secara teknikal, laju kenaikan harga komoditas ini mulai melambat, mencerminkan dinamika pasar yang penuh ketidakpastian, terutama terkait permintaan energi dari negara-negara besar seperti India.
Pada perdagangan terbaru, harga batu bara ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman terdekat ditutup di kisaran US$ 109,6 per ton. Kenaikan ini hanya sebesar 0,09 persen dibandingkan dengan sesi sebelumnya, menandakan bahwa harga si batu hitam kini tengah dalam fase konsolidasi setelah sebelumnya mengalami reli dalam beberapa pekan terakhir.
Kondisi ini membuat harga batu bara tercatat melemah hampir 2 persen dalam satu pekan terakhir, meskipun jika ditarik lebih jauh ke belakang selama satu bulan terakhir, harga masih membukukan penguatan lebih dari 4 persen. Ini mengindikasikan bahwa pasar batu bara belum benar-benar kehilangan tenaga, meski saat ini sedang mengalami jeda dalam tren kenaikannya.
- Baca Juga Target Produksi Batu Bara 2025
Salah satu faktor utama yang menjadi penahan laju permintaan batu bara adalah musim panas yang terjadi tidak seintensif ekspektasi sebelumnya di sejumlah negara konsumen utama. Penggunaan alat pendingin ruangan atau AC sebagai pemicu lonjakan kebutuhan listrik, ternyata tidak meningkat signifikan, sehingga berimbas pada stabilitas permintaan energi berbasis batu bara.
India menjadi salah satu contoh utama yang mengalami kontraksi konsumsi listrik. Mengacu pada laporan permintaan listrik di negara tersebut selama kuartal kedua tercatat turun sebesar 1,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini menjadi penurunan pertama sejak tahun 2020, yakni saat pandemi Covid-19 mengganggu aktivitas ekonomi secara global.
Selama kuartal tersebut, konsumsi listrik di India menyusut menjadi 445,8 miliar kilowatt hour. Bersamaan dengan itu, produksi listrik yang bersumber dari batu bara turun hingga 7 persen. Hal ini turut memengaruhi tingkat utilisasi pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara (PLTU) di India, yang hanya mencatat kapasitas pembangkitan rata-rata 69,9 persen, turun dari 76,6 persen pada tahun sebelumnya.
Fenomena penurunan permintaan listrik ini menjadi indikator penting bahwa permintaan global terhadap batu bara sangat bergantung pada pola cuaca dan kondisi ekonomi domestik masing-masing negara. Ketika cuaca tidak cukup ekstrem dan aktivitas ekonomi tidak tumbuh pesat, maka kebutuhan terhadap sumber energi fosil, termasuk batu bara, cenderung melandai.
Dalam kondisi seperti ini, pelaku pasar pun mulai mengalihkan fokusnya pada faktor-faktor teknikal untuk menentukan arah harga selanjutnya. Dari sudut pandang teknikal harian, posisi harga batu bara masih terbilang kuat dalam zona bullish. Hal ini tercermin dari nilai Relative Strength Index (RSI) yang masih berada di angka 63. Sebagaimana diketahui, RSI di atas level 50 menunjukkan tren penguatan harga masih dominan.
Namun, ada indikator lain yang patut diperhatikan, yaitu Stochastic RSI yang sudah menyentuh level 0. Kondisi ini mengindikasikan bahwa batu bara berada dalam fase jenuh jual atau oversold, yang biasanya menjadi sinyal awal kemungkinan adanya pembalikan arah ke atas (rebound) atau setidaknya konsolidasi sebelum menentukan tren berikutnya.
Dengan mempertimbangkan faktor teknikal tersebut, potensi pergerakan harga batu bara dalam waktu dekat diperkirakan masih akan bergerak secara sideways. Target harga terendah atau level support diproyeksikan berada di kisaran US$ 107 hingga US$ 103 per ton, dengan level support paling ekstrem atau pesimistis di angka US$ 101 per ton.
Sementara itu, untuk sisi atasnya, harga berpeluang menguji level resisten di kisaran US$ 111 per ton. Jika ada momentum positif dari faktor fundamental maupun teknikal, harga batu bara bisa saja kembali mengarah ke resisten yang lebih tinggi di sekitar US$ 116 per ton.
Dalam jangka pendek, dinamika harga batu bara akan terus dipengaruhi oleh keseimbangan antara pasokan dan permintaan, serta arah kebijakan energi dari negara-negara konsumen besar seperti China, India, dan negara-negara ASEAN lainnya. Di sisi lain, wacana pembatasan emisi karbon serta transisi menuju energi bersih yang makin digencarkan di tingkat global juga menjadi tekanan tambahan terhadap prospek jangka panjang batu bara.
Meskipun begitu, komoditas ini masih memiliki ruang dalam bauran energi dunia, setidaknya dalam satu dekade mendatang. Terutama di negara berkembang yang masih mengandalkan sumber energi konvensional sebagai penopang utama pembangkit listrik.
Dengan volatilitas yang masih tinggi dan respons pasar yang sensitif terhadap berbagai isu global, baik dari sisi iklim, geopolitik, maupun kebijakan energi, harga batu bara diperkirakan akan tetap bergerak dinamis. Bagi investor maupun pelaku industri, kondisi ini menuntut kehati-hatian lebih dalam membaca arah pasar dan mengambil posisi yang tepat untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan peluang dari pergerakan komoditas batu bara yang penuh tantangan ini.