JAKARTA - Piala Dunia Klub FIFA 2025 sejatinya menawarkan panggung megah bagi klub-klub terbaik dari seluruh benua. Namun, identitas kuat benua Afrika rupanya dipertaruhkan dalam edisi kali ini. Keempat wakilnya—Wydad Casablanca, Al Ahly, Mamelodi Sundowns, dan Esperance Tunis—semuanya tersingkir di babak grup. Dengan catatan hanya dua kemenangan dari total 12 pertandingan, hasil tersebut mencerminkan kegagalan kolektif yang mencolok. Namun demikian, hasil mentah ini tidak penuh memberikan gambaran menyeluruh; ada faktor-faktor eksternal dan dinamika kompetisi yang menyulitkan mereka sejak awal.
Grup dengan Tekanan Ekstrem
Secara undian, klub-klub Afrika dihadapkan dengan lawan berat: Manchester City, Juventus, Borussia Dortmund, Porto dari Eropa, serta Fluminense, Flamengo, dan Palmeiras dari Amerika Selatan. Persaingan elit ini, dengan kualitas finansial dan taktik unggul, sudah memprediksi beratnya misi masuk fase knockout. Tidak sedikit analis yang mencermati bahwa tantangan tersebut bukan hanya tentang performa di lapangan, tetapi juga kesenjangan sumber daya yang sangat nyata antara klub Afrika dan klub top global.
Ketidaksiapan Skuad dan Mental Klub
Meghenali latar belakang masing-masing klub Afrika, jelas terlihat mereka memasuki turnamen dalam kondisi tidak maksimal. Wydad Casablanca tengah dilanda krisis internal selama dua musim terakhir, bahkan perekrutan mendadak nyaris tak memberi efek signifikan. Esperance Tunis juga tampil di bawah performa terbaiknya di level kontinental. Sementara Al Ahly, meski berstatus juara CAF terdahulu, tampak loyo akibat kelelahan usai menuntaskan kisah sengit di kompetisi domestik.
Mamelodi Sundowns pun bukan tanpa masalah. Mereka datang usai diguncang kekalahan dramatis di final Liga Champions CAF, yang menguji mental juara. Gabungkan kondisi fisik yang lelah dengan padatnya musim domestik, dan ketiga klub ini tampak tak memiliki cukup waktu untuk menyegarkan diri menuju turnamen kubu Eropa.
Kilasan Harapan Meski Di Bawah Tekanan
Walau ekstremnya grup membebani, tidak semua kartu hilang. Beberapa momen mengindikasikan bahwa potensi Afrika masih menyala.
Al Ahly: mencetak 4 gol melawan Porto dalam hasil imbang 4-4—ini menjadi momen sejarah sebagai tim Afrika pertama yang mencetak empat gol melawan tim Eropa di fase grup Piala Dunia Klub.
Wydad Casablanca: saat melawan Manchester City, mereka nyaris mencuri gol penyeimbang dan menunjukkan permainan defensif solid di babak pertama.
Mamelodi Sundowns: memperlihatkan gaya permainan ofensif ala Brasil, dan nyaris membuat comeback epik melawan Dortmund (kalah tipis 4-3).
Esperance Tunis: berhasil meraih kemenangan 1-0 atas LAFC, menambah satu kemenangan klub Afrika dalam sejarah turnamen.
Kilasan ini menunjukkan bahwa dengan eksekusi lebih baik—terutama dalam menyelesaikan peluang dan penalti—hasil bisa jadi lebih positif. Namun, kenyataan di lapangan masih terganjal efektivitas ofensif dan presisi di saat-saat kritis.
Akar Masalah: Struktur dan Finansial Kurang Memadai
Satu refleksi mengerikan muncul dari kesenjangan sistemik: kualitas talenta Afrika tak dihargai secara profesional karena infrastruktur, pelatihan, dan pengelolaan klub yang belum setara. Jurnalis Osasu Obayiuwana menyoroti lewat platform media sosial: “Pemimpin kita tidak melakukan cukup untuk mengembangkan sepak bola Afrika.” Kalimat ini bukan retorika kosong—melainkan pengingat bahwa talenta muda sering berkembang secara individual, tanpa struktur yang mendukung progres berkelanjutan di level klub.
Sementara itu dari sisi finansial, ada jurang nyata. Menurut data Transfermarkt, empat klub Afrika berada di antara delapan klub dengan nilai pasar skuad terendah dalam turnamen:
Al Ahly: Rp 836 miliar
Mamelodi Sundowns: Rp 593 miliar
Esperance Tunis: Rp 342 miliar
Wydad Casablanca: Rp 308 miliar
Patut dicatat bahwa klub elite seperti Manchester City bernilai di atas Rp 25 triliun—suatu skala yang sangat jauh dari jangkauan klub Afrika tersebut. Tidak mengherankan, efek dari minimnya modal ini terasa dalam hal fasilitas latihan, skema kontrak profesional, jumlah staf teknikal, pusat pengembangan pribadinya, hingga daya tarik untuk merekrut pemain berkualitas.
Piala Dunia Klub: Lukisan Realitas Afrika
Apakah performa ini mencerminkan paritas sepak bola global? Tidak sepenuhnya. Sebaliknya, inilah refleksi realitas lanskap sepak bola: jika tidak diperbaiki dari akar, kesenjangan ini akan terus melebar. Albihalnya nama-nama besar Afrika, mereka butuh wadah yang mapan, pendanaan stabil, dan tata kelola profesional untuk bisa bersaing secara konsisten.
Klub-klub Afrika masih memiliki bahan bakar: bakat muda, penggemar fanatik, dan tradisi budaya sepak bola yang kuat. Namun, tanpa adanya Liga Sepak Bola Afrika yang lebih profesional, tanpa investor kuat, dana infrastruktur, dan integritas tata kelola, status kejutan sporadis di panggung global akan terus bergeser menjadi sekadar kejadian sesaat.