JAKARTA - Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto sedang menghadapi tantangan serius dalam upaya pemulihan ekonomi nasional. Hal ini menyusul data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87 persen pada kuartal I-2025. Angka ini tergolong rendah, terutama jika dibandingkan dengan target tahunan yang dipatok pemerintah sebesar 5,3 persen.
Padahal, kuartal pertama tahun ini telah disokong oleh momentum Ramadan dan Hari Raya Idulfitri yang secara historis biasanya mampu meningkatkan konsumsi rumah tangga secara signifikan. Namun, tren yang terlihat justru sebaliknya. Lesunya daya beli masyarakat menjadi faktor dominan yang menekan performa pertumbuhan ekonomi.
Lesunya Daya Beli Menjadi Sorotan
Lesunya daya beli masyarakat terlihat dari lemahnya kontribusi konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh sekitar 4,9 persen—lebih rendah dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan komponen terbesar dalam produk domestik bruto (PDB), yakni menyumbang lebih dari 50 persen.
Menurut sejumlah analis ekonomi, fenomena ini terjadi karena tekanan inflasi dan stagnasi pendapatan masyarakat pasca-pandemi yang belum sepenuhnya pulih. Selain itu, beban pengeluaran rumah tangga juga meningkat, seiring kenaikan harga pangan dan energi yang membuat masyarakat menahan pengeluaran non-esensial.
Pemerintah pun tidak tinggal diam menghadapi situasi ini. Presiden Prabowo Subianto bersama jajaran ekonomi di Kabinet Indonesia Maju segera mengambil langkah-langkah responsif untuk mendorong kembali daya beli masyarakat.
Pemerintah Siapkan Sederet Insentif Ekonomi
Menanggapi perlambatan ekonomi tersebut, pemerintah berencana menggelontorkan sejumlah insentif fiskal dan non-fiskal yang difokuskan pada sektor konsumsi dan industri padat karya. Insentif ini dirancang agar masyarakat terdorong untuk kembali melakukan belanja konsumtif yang berkontribusi langsung pada aktivitas ekonomi nasional.
“Pemerintah menyadari perlunya intervensi yang terarah agar ekonomi kembali bergairah. Fokus utama kita saat ini adalah menggerakkan daya beli masyarakat di berbagai lapisan,” ujar seorang pejabat senior Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang tidak disebutkan namanya.
Beberapa kebijakan yang sedang disiapkan antara lain:
Diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk produk-produk tertentu yang diproduksi dalam negeri guna mendorong konsumsi barang lokal.
Perluasan program bantuan sosial (bansos) seperti bantuan langsung tunai (BLT) bagi masyarakat rentan dan keluarga miskin.
Pemberian voucher belanja bagi pelajar dan keluarga untuk dimanfaatkan selama masa libur sekolah pada Juni–Juli.
Insentif sektor pariwisata dan transportasi guna meningkatkan mobilitas dan pengeluaran selama masa liburan anak sekolah.
Langkah ini diharapkan bisa mempercepat perputaran uang di masyarakat serta membantu pelaku UMKM dan sektor informal yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Libur Sekolah Jadi Momentum Strategis
Pemerintah juga menilai bahwa Juni dan Juli adalah periode strategis untuk mendorong aktivitas ekonomi masyarakat, seiring dengan datangnya libur sekolah. Libur panjang ini diharapkan dapat mendorong pergerakan wisata domestik, sektor retail, makanan dan minuman, serta jasa transportasi.
“Siklus liburan adalah waktu yang tepat untuk mendorong belanja masyarakat. Pemerintah memanfaatkan momen ini untuk mendorong konsumsi tanpa harus mengorbankan stabilitas fiskal,” kata sumber yang sama.
Dengan meningkatkan konsumsi pada periode ini, pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 bisa kembali melampaui ambang 5 persen, yang menjadi ambisi utama untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi jangka menengah.
Tantangan dan Risiko
Meski pemerintah optimistis, sejumlah tantangan tetap membayangi. Inflasi pangan, ketegangan geopolitik global, dan tren perlambatan ekonomi dunia tetap menjadi ancaman eksternal yang bisa memengaruhi daya beli masyarakat secara tidak langsung.
Selain itu, kepercayaan konsumen masih dalam tahap pemulihan. Beberapa survei menyebutkan bahwa masyarakat masih cenderung menabung ketimbang membelanjakan uangnya, karena khawatir terhadap ketidakpastian ekonomi ke depan.
Untuk itu, pemerintah diminta untuk tidak hanya mengandalkan stimulus jangka pendek, tetapi juga memastikan stabilitas harga dan menjaga pasokan kebutuhan pokok agar masyarakat merasa lebih aman dalam berbelanja.
Dukungan Dunia Usaha dan Perbankan
Sebagai bagian dari strategi nasional, pemerintah juga menggandeng pelaku dunia usaha dan sektor perbankan dalam ekosistem pemulihan ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia disebut telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan guna memastikan ketersediaan likuiditas serta akses pembiayaan untuk sektor riil.
Pelaku usaha menyambut baik rencana pemerintah tersebut. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menyatakan bahwa pelaku ritel siap menyambut lonjakan aktivitas belanja masyarakat jika insentif dijalankan secara tepat sasaran.
“Kuncinya adalah distribusi insentif yang cepat dan merata. Kami siap berkolaborasi agar insentif yang diberikan benar-benar berdampak langsung kepada masyarakat luas,” ujarnya.
Harapan Pulihnya Ekonomi Domestik
Dengan langkah-langkah yang telah dirancang, pemerintah menaruh harapan besar pada kuartal II dan III tahun ini untuk menjadi titik balik dalam pemulihan ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen bukan sekadar angka, tetapi simbol dari kembalinya kepercayaan dan optimisme di tengah masyarakat.
Jika daya beli berhasil dipulihkan, maka dampaknya akan terasa luas: mulai dari peningkatan produksi di sektor manufaktur, bertumbuhnya lapangan kerja, hingga meningkatnya penerimaan negara dari sektor pajak.
Langkah-langkah kebijakan ini juga menjadi uji coba awal efektivitas pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo, dalam mewujudkan janji kampanye untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan mensejahterakan rakyat.
Kondisi ekonomi Indonesia pada awal 2025 menunjukkan bahwa pemulihan pasca-pandemi masih membutuhkan dorongan signifikan, terutama dalam hal konsumsi domestik. Dengan peluncuran insentif ekonomi yang menyasar daya beli masyarakat, serta memanfaatkan momentum liburan sekolah sebagai penggerak ekonomi, pemerintah berharap perekonomian dapat kembali menguat di atas 5 persen.
Namun demikian, efektivitas kebijakan ini tetap akan diuji oleh faktor implementasi dan kesigapan dalam mengelola distribusi insentif, termasuk pengawasan terhadap penyimpangan di lapangan. Pemerintah perlu bergerak cepat namun terarah, agar langkah penyelamatan ekonomi ini tidak berakhir sebagai upaya sesaat yang minim dampak.