JAKARTA - Harapan terhadap kebangkitan sektor manufaktur Indonesia tampaknya belum akan terwujud dalam waktu dekat. Sepanjang tahun ini, industri manufaktur diperkirakan masih akan mengalami tekanan signifikan, bahkan berpotensi terus berada dalam fase kontraksi hingga menjelang akhir tahun. Analisis dari CORE Indonesia menunjukkan bahwa sektor ini baru akan mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan pada bulan Desember.
Prediksi tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, titik balik bagi sektor manufaktur nasional sangat mungkin terjadi menjelang momen penting tahunan, yaitu perayaan Natal dan tahun baru. Momentum tersebut dinilai mampu memicu lonjakan permintaan domestik, yang pada akhirnya bisa menjadi motor penggerak utama bagi perbaikan kinerja manufaktur.
"PMI itu kan dia melihat dari kinerja industri manufaktur, dari beberapa indikator, melihat supply chain-nya. Jadi lihat order, lihat produksi, lihat stok, lihat yang dikirim, lihat tenaga kerja. Berarti dia melihat demand sebetulnya itu," jelas Faisal dalam sebuah diskusi publik di Jakarta.
Dengan mengacu pada Purchasing Managers Index (PMI), yang merupakan indikator utama kesehatan sektor manufaktur, Faisal menegaskan bahwa permintaan domestik menjadi faktor dominan dalam menentukan arah pergerakan indeks tersebut. Hingga saat ini, PMI Indonesia masih berada di bawah level 50, yang berarti industri secara umum masih berada dalam kondisi menyusut, bukan berkembang.
Tekanan terhadap permintaan, lanjut Faisal, masih akan sangat terasa setidaknya hingga kuartal keempat. Bahkan, kondisi tersebut akan membuat aktivitas manufaktur nasional tetap lesu, dengan hanya sedikit sektor yang mampu menunjukkan kinerja positif di tengah tantangan besar yang dihadapi. Salah satu sektor yang dinilai relatif bertahan adalah industri makanan dan minuman.
“Satu-satunya sektor yang masih menunjukkan kinerja positif adalah makanan dan minuman,” kata Faisal menegaskan.
Sektor ini memang memiliki kekuatan tersendiri, terutama karena permintaan konsumen terhadap produk makanan dan minuman cenderung stabil, bahkan cenderung meningkat pada periode-periode tertentu seperti liburan atau perayaan besar. Namun, sayangnya, kondisi serupa tidak dialami oleh sektor-sektor lainnya, terutama yang bergantung pada ekspor.
Salah satu industri yang tengah menghadapi tekanan besar adalah tekstil dan produk tekstil (TPT). Industri ini diketahui sangat bergantung pada pasar ekspor, khususnya Amerika Serikat. Dengan kondisi pasar global yang tidak stabil, ditambah lagi adanya ketimpangan tarif perdagangan antara Indonesia dan negara pesaing seperti Vietnam, sektor TPT berada dalam posisi yang sangat rentan.
"Tarif dasar untuk produk tekstil Indonesia itu lima sampai 15 persen. Vietnam nol persen," terang Faisal.
Kondisi ini membuat produk tekstil Indonesia kalah bersaing secara harga. Meskipun Amerika Serikat telah menurunkan tarif resiprokal menjadi 19 persen untuk produk asal Indonesia, total beban tarif yang ditanggung tetap lebih tinggi dibandingkan dengan produk dari Vietnam yang mendapatkan perlakuan istimewa berupa tarif nol persen. Alhasil, daya saing ekspor Indonesia di sektor TPT terus mengalami penurunan.
Selain tantangan eksternal, industri TPT juga harus menghadapi tekanan dari dalam negeri. Produk tekstil dari Tiongkok, yang membanjiri pasar akibat overproduksi dan imbas perang dagang antara AS dan Tiongkok, kini memenuhi pasar lokal Indonesia. Hal ini memicu persaingan yang kian ketat di pasar domestik, sehingga pelaku usaha TPT nasional harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah.
“Kompetisinya makin besar di industri tekstil dan produk tekstil. Jadi sangat mungkin masih kontraksi, kecuali Desember," ujar Faisal.
Dengan tekanan dari dua sisi sekaligus eksternal melalui tarif ekspor dan persaingan global, serta internal dari limpahan produk murah impor industri manufaktur Indonesia tengah berada dalam posisi sulit. Upaya pemulihan pun, menurut analisis CORE, tidak akan terjadi secara signifikan dalam waktu dekat. Sebaliknya, yang bisa diharapkan adalah pemulihan terbatas yang sifatnya momentum, yaitu menjelang akhir tahun saat konsumsi domestik meningkat.
Situasi ini menegaskan bahwa ketergantungan industri manufaktur Indonesia terhadap permintaan domestik sangat besar. Selama permintaan dalam negeri belum menunjukkan penguatan yang berarti, sektor ini kemungkinan besar masih akan berjalan di tempat.
Untuk itu, Faisal menekankan pentingnya strategi diversifikasi dan penguatan sektor manufaktur agar lebih adaptif terhadap perubahan dinamika pasar, baik global maupun domestik. Industri juga perlu mendapatkan dukungan kebijakan yang mampu memberikan perlindungan terhadap gempuran produk impor, sekaligus meningkatkan efisiensi produksi agar lebih kompetitif di pasar internasional.
Secara keseluruhan, jalan menuju pemulihan sektor manufaktur nasional masih panjang. Optimisme baru muncul menjelang akhir tahun ketika konsumsi masyarakat diperkirakan naik, tetapi untuk pertumbuhan yang berkelanjutan, perlu ada intervensi dan strategi komprehensif dari pemangku kebijakan.