JAKARTA - Jakarta punya banyak sudut menarik untuk dijelajahi, tapi jika bicara soal surga kuliner yang tak pernah sepi perhatian, maka Blok M layak disebut sebagai salah satu pusatnya. Kawasan ini bukan sekadar tempat makan, tetapi telah menjelma menjadi destinasi wajib bagi pecinta makanan yang haus akan pengalaman baru, baik rasa maupun suasana.
Blok M kini ibarat panggung terbuka bagi tren kuliner yang terus berubah. Tak hanya menawarkan cita rasa yang menggoda, kawasan ini juga menyajikan kombinasi menarik antara tradisi dan inovasi. Di tengah gempuran media sosial, Blok M tak hanya bertahan, tapi justru bersinar. Ia menyambut setiap perhatian yang datang dan menjadikannya bahan bakar untuk terus bergerak maju.
Kawasan ini tak lagi hanya dinikmati oleh warga Jakarta. Magnet kulinernya begitu kuat hingga menarik perhatian dari kota-kota satelit bahkan luar daerah. Masyarakat rela menempuh jarak jauh hanya untuk mencicipi makanan yang sedang naik daun di sini.
Salah satu yang mencermati fenomena ini adalah Kevindra Soemantri, seorang pengamat sekaligus penulis buku kuliner. Dalam peluncuran "Food Guide Blok M dan Sekitarnya", Kevindra dan rekan-rekannya dari Feastin mengupas kenapa Blok M menjadi distrik kuliner yang tak tergantikan di Jakarta.
Menurut Kevindra, kawasan ini menunjukkan potensi besar sebagai bagian dari peta distrik kuliner dan kreatif di ibu kota. “Kita melihat Jakarta secara tata kota bisa dipetakan menjadi berbagai macam distrik kreatif, kuliner, dan kawasan-kawasan unik lainnya, sama seperti di negara-negara lain. Akhirnya kami melihat bahwa ini harus disuarakan, Jakarta sebagai destinasi makan-makan dan distrik,” ujarnya saat konferensi pers di Maiku Cafe, Blok M.
Kevindra menyoroti bagaimana dinamika sosial dan keberagaman karakter pelaku usaha turut berperan penting dalam menghidupkan Blok M. “Distrik adalah jantungnya kota. Uniqueness dari sebuah kota bisa ditemukan di distrik-distrik seperti Blok M, yang saat ini paling dinamis. Perpaduan antara yang baru dengan yang legendaris bisa berdampingan. New reservation dan innovation itu semua berjalan. Masyarakat di Blok M begitu dinamis, yang membuat kawasan ini bisa hidup,” jelasnya lebih lanjut.
Transformasi Blok M tidak terjadi dalam semalam. Gary Evano, pelaku bisnis dari PUYO Group, mengisahkan bagaimana langkah awal membuka HAKA Dimsum di kawasan ini terjadi saat kondisi belum seramai sekarang. “Kita buka pertama kali HAKA dimsum di Blok M itu saat di tengah pandemi. Saat itu kondisi sangat sepi,” tuturnya.
Namun perlahan, dua elemen besar turut mengubah wajah kawasan ini: hadirnya MRT dan pembangunan Taman Literasi. Menurut Gary, kedua hal ini merupakan game changer besar yang membawa lonjakan trafik pengunjung. “Yang tadinya mungkin datang ke Blok M cuma mau ke suatu tempat spesifik, habis makan langsung pulang. Sekarang Blok M menjadi tempat orang buat hangout seharian, dari makan siang sampai malam,” katanya.
Konektivitas yang luar biasa pun menjadi nilai tambah tersendiri. Terminal bus yang sudah lama ada, kini diperkuat dengan akses MRT. Hal ini membuat Blok M mudah dijangkau, bukan hanya dari Jakarta, tetapi juga dari wilayah penyangga seperti Tangerang, Bekasi, dan Bogor.
“Konektivitas Blok M dari dulu termasuk yang paling bagus, terminal bus, sekarang ditambah MRT, membuat Blok M jadi sangat menarik untuk semua orang bahkan greater Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, Bogor menjadikan Blok M sebagai melting pot,” tambah Gary.
Tak hanya kawasan inti, geliat Blok M juga turut menghidupkan daerah sekitarnya. Salah satunya adalah Panglima Polim. Dulu didominasi kawasan residensial, kini kawasan tersebut berubah menjadi area komersial dengan beragam bisnis baru bermunculan.
Lucky, pemilik Brookland Coffee di Panglima Polim, menyampaikan pengamatannya. “Blok M juga menjadi penopang bagi sekitarnya, seperti salah satunya Panglima Polim yang dulunya kebanyakan residensial, mulai 2019 jadi banyak tempat yang komersil,” katanya.
Menurutnya, karakter pengunjung Blok M pun unik. Banyak dari mereka adalah generasi yang tak ingin ketinggalan tren alias FOMO (Fear of Missing Out). “Customer Blok M mereka kebanyakan yang FOMO, mereka nyobain, dan sudah enggak balik lagi. Curiosity mereka tinggi banget, sementara di Brookln sudah daily customer yang sudah punya timeline tersendiri,” jelas Lucky.
Keberagaman ini menambah warna tersendiri bagi ekosistem kuliner di kawasan Blok M. Namun agar tetap lestari dan tidak hanya menjadi tren sesaat, perlu ada pengelolaan dan penguatan komunitas di dalamnya. Kevindra menyarankan agar komunitas kuliner dan penggiat lokal terus diberdayakan.
“Komunitas Blok M itu kuat, sehingga bisnis kuliner di Blok M sendiri bisa hidup dengan karakternya masing-masing. Inilah keunikan Blok M dibandingkan distrik-distrik lain seperti Glodok yang sangat mengakar, dan Menteng yang nostalgic,” pungkas Kevindra.