JAKARTA - Visi besar Presiden Prabowo Subianto untuk membangun tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall (GSW) demi melindungi kawasan pesisir utara Pulau Jawa dari potensi banjir rob dan krisis iklim menghadapi tantangan pelik di tahun pertamanya menjabat. Ambisi yang digadang-gadang sejak masa kampanye itu tampak belum menemukan momentum pelaksanaan yang konkret. Justru sebaliknya, pelaksanaan proyek infrastruktur strategis nasional terlihat melambat akibat sejumlah persoalan krusial.
Kementerian Pekerjaan Umum (PU), yang menjadi garda depan pelaksanaan berbagai proyek nasional, mencatat realisasi anggaran dan fisik yang belum optimal. Menteri PU, Dody Hanggodo, menyampaikan bahwa hingga awal Juli 2025, progres keuangan baru mencapai 29,21% dari pagu anggaran Rp71 triliun.
“Untuk progres keuangan per hari ini memang baru mencapai 29,21% untuk penyerapan keuangan,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR RI. Lebih lanjut, Dody menuturkan bahwa progres pembangunan fisik pun baru di angka 33,85%. Angka itu lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu yang sudah mencapai 34% hingga 35%.
Penyebab utama dari perlambatan tersebut, menurut Dody, adalah dinamika politik anggaran di awal pemerintahan. Revisi alokasi dan penyesuaian belanja pemerintah yang dilakukan berulang kali membuat pelaksanaan proyek tersendat. “Semuanya karena di semester pertama kita agak sedikit terhambat karena masalah politik anggaran. Tapi kami masih optimis bahwa di Desember 2025 kami bisa mencapai 93% untuk keuangan dan lebih dari 90% untuk fisik,” tegasnya.
Meski demikian, Kementerian PU tetap mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp12,5 triliun untuk mendukung pelaksanaan program prioritas tahun ini. Usulan ini, menurut Dody, akan dimanfaatkan untuk mendanai proyek-proyek baru yang merupakan instruksi langsung Presiden, termasuk menyelesaikan pembangunan yang sedang berjalan.
“Mohon izin untuk tahun anggaran 2025 perubahan anggaran dari Rp73 triliun menjadi Rp86 triliun,” kata Dody. Dari tambahan tersebut, Rp7,05 triliun dialokasikan untuk Ditjen Sumber Daya Air, dengan fokus pada infrastruktur irigasi dan percepatan proyek-proyek Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN).
Di tengah pelambatan tersebut, megaproyek GSW justru masih dalam tahap pengkajian dan perencanaan. Presiden Prabowo menyampaikan bahwa pembangunan tanggul laut sepanjang 500 km dari Banten hingga Gresik diperkirakan akan membutuhkan dana hingga US$80 miliar atau sekitar Rp1.297 triliun.
“Proyek ini menyangkut jarak yang tidak pendek, kalau tak salah 500 Km, dari Banten sampai Jawa Timur ke Gresik dan perkiraan biaya yang dibutuhkan US$80 miliar,” kata Prabowo dalam acara International Conference of Infrastructure (ICI) 2025. Ia juga menyebut akan membentuk Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa yang bertugas mengelola seluruh tahapan proyek.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyatakan bahwa pemerintah tengah merampungkan peta jalan atau blueprint proyek tersebut. Ia menekankan pentingnya perencanaan yang matang agar proyek tidak menjadi pemborosan anggaran.
“Kita benar-benar harus meyakinkan blueprint-nya itu rapih benar, kita tak ingin lambat-lambat karena mungkin harus segera,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa pembangunan proyek sebesar ini membutuhkan sinergi lintas kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah. “Sekali lagi kecepatan bukan berarti tergesa-gesa yang akhirnya ada yang tidak efisien atau bahkan harus dilakukan penyesuaian-penyesuaian yang tak baik ke depan kalau tak terencana dengan integratif,” tambahnya.
Respons terhadap kondisi infrastruktur nasional juga datang dari pelaku usaha. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut bahwa keterlambatan pembangunan infrastruktur berpotensi memberi dampak signifikan terhadap perekonomian.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Kadin Indonesia, Carmelita Hartoto, menjelaskan bahwa lambatnya pelaksanaan proyek mengganggu rantai pasok di berbagai sektor.
"Perlu diketahui, sektor konstruksi sendiri menyumbang sekitar 10,43% terhadap PDB nasional tahun lalu," jelasnya. Ia berharap proyek-proyek yang tertunda segera direalisasikan, termasuk melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk menjamin pembiayaan berkelanjutan.
"Yang kami tekankan adalah pentingnya konsistensi dalam penjadwalan, penyederhanaan birokrasi, serta kepastian pembayaran kepada kontraktor karena hal-hal inilah yang memengaruhi langsung kepercayaan pelaku usaha dan investor terhadap sektor infrastruktur nasional," ujarnya.
Namun, suara berbeda datang dari kalangan akademisi. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyampaikan bahwa megaproyek seperti Giant Sea Wall sebaiknya ditunda karena tidak memberikan dampak ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat.
"Proyek boros anggaran dan tidak memberikan dampak langsung bagi masyarakat seperti lapangan kerja dan daya beli justru wajib ditunda. Kondisi fiskal kita tahun ini dan 2026 akan sangat berat," ujarnya mengingatkan.
Polemik ini menunjukkan bahwa meskipun ambisi pembangunan tetap menjadi ciri utama pemerintahan baru, realisasi di lapangan tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik anggaran, kesiapan teknis, dan efektivitas kelembagaan. Giant Sea Wall mungkin menjadi simbol visi besar Prabowo, tetapi realitas pembangunan nasional menuntut strategi yang lebih adaptif dan terukur.