Kecantikan

Gen Z Terjebak Standar Kecantikan Modern

Gen Z Terjebak Standar Kecantikan Modern
Gen Z Terjebak Standar Kecantikan Modern

JAKARTA - Di era media sosial yang berkembang pesat, Generasi Z dihadapkan pada tantangan serius terkait persepsi kecantikan. Bukan lagi sekadar soal penampilan fisik, tetapi juga bagaimana standar kecantikan modern kerap memengaruhi kesehatan mental mereka. Narasi visual yang dibentuk oleh media dan industri kecantikan kini seolah menetapkan satu definisi cantik yang harus diikuti: tubuh langsing, kulit glowing tanpa cela, dan wajah proporsional yang jauh dari kenyataan sebagian besar orang.

Fenomena ini bukanlah hal yang muncul tiba-tiba. Jauh sebelum era digital, standar kecantikan sudah membayangi generasi sebelumnya. Di era 90-an, misalnya, sosok ideal adalah perempuan bertubuh kurus ala supermodel internasional atau idol K-Pop dengan penampilan fisik yang sempurna. Kini, standar tersebut berkembang menjadi paket lengkap: tubuh ideal, kulit halus tanpa pori-pori, wajah simetris, kulit cerah, hingga penampilan yang senantiasa “glowing” setiap saat.

Kondisi ini diperparah dengan kehadiran teknologi filter kamera, aplikasi editing, serta algoritma media sosial yang hanya menampilkan konten berisi wajah-wajah tanpa cela. Eksposur terhadap konten semacam ini secara berulang tanpa disadari mampu membentuk pola pikir bahwa “cantik” hanya berarti tampil sempurna secara fisik.

Tidak hanya industri kecantikan, pengaruh budaya populer seperti film, drama, hingga reality show juga turut andil memperkuat persepsi sempit tentang kecantikan. Perempuan dengan ciri-ciri fisik tertentu sering kali lebih dominan ditampilkan sebagai pemeran utama, sementara representasi dari bentuk tubuh yang beragam, warna kulit yang berbeda, atau kondisi wajah bertekstur jarang mendapat porsi yang seimbang. Akibatnya, standar kecantikan yang berkembang semakin eksklusif dan sulit dijangkau oleh remaja pada umumnya.

Dampaknya terasa nyata di kalangan Generasi Z. Studi yang dirilis Mental Health Foundation UK menunjukkan lebih dari 40 persen remaja mengaku tidak puas dengan tubuh mereka sendiri. Penelitian itu juga menyoroti media sosial sebagai salah satu faktor terbesar yang berkontribusi terhadap rendahnya kepercayaan diri pada kelompok usia tersebut.

Banyak dari mereka mulai merasakan tekanan untuk tampil “sempurna” setiap waktu. Tidak sedikit pula yang akhirnya mengalami gangguan makan, mulai dari anoreksia hingga bulimia, sebagai akibat dari keinginan ekstrem untuk menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang digaungkan media. Yang lebih memprihatinkan, perasaan tidak percaya diri ini muncul di usia yang sangat muda, bahkan sejak masa sekolah dasar. Komentar body shaming di kolom media sosial hingga perbandingan visual antar teman sebaya menjadi pemicu utama.

Meski demikian, gelombang perlawanan mulai muncul di kalangan Gen Z sendiri. Tidak semua tunduk begitu saja pada tekanan tersebut. Justru dari kelompok ini muncul pergerakan yang berani mendobrak pakem kecantikan konvensional. Kampanye body positivity, self-love, serta gerakan untuk menghapus stigma standar kecantikan terus digaungkan oleh anak-anak muda ini.

Kini mulai bermunculan influencer yang dengan bangga menampilkan tubuh mereka apa adanya, tanpa polesan filter, tanpa malu terhadap warna kulit yang gelap, atau bentuk tubuh yang jauh dari standar kurus. Mereka hadir sebagai representasi nyata bahwa kecantikan tidak seharusnya dibatasi oleh ukuran tubuh atau warna kulit.

Di sisi lain, industri kecantikan juga mulai mengalami pergeseran. Beberapa brand mulai menggandeng model dengan berbagai latar belakang fisik sebagai wajah produk mereka. Walau tren ini masih dalam tahap awal, perubahan positif sudah mulai terasa.

Namun faktanya, perjuangan melawan standar kecantikan sempit masih panjang. Perubahan budaya tidak terjadi dalam semalam. Generasi Z sebagai kelompok yang paling terpapar media sosial perlu terus diingatkan bahwa validasi diri tidak seharusnya datang dari jumlah likes atau komentar di media sosial.

Kecantikan tidak hanya hadir dari fisik yang menawan, tetapi juga dari keberanian menerima diri sendiri, kepercayaan diri untuk tampil otentik, serta kesehatan mental yang terjaga. Mengejar kesempurnaan fisik yang dibentuk industri hanya akan membuat seseorang terjebak dalam lingkaran rasa tidak puas berkepanjangan.

Pada akhirnya, pesan sederhana yang penting untuk terus digaungkan adalah bahwa setiap orang berhak merasa cantik dengan caranya masing-masing. Tidak ada ukuran pasti dalam mendefinisikan kecantikan, terlebih jika definisi itu justru merugikan kesehatan mental.

Generasi Z perlu mengingat bahwa kecantikan sejati adalah merasa nyaman dengan diri sendiri, mampu mencintai tubuh sebagaimana adanya, dan berani menolak standar yang menyudutkan. Kesehatan mental jauh lebih penting daripada sekadar mengejar citra sempurna di media sosial.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index