JAKARTA - Setiap tanggal 11 Juli menjadi pengingat bagi dunia penerbangan nasional atas tragedi besar yang pernah terjadi di langit Sumatera Utara. Empat puluh enam tahun silam, tepatnya pada 11 Juli 1979, Indonesia kehilangan satu pesawat komersial beserta seluruh awak dan penumpangnya dalam insiden memilukan: jatuhnya pesawat Fokker F-28 Fellowship MK1000 milik Garuda Indonesia di Gunung Sibayak, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Pesawat dengan nomor registrasi PK-GVE dan nama "Mamberamo" itu dijadwalkan mendarat di Bandara Polonia, Medan, setelah terbang dari Jakarta. Namun, takdir berkata lain. Dalam perjalanannya, pesawat tersebut menabrak sisi Gunung Sibayak pada ketinggian sekitar 1.690 meter di atas permukaan laut. Tidak ada yang selamat.
Dari Jakarta Menuju Medan: Rute yang Berakhir Tragis
Pesawat Fokker F-28 tersebut merupakan bagian dari armada Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nasional yang saat itu tengah berada pada masa perkembangan signifikan. Penerbangan menuju Medan seharusnya menjadi perjalanan rutin yang aman. Namun, mendekati proses pendaratan di Bandara Polonia, pesawat kehilangan kontak dan akhirnya dinyatakan jatuh.
Kondisi cuaca yang kurang bersahabat serta topografi pegunungan yang kompleks disebut-sebut sebagai faktor yang memperburuk situasi. Gunung Sibayak, yang memiliki lanskap terjal dan kerap diselimuti kabut tebal, menjadi tempat jatuhnya pesawat tersebut. Hingga kini, lokasi tersebut masih dikenang sebagai titik duka dalam sejarah dirgantara Indonesia.
“Hari ini 46 tahun lalu, bertepatan dengan 11 Juli 1979, dikenang sebagai salah satu momen kelam dalam sejarah dirgantara Indonesia, yakni jatuhnya pesawat Fokker F-28 Fellowship MK1000 PK-GVE milik Garuda Indonesia di Gunung Sibayak, Sumatera Utara.”
Kejadian ini bukan hanya mengguncang dunia penerbangan nasional, tetapi juga meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban, masyarakat, serta insan dirgantara Tanah Air.
Gunung Sibayak: Medan yang Sulit, Penuh Risiko
Gunung Sibayak memang dikenal sebagai salah satu gunung berapi aktif di Sumatera Utara. Dengan ketinggian mencapai 2.094 meter, gunung ini berdiri megah di wilayah Kabupaten Karo, tak jauh dari Kota Berastagi. Lokasinya yang relatif dekat dengan jalur penerbangan menuju Medan menjadikannya sebagai salah satu titik berisiko tinggi dalam navigasi udara, terutama pada era ketika sistem navigasi belum secanggih sekarang.
Pesawat Mamberamo menabrak sisi gunung tersebut pada ketinggian 1.690 meter, yang menunjukkan bahwa insiden terjadi ketika pesawat berada dalam tahap akhir proses pendaratan. Namun, awan tebal dan minimnya visibilitas membuat kru pesawat tak dapat menghindari tabrakan.
Kondisi medan yang curam menyulitkan proses evakuasi pada saat itu. Tim SAR, dibantu oleh warga sekitar dan TNI, harus berjibaku menyusuri jalur hutan untuk mencapai lokasi jatuhnya pesawat. Butuh waktu berhari-hari untuk mengevakuasi puing-puing dan jenazah korban.
Fokker F-28 "Mamberamo": Pesawat yang Dikenal Andal
Fokker F-28 merupakan pesawat jet regional asal Belanda yang digunakan oleh banyak maskapai penerbangan pada era 1970-an hingga 1990-an. Garuda Indonesia mengoperasikan varian MK1000 untuk melayani rute-rute domestik jarak menengah, termasuk Jakarta–Medan.
Pesawat dengan nama "Mamberamo" ini sebelumnya dikenal memiliki performa yang cukup baik dalam mengatasi rute-rute menantang di Indonesia. Namun, kecelakaan tragis tersebut menjadi titik balik yang mengundang perhatian terhadap prosedur keselamatan, pelatihan kru, dan navigasi penerbangan di daerah berpegunungan.
Duka Nasional dan Evaluasi Keselamatan
Tragedi di Gunung Sibayak pada 1979 mengundang duka nasional. Pemerintah Indonesia, otoritas penerbangan sipil, dan Garuda Indonesia melakukan investigasi menyeluruh. Berbagai aspek dievaluasi, mulai dari kondisi cuaca, kesiapan kru, hingga ketersediaan sistem navigasi darat dan komunikasi.
Kecelakaan ini juga menjadi pendorong awal lahirnya sistem peningkatan navigasi berbasis teknologi di Indonesia. Meski proses transformasi memakan waktu bertahun-tahun, tragedi tersebut memperkuat kesadaran akan pentingnya keselamatan sebagai pilar utama penerbangan sipil.
Keluarga korban pun mendapat perhatian dari pemerintah, meskipun pada masa itu regulasi asuransi penerbangan dan perlindungan penumpang belum sekomprehensif saat ini. Nama-nama korban diabadikan dalam monumen kecil di area yang kini menjadi bagian dari jalur pendakian Gunung Sibayak.
Pengingat dan Refleksi
Empat puluh enam tahun telah berlalu, namun ingatan atas tragedi Fokker F-28 di Gunung Sibayak tetap hidup. Bagi generasi baru, kisah ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya keselamatan penerbangan, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki geografi kompleks dan cuaca tak menentu.
Tragedi ini juga memperkuat pentingnya penyediaan teknologi navigasi modern di semua jalur penerbangan domestik, serta pelatihan intensif bagi pilot dan kru yang bertugas di wilayah-wilayah menantang.
Dalam setiap upaya meningkatkan keselamatan transportasi udara, peristiwa 11 Juli 1979 senantiasa menjadi pengingat—bahwa di balik kemajuan teknologi dan layanan, terdapat sejarah panjang yang penuh pengorbanan dan pembelajaran.