JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk menyelesaikan transisi dari energi fosil menuju energi terbarukan dalam kurun satu dekade mendatang. Pernyataan tersebut menandai terobosan visi strategis pemerintah yang tak hanya ambisius, tetapi juga realistis—menyempurnakan langkah-langkah menuju kemerdekaan energi yang bersih dan berkelanjutan.
Transisi Energi: Pilar Ekonomi dan Lingkungan
Dengan posisi sebagai negara dengan cadangan energi fosil melimpah, Indonesia sejak lama bergantung pada bahan bakar konvensional. Meski memberi stabilitas ekonomi jangka pendek, penggunaan energi fosil berdampak besar terhadap lingkungan dan menimbulkan ketergantungan pada impor. Pernyataan Prabowo menunjukkan bahwa pemerintah memahami urgensi kebijakan ini bukan hanya sebagai respons terhadap perubahan iklim global, tetapi juga sebagai upaya efisiensi ekonomi dan kedaulatan nasional.
Satu Dekade: Target Energik Menuju Neutralitas Karbon
Satu dekade adalah periode yang cukup menantang jika dikaitkan dengan peralihan energi seluruh skala nasional. Namun, Prabowo yakin pemerintah dapat mencapainya, dengan dukungan investasi, teknologi, dan regulasi yang tepat. Langkah ini telah selaras dengan komitmen global dalam konferensi internasional iklim, di mana Indonesia berjanji menyalurkan energi terbarukan semakin masif dan menurunkan emisi karbon secara signifikan.
Investasi dan Infrastruktur: Tulang Punggung Kebijakan
Untuk mewujudkan target ambisius tersebut, pemerintah harus memastikan investasi besar di sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Termasuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, angin, biomassa, dan geothermal yang kaya di berbagai daerah. Pembangunan infrastruktur transmisi juga diperlukan untuk memastikan distribusi energi terbarukan—menghubungkan pusat produksi yang terkadang terpencil dengan pusat konsumsi di kota besar.
Pemerintah juga diharapkan memberikan insentif fiskal dan regulasi yang memacu industri serta memastikan akses teknologi mutakhir dengan mengundang mitra global. Langkah ini akan memperkuat ekosistem EBT lokal dan menggairahkan sektor swasta untuk ambil bagian.
Dampak Sosial-Ekonomi: Lapangan Kerja dan Kemandirian Lokal
Transisi energi dalam skala besar membuka peluang lapangan kerja baru di sektor manufaktur panel surya, teknisi pembangkit energi, hingga riset dan pengembangan solusi EBT. Pemerintah, menurut rencana Prabowo, akan melibatkan tenaga lokal dalam pembelajaran teknis dan akuntansi energi agar manfaat transisi langsung dirasakan masyarakat.
Daerah penghasil energi—seperti di Nusa Tenggara Timur untuk tenaga angin, Papua untuk biomassa, dan Jawa Barat untuk tenaga ombak—juga akan meningkat perekonomiannya. Selain menggairahkan industri lokal, hal ini akan membantu mengurangi ketimpangan kawasan serta mempercepat penerapan pembangunan inklusif.
Peran Kebijakan dan Regulasi
Transisi energi tidak akan berjalan tanpa kerangka kebijakan yang kuat. Undang-Undang EBT harus diperkuat dengan regulasi turunan, tarif feed-in, serta skema kemitraan pemerintah-swasta (PPP) yang transparan. Selain itu, penyederhanaan perizinan dan kepastian hukum diperlukan agar investor tidak enggan masuk ke sektor ini.
Pemerintah keras menekankan tata kelola energi berkelanjutan—termasuk aspek pelestarian lingkungan, dampak sosial, dan transparansi. Dengan menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance), pembangunan energi baru dapat berjalan beriringan dengan perlindungan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan lokal.
Tantangan Teknis dan Solusi
Beberapa kendala, seperti intermittency di pembangkit surya dan angin, serta keterbatasan cadangan bahan bakar biomas memerlukan pendekatan inovatif—seperti baterai terintegrasi, sistem smart grid, dan teknologi hydrogen. Pemerintah juga perlu memastikan penelitian dan pengembangan (R&D) meningkat, dan laboratorium dalam negeri mampu menghasilkan teknologi lokal yang efektif.
Sinergi dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian seperti LIPI, ITB, dan ITS sangat krusial. Apalagi, diplomasi energi juga dapat membantu Indonesia mengadopsi teknologi dari negara maju seperti Jepang, Korea, dan Jerman, yang telah jauh melangkah dalam penerapan energi bersih.
Komunikasi Publik dan Edukasi
Transformasi energi membutuhkan dukungan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus merancang kampanye edukasi tentang manfaat EBT: harga listrik terjangkau, kualitas udara dan kesehatan lingkungan lebih baik, serta dukungan bagi generasi muda. Pelibatan komunitas juga bisa mempercepat adopsi instalasi atap surya rumah hingga sistem energi terdesentralisasi di desa.
Pemantauan dan Evaluasi
Target satu dekade harus dipantau secara berkala. Pemerintah bisa membentuk lembaga khusus yang memuat indikator performa energi bersih: total kapasitas terpasang, pengurangan emisi karbon, dan nilai investasi global. Laporan berkala dan audit publik akan menjaga akuntabilitas dan transparansi.
Momentum Strategis Menuju Energi Berdaulat
Pernyataan Presiden Prabowo tentang proses transisi energi yang rampung dalam satu dekade ini memberi sinyal kuat bahwa pemerintah kini membawa komitmen tinggi untuk masa depan energi Indonesia. Lebih dari perubahan teknis, ini menyangkut hajat hidup rakyat, kedaulatan energi, dan posisi negeri di percaturan iklim global. Kalau semua elemen—kementerian terkait, industri, masyarakat, dan regulator—bekerja sinergis, target ini bukan sekadar idealisme, tapi imbauan nyata menuju energi bersih yang dikuasai bangsa sendiri, demi generasi yang lebih hijau dan tangguh.