JAKARTA - Perhatian terhadap isu kesehatan kembali mengemuka dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI bersama Menteri Kesehatan, yang membahas capaian kinerja 2025 dan rencana kerja 2026. Dalam rapat tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Muh Haris, menegaskan pentingnya akselerasi program kesehatan nasional, terutama dalam penanganan stunting dan tuberkulosis (TBC). Kedua isu ini dinilai masih memerlukan perhatian serius karena hingga pertengahan tahun 2025 belum menunjukkan capaian yang signifikan.
Kesehatan menjadi salah satu indikator penting dalam mengukur kualitas pembangunan manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila DPR, khususnya Komisi IX yang membidangi urusan kesehatan, ketenagakerjaan, dan kependudukan, menempatkan stunting dan TBC sebagai fokus utama. Kedua isu ini bukan hanya soal medis, tetapi juga menyangkut dimensi sosial, ekonomi, dan kebijakan lintas sektor.
Stunting, yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis sejak 1.000 hari pertama kehidupan, merupakan ancaman jangka panjang terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia. Tuberkulosis, di sisi lain, adalah penyakit menular yang masih menjadi beban utama kesehatan masyarakat, terutama di daerah padat penduduk dan wilayah dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Muh Haris dalam pernyataannya menyoroti beberapa kendala utama yang membuat capaian penanganan kedua isu tersebut belum maksimal. Ia menilai, intervensi yang dilakukan pemerintah belum merata dan masih terfokus di wilayah tertentu. Banyak daerah, terutama di Indonesia bagian timur, belum mendapatkan akses yang cukup terhadap program-program penanggulangan stunting dan TBC.
Selain itu, ia juga menyinggung lemahnya koordinasi lintas kementerian. Penanganan stunting dan TBC tidak bisa hanya menjadi tugas Kementerian Kesehatan semata. Dibutuhkan kerja sama yang solid dengan kementerian lain seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, bahkan Kementerian PUPR untuk memastikan ketersediaan sanitasi dan air bersih. Tanpa kolaborasi yang menyeluruh, program yang dijalankan cenderung parsial dan tidak berdampak luas.
Dalam rapat tersebut, Muh Haris juga mendorong pemerintah untuk memanfaatkan teknologi dan sistem informasi digital sebagai alat bantu evaluasi. Menurutnya, pemantauan berbasis data real-time akan mempercepat proses evaluasi dan penyesuaian kebijakan. Hal ini sangat krusial, mengingat dinamika di lapangan yang cepat berubah dan membutuhkan respons cepat pula.
Pentingnya edukasi masyarakat juga disampaikan sebagai faktor penentu keberhasilan program kesehatan. Haris menekankan perlunya pendekatan yang lebih humanis dan berbasis komunitas. Program seperti posyandu dan kader kesehatan harus diperkuat, karena mereka adalah ujung tombak di tingkat akar rumput yang berhadapan langsung dengan masyarakat setiap hari.
Komisi IX juga mendorong adanya penguatan kapasitas tenaga kesehatan di tingkat layanan primer, seperti puskesmas dan klinik desa. Mereka harus dibekali dengan kemampuan untuk mendeteksi dini tanda-tanda stunting maupun TBC. Intervensi sejak awal diyakini dapat mencegah kasus menjadi kronis atau sulit disembuhkan.
Dalam konteks perencanaan 2026, DPR meminta Kementerian Kesehatan menetapkan target capaian yang lebih agresif namun realistis. Program-program intervensi harus disusun dengan lebih fokus dan memiliki indikator yang terukur. Haris juga mengingatkan agar penyusunan anggaran tahun depan benar-benar mencerminkan kebutuhan di lapangan, bukan sekadar alokasi rutin administratif.
Komitmen pengawasan menjadi bagian tak terpisahkan dari peran DPR. Haris menyatakan bahwa Fraksi PKS akan terus mengawal implementasi program ini, termasuk menyerap aspirasi dari daerah yang selama ini belum mendapatkan perhatian maksimal. Fungsi pengawasan akan diperkuat melalui kunjungan kerja dan dialog langsung dengan stakeholder di berbagai daerah.
Apa yang disampaikan oleh Muh Haris mencerminkan semangat keberpihakan terhadap kelompok rentan. Stunting dan TBC paling banyak menjangkiti masyarakat miskin, yang aksesnya terhadap makanan bergizi, sanitasi, dan layanan kesehatan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, strategi percepatan juga harus melibatkan intervensi sosial dan ekonomi, seperti bantuan langsung untuk keluarga berisiko dan peningkatan jaminan kesehatan nasional.
Isu ini pun relevan dengan komitmen global, termasuk dalam target Sustainable Development Goals (SDGs), yang menetapkan penurunan angka stunting dan eliminasi TBC sebagai bagian dari agenda pembangunan berkelanjutan. Haris menilai, untuk mewujudkan SDGs, Indonesia tidak cukup hanya dengan komitmen di atas kertas, tetapi butuh eksekusi nyata di lapangan yang dapat langsung dirasakan masyarakat.
Di tengah sorotan terhadap kinerja kementerian teknis, pernyataan Muh Haris menjadi pengingat bahwa kualitas kesehatan masyarakat adalah fondasi utama bagi daya saing bangsa. Generasi masa depan hanya bisa tumbuh optimal jika bebas dari stunting dan penyakit menular seperti TBC. Oleh karena itu, akselerasi program kesehatan bukan semata tugas birokrasi, melainkan panggilan moral bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk legislatif.
Sebagai wakil rakyat, Haris menyampaikan bahwa pihaknya siap bekerja sama dan memberikan dukungan politik terhadap kebijakan yang berpihak pada kesehatan rakyat. Namun, ia juga menegaskan bahwa dukungan tersebut akan disertai dengan pengawasan ketat agar dana publik digunakan secara efektif dan efisien. Di akhir pernyataannya, ia mengajak semua pihak untuk melihat isu stunting dan TBC bukan sekadar masalah teknis, tetapi sebagai persoalan mendasar yang menentukan masa depan Indonesia sebagai bangsa yang sehat, kuat, dan berdaya saing.