AAUI

AAUI Dukung Co Payment yang Adil

AAUI Dukung Co Payment yang Adil
AAUI Dukung Co Payment yang Adil

JAKARTA - Keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komisi XI DPR RI untuk menunda penerapan skema co-payment dalam asuransi kesehatan membuka jalan penting bagi terciptanya regulasi yang lebih adil dan inklusif. Dalam situasi ini, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyoroti pentingnya perlindungan terhadap kelompok masyarakat rentan dan menyerukan agar mekanisme baru tersebut tidak menjadi beban tambahan bagi mereka.

Skema co-payment, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) 7/2025, sejatinya dirancang untuk mengendalikan moral hazard dan memperkuat literasi finansial masyarakat. Namun, pelaksanaannya dinilai masih memerlukan banyak penyesuaian agar tidak mencederai prinsip perlindungan bagi peserta asuransi yang paling membutuhkan, seperti lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat berpenghasilan rendah.

Penundaan Penerapan: Peluang Perbaikan Regulasi

Rapat kerja antara OJK dan Komisi XI DPR RI menghasilkan keputusan strategis untuk menunda implementasi co-payment yang semula direncanakan pada awal 2026. Penundaan ini disambut baik oleh banyak pihak sebagai langkah bijak untuk menyempurnakan aturan yang belum sepenuhnya mencerminkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia.

Co-payment sendiri merupakan kebijakan yang mewajibkan peserta asuransi menanggung sebagian biaya pengobatan yang diterimanya. Walaupun tujuannya untuk memperkuat keberlanjutan sistem asuransi, mekanisme ini dinilai masih memiliki risiko apabila diterapkan tanpa mempertimbangkan keragaman kemampuan finansial masyarakat.

AAUI: Perlakuan Khusus Bagi Kelompok Rentan

Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, dalam pernyataannya menekankan bahwa co-payment tetap relevan sebagai instrumen kontrol risiko dan edukasi keuangan. Namun, menurutnya, fleksibilitas dalam pelaksanaannya sangat diperlukan.

“AAUI setuju apabila diberikan pengecualian khusus bagi kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, atau peserta berpenghasilan rendah, selama ada kriteria yang jelas dan pengaturannya tidak mengganggu keseimbangan aktuaria,” tegas Budi.

Pernyataan ini memperkuat posisi AAUI dalam mendukung skema co-payment yang lebih berkeadilan dan adaptif terhadap struktur sosial masyarakat Indonesia.

Menuju Regulasi Lebih Kuat: POJK Baru Disiapkan

Penundaan implementasi juga memberi ruang bagi OJK untuk menyiapkan Peraturan OJK (POJK) baru sebagai pengganti SEOJK 7/2025. POJK ini diharapkan lebih kuat secara hukum, komprehensif, dan responsif terhadap aspirasi pemangku kepentingan.

Diharapkan regulasi ini dapat menjaga keseimbangan antara keberlangsungan industri dan perlindungan hak peserta asuransi, serta mengakomodasi tuntutan atas pengecualian bagi kelompok-kelompok rentan.

Peran Agen Asuransi Juga Masuk Sorotan

Selain skema co-payment, pembahasan dalam rapat juga menyentuh persoalan komisi agen asuransi yang selama ini menjadi salah satu komponen biaya tinggi dalam industri asuransi.

Anggota Komisi XI DPR mengusulkan adanya batasan maksimal untuk komisi agen guna menekan biaya akuisisi dan menjaga efisiensi keuangan perusahaan asuransi.

Menanggapi usulan ini, Budi Herawan menyampaikan bahwa komisi bukan sekadar biaya, melainkan insentif penting bagi agen asuransi untuk melakukan edukasi dan pelayanan yang berkelanjutan kepada peserta.

“Efisiensi biaya memang penting, tetapi perlu pendekatan yang seimbang agar layanan kepada peserta tetap optimal,” jelasnya. Ia juga menyarankan agar restrukturisasi dilakukan berdasarkan kinerja atau durasi polis, bukan sekadar pemangkasan sepihak.

Komitmen Pada Perlindungan dan Keberlanjutan

Menurut AAUI, urgensi pengaturan asuransi kesehatan tetap tinggi mengingat meningkatnya biaya kesehatan dan tingginya klaim dalam beberapa waktu terakhir. Dalam konteks ini, skema co-payment dapat menjadi salah satu solusi keberlanjutan, asalkan tidak mengorbankan keadilan sosial.

“Keberhasilan implementasi regulasi ini tidak hanya ditentukan oleh waktu penerapan, tetapi juga oleh sejauh mana seluruh pihak memahami, menyepakati, dan mempersiapkan secara teknis kebijakan tersebut,” ungkap Budi.

Oleh karena itu, penting bagi semua pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa regulasi yang disusun tidak hanya layak secara teknis, tetapi juga bisa diterima oleh masyarakat luas, terutama yang terdampak langsung.

Harapan AAUI: Realistis dan Berorientasi Keadilan

AAUI berharap POJK baru yang menggantikan SEOJK 7/2025 dapat dirumuskan dan diselesaikan tepat waktu. Meski tetap menargetkan implementasi skema co-payment pada 1 Januari 2026, AAUI terbuka terhadap penyesuaian jadwal bila memang dibutuhkan untuk kesiapan sistem dan edukasi publik.

Budi menilai bahwa penundaan ini justru memberi peluang emas bagi regulator dan pelaku industri untuk menyiapkan kebijakan secara lebih matang dan menyeluruh.

Menuju Sistem Asuransi Kesehatan yang Inklusif

Dinamika kebijakan co-payment saat ini mencerminkan keseriusan regulator dan industri dalam mewujudkan sistem asuransi kesehatan yang efisien, berkelanjutan, dan adil. Penekanan pada fleksibilitas penerapan dan perlindungan masyarakat rentan menjadi kunci agar kebijakan ini tidak kontraproduktif.

Dengan keterlibatan aktif seluruh pihak, diharapkan sistem asuransi kesehatan di Indonesia ke depan tidak hanya bertahan secara finansial, tetapi juga memberikan perlindungan yang menyeluruh dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index