JAKARTA - Di tengah ketatnya persaingan maskapai penerbangan di kawasan Asia Tenggara, posisi Garuda Indonesia sebagai maskapai kebanggaan nasional kembali menjadi sorotan. Dianggap sebagai simbol kekuatan transportasi udara Indonesia, Garuda harus menghadapi kenyataan bahwa daya saingnya masih tertinggal dibandingkan maskapai utama negara-negara ASEAN lainnya.
Maskapai pelat merah ini berdiri sejak 1950 dengan nama Garuda Indonesia Airways NV, sebelum bertransformasi menjadi PT Garuda Indonesia (Persero) pada 2010. Meski sempat menduduki peringkat atas maskapai dunia versi Skytrax pada 2013-2018 dan meraih penghargaan sebagai "The Best On Time Performance" pada 2019, perjalanan Garuda tidak selalu mulus.
Pandemi Covid-19 menjadi pukulan besar. Keterisian pesawat domestik yang sebelumnya mencapai 70 persen anjlok menjadi 43 persen pada 2020. Mengingat 80 persen pendapatan berasal dari penumpang domestik, tekanan keuangan Garuda tak terhindarkan. Masalah laten seperti biaya sewa dan perawatan pesawat, ditambah mahalnya tiket pascapandemi, turut memperberat beban perusahaan.
Sebagai bagian dari upaya pemulihan, pemerintah mengucurkan pinjaman senilai USD 405 juta atau sekitar Rp 6,6 triliun melalui Danantara Indonesia. Selain itu, terjadi perombakan direksi pada pertengahan 2025 sebagai langkah strategis mendorong optimalisasi bisnis Garuda.
Namun, di tengah transformasi tersebut, pertanyaannya tetap sama: sejauh mana Garuda bisa bersaing di panggung ASEAN? Data menunjukkan bahwa posisi Garuda masih di bawah beberapa maskapai regional. Peringkat Garuda di Skytrax merosot dari posisi ke-15 (2021) ke peringkat ke-34 (2024). Sementara itu, Thai Airways meningkat ke posisi 33 dan Singapore Airlines tetap menduduki peringkat teratas.
Dilihat dari aspek jangkauan rute internasional, Garuda hanya melayani 15 kota di 11 negara dari 5 kawasan, mayoritas masih berfokus di Asia. Bandingkan dengan Singapore Airlines yang menjangkau 79 kota di 34 negara, atau Thai Airways dan Malaysia Airlines yang masing-masing melayani sekitar 50 kota global. Bahkan Vietnam Airlines yang lebih muda telah melayani rute lebih luas daripada Garuda.
Masalah lain adalah keterbatasan kerja sama codeshare. Garuda hanya bermitra dengan 16 maskapai dari 14 negara, dan sebagian besar masih dalam wilayah jangkauan langsung. Ini kontras dengan Singapore Airlines yang bekerja sama dengan lebih dari 30 maskapai dari 28 negara. Vietnam Airlines bahkan memiliki 25 mitra dari 21 negara. Artinya, cakupan global Garuda masih terbatas.
Selain itu, armada Garuda juga belum memadai untuk penerbangan jarak jauh. Garuda hanya memiliki 29 pesawat wide-body, jauh lebih kecil dibanding Singapore Airlines yang mengoperasikan lebih dari 130 armada sejenis. Thai Airways pun memiliki lebih dari 60 pesawat berbadan lebar. Padahal, pesawat wide-body menjadi kunci ekspansi penerbangan antarbenua.
Faktor ini turut memengaruhi keputusan Garuda memangkas 97 rute pada 2022 dari 237 menjadi 140. Menurut Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, banyak rute internasional yang belum menguntungkan. Daripada terus merugi, perusahaan memilih fokus pada rute potensial yang bisa mendongkrak performa keuangan.
Meski begitu, ada tren positif. Penumpang internasional Garuda naik signifikan dari hanya 110 ribu (2021) menjadi 2,6 juta (2024). Rasio penumpang internasional terhadap domestik juga naik dari 0,17 menjadi 0,30. Artinya, pangsa pasar internasional mulai menggeliat kembali.
Namun demikian, peningkatan jumlah penumpang belum cukup. Daya saing Garuda secara struktural masih membutuhkan pembenahan. Jumlah armada, koneksi global, dan strategi ekspansi harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar internasional. Pemulihan tidak boleh berhenti hanya pada peningkatan trafik, melainkan harus berlanjut pada reformasi menyeluruh.
Langkah-langkah seperti menambah codeshare dengan maskapai global, membuka rute baru ke destinasi strategis, hingga pembaruan armada menjadi solusi yang perlu segera direalisasikan. Transformasi bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan mutlak agar Garuda bisa terbang tinggi kembali.
Ke depan, jika strategi ini dijalankan secara konsisten dan komprehensif, bukan tidak mungkin Garuda Indonesia akan kembali mengibarkan Merah Putih di langit internasional sebagai maskapai dengan daya saing global sejajar dengan pemain besar di kawasan ASEAN.