AI

Jangan Ulangi Sejarah: Regulasi AI Harus Lebih Cepat dan Cermat

Jangan Ulangi Sejarah: Regulasi AI Harus Lebih Cepat dan Cermat
Jangan Ulangi Sejarah: Regulasi AI Harus Lebih Cepat dan Cermat

JAKARTA - Rencana pemerintah menerbitkan Perpres "Peta Jalan Kecerdasan Buatan" menunjukkan keseriusan dalam menghadapi tantangan era AI. Namun, setelah menyaksikan bagaimana regulasi internet pernah terlambat, kini muncul kekhawatiran bahwa kita justru akan terperangkap dalam siklus “telat mikir” regulasi, hanya berulang dengan teknologi baru.

Pelajaran Pahit dari Era VoIP → Internet

Pengguna dan pelaku industri internet di Indonesia sejak tahun 1995 pernah mengalami hambatan regulasi yang terasa ketinggalan zaman. Saat Voice over Internet Protocol (VoIP) sudah siap merevolusi komunikasi dan memangkas biaya, Undang‑Undang Telekomunikasi Tahun 1999 yang tidak menyebut “internet” malah memblokir layanan tersebut. VoIP yang sudah komputerisasi dan berbasis jaringan justru terbentur karena dasar hukum yang sempit. Hasilnya, masyarakat kehilangan manfaat harga murah, dan industri terhambat berkembang.

Regulasi internet akhirnya lahir pada tahun 2001 lewat Keputusan Menhub KM 21, tetapi baru menyasar infrastruktur—not teknologi dan layanan digital secara umum. Barulah lewat UU ITE pada 2008, ruang digital mendapat dasar hukum yang inklusif. Sayangnya, selisih satu dekade itu menjadi pelajaran mengenai kecepatan regulasi yang ketinggalan revolusi teknologi.

Efek Domino: Kenapa Kemunduran Itu Mengerikan?

1. Terbentur Peluang Ekonomi Besar
AI sedang meledak di seluruh sektor: kesehatan, pertanian, transportasi, hingga teknologi finansial. Ketika regulasi tidak hadir atau justru mengekang, investasi—khususnya dari luar—akan ragu masuk. Talenta AI terbaik pun akan bermigrasi ke negara dengan payung hukum yang kondusif. Alih-alih menjadi pemain global, kita hanya akan menjadi konsumen teknologi.

2. Kohesi Sosial Terancam
AI memiliki potensi yang luas, tapi juga bisa menimbulkan masalah besar:

Deepfake & disinformasi: Tanpa labelisasi dan transparansi, konten buatan AI bisa menyebar tanpa pengawasan.

Bias algoritma: Jika tidak diatur, AI bisa memperkuat disparitas sosial dan diskriminasi, misalnya dalam rekrutmen atau layanan publik.

Privasi & keamanan data: Pengumpulan data tanpa perlindungan hukum yang kuat bisa menyasar hak individu dan membahayakan kepercayaan masyarakat.

Perpres AI: Awal yang Baik, Tetapi Belum Cukup

Meskipun Perpres AI adalah langkah awal yang diperlukan, mengandalkan dasar hukum seperti UU ITE dan UU PDP bisa dianggap memaksa. Area AI mencakup lebih banyak hal—mulai dari kecerdasan sistem hingga hak cipta dan data personal yang luas.

Untuk menghindari "telat mikir" yang sama seperti era internet, Perpres AI harus melalui uji publik yang inklusif dan transparan. Jangan sampai regulasi ini hadir setelah kerusakan terjadi.

Tata Jalan Regulasi yang Harus Diambil

Berikut sejumlah langkah krusial agar Indonesia tidak mengulang kesalahan:

Kolaborasi antar pemangku kepentingan
Regulasi harus melibatkan akademisi, praktisi AI, startup, pakar hukum, dan masyarakat sipil sedini mungkin supaya relevansi dan daya adaptasinya tinggi.

Berbasis prinsip universal, bukan teknologi
Regulasi harus mengedepankan prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan privasi—agar tetap relevan meski teknologi AI berubah.

Regulasi sebagai fondasi inovasi, bukan penghambat
Perlunya ruang eksperimen seperti regulatory sandbox, dukungan riset, dan dukungan pendanaan agar inovasi lokal bisa tumbuh.

Antisipasi celah hukum baru
Regulasi harus siap mengakomodasi isu seperti hak cipta konten AI, penyalahgunaan data, serta definisi otonomi dan tanggung jawab sistem cerdas.

Tantangan vs Peluang: Waktu Berbicara

Era AI bukan sekadar tren teknologi, melainkan perubahan struktural yang dapat membentuk masa depan ekonomi dan sosial bangsa. Pemerintah saat ini memiliki kesempatan emas untuk memimpin dan memanfaatkan gelombang AI—asal regulasinya hadir cepat dan adaptif.

Belajar dari masa lalu, kini saatnya bergerak dengan cepat, cerdas, dan matang. Jika kita terlambat sekali lagi, dampaknya bukan sekadar kalah dalam inovasi; tapi melumpuhkan peluang besar dan menambah masalah sosial.  

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index