JAKARTA - Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tekanan domestik yang belum mereda, industri asuransi umum dan reasuransi menghadapi perlambatan kinerja yang signifikan. Namun, para pelaku industri tetap menunjukkan sikap tenang. Bagi Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), kondisi tersebut bukanlah sebuah krisis, melainkan bagian dari dinamika alami siklus bisnis asuransi.
Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa hingga 2025, total pendapatan premi asuransi umum dan reasuransi mencapai Rp66,08 triliun. Pertumbuhan tahunan (year-on-year/YoY) tercatat sebesar 3,43 persen. Angka ini menandakan perlambatan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mampu mencatat pertumbuhan 5,79 persen YoY.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian pengamat pasar, mengingat peran strategis sektor asuransi dalam menopang stabilitas keuangan nasional. Namun, Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, mengajak publik untuk tidak buru-buru menyimpulkan bahwa industri tengah memasuki fase krisis.
"Ini belum bisa dikategorikan darurat. Kami memandangnya sebagai fluktuasi wajar dalam bisnis asuransi," kata Budi.
Menurutnya, sektor asuransi merupakan salah satu industri yang secara historis sangat terpengaruh oleh dinamika ekonomi makro. Perubahan tren ekonomi global, pergeseran pola konsumsi, hingga fluktuasi pasar modal dapat memberikan dampak langsung terhadap pendapatan premi, khususnya pada lini bisnis yang terkait dengan pembiayaan, kendaraan bermotor, dan properti.
Ketiga sektor tersebut memang menjadi penyumbang terbesar dalam portofolio premi asuransi umum. Oleh karena itu, ketika sektor pembiayaan melambat, industri otomotif masih dalam tahap pemulihan, dan properti belum sepenuhnya bangkit, dampaknya sangat terasa pada kinerja premi asuransi.
Selain faktor domestik, Budi menyoroti tekanan dari aspek eksternal yang juga memengaruhi kinerja industri. Ia menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi global berdampak pada penurunan aktivitas korporasi secara umum. Imbasnya, permintaan terhadap polis asuransi proyek maupun asuransi korporasi ikut menurun.
"Selain itu, pengetatan seleksi risiko oleh reasuradur global juga menjadi tantangan. Hal ini meningkatkan retensi risiko di perusahaan asuransi dan membatasi ruang ekspansi produk, terutama untuk risiko tinggi," jelas Budi.
Pengetatan tersebut merupakan respons dari para reasuradur global atas peningkatan risiko akibat krisis iklim dan intensitas bencana alam yang kian tinggi. Dalam situasi ini, perusahaan asuransi dituntut untuk lebih selektif dan berhati-hati dalam menawarkan produk, yang pada gilirannya menahan laju pertumbuhan premi.
Meski pendapatan premi menunjukkan tren melambat, AAUI mencatat bahwa rasio kerugian (loss ratio) industri asuransi umum masih relatif stabil. Ini berarti bahwa meskipun premi tumbuh lebih lambat, perusahaan asuransi belum menghadapi lonjakan beban klaim secara drastis.
Namun, Budi tidak menampik bahwa tekanan klaim tetap ada dan cenderung meningkat, terutama disebabkan oleh dua hal utama: tingginya frekuensi kecelakaan dan makin seringnya bencana alam dalam beberapa tahun terakhir.
AAUI menilai bahwa jika tren perlambatan ini berlanjut hingga dua kuartal berikutnya, maka perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap strategi industri. Baik pelaku usaha maupun regulator perlu merumuskan langkah-langkah adaptif agar industri tetap tangguh menghadapi tekanan eksternal dan internal.
"Kalau tren ini berlanjut hingga dua kuartal ke depan, bisa menjadi sinyal perlunya intervensi strategis, baik dari pelaku industri maupun regulator," kata Budi.
Intervensi yang dimaksud bisa berupa penyesuaian kebijakan underwriting, penguatan edukasi risiko kepada pemegang polis, diversifikasi produk yang lebih adaptif terhadap kondisi pasar, hingga relaksasi regulasi yang dapat memberikan ruang manuver bagi pelaku industri.
Lebih jauh, Budi menekankan bahwa ketahanan industri asuransi umum di Indonesia juga bergantung pada kemampuan seluruh pemangku kepentingan dalam memperkuat ekosistem industri. Kolaborasi antara regulator, pelaku usaha, dan masyarakat dibutuhkan untuk menciptakan industri yang inklusif, adaptif, dan tangguh terhadap krisis.
Dalam situasi yang penuh tantangan ini, perusahaan-perusahaan asuransi juga didorong untuk meningkatkan efisiensi operasional, digitalisasi proses bisnis, serta memperkuat mitigasi risiko agar tetap kompetitif dan mampu memberikan perlindungan yang optimal kepada nasabah.
Meskipun belum menunjukkan tanda-tanda krisis sistemik, perlambatan ini menjadi pengingat penting bahwa industri asuransi harus terus berinovasi dan menyesuaikan diri dengan dinamika yang ada. Ketergantungan terhadap sektor tertentu seperti otomotif dan properti juga perlu dikaji ulang, dengan membuka peluang di sektor-sektor lain yang berpotensi tumbuh dalam era baru pasca-pandemi dan transformasi digital.
Dengan pendekatan yang tepat dan kolaboratif, industri asuransi umum diyakini mampu keluar dari tekanan ini dan kembali menunjukkan pertumbuhan yang sehat dalam jangka menengah.