Harga Minyak Stabil di Tengah Gejolak Dagang

Senin, 28 Juli 2025 | 11:23:08 WIB
Harga Minyak Stabil di Tengah Gejolak Dagang

JAKARTA - Harga minyak dunia kembali menunjukkan kenaikan pada awal pekan ini, meskipun tipis, tetapi cukup untuk mempertahankan kestabilannya di level psikologis US$ 65 per barel. Lonjakan harga tersebut sebagian besar dipicu oleh kesepakatan dagang terbaru antara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Situasi ini menjadi gambaran menarik dari kompleksitas interaksi geopolitik dan kebijakan perdagangan global yang secara langsung berdampak pada pasar energi.

Pada perdagangan awal pekan, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September di New York Mercantile Exchange tercatat berada di US$ 65,36 per barel, atau mengalami kenaikan 0,31% dibandingkan akhir pekan sebelumnya yang berada di level US$ 65,16 per barel. Kenaikan ini mungkin terlihat kecil, namun cukup signifikan dalam konteks sentimen pasar yang rapuh akibat ketidakpastian global.

Katalis utama dari pergerakan harga ini adalah kesepakatan perdagangan antara AS dan Uni Eropa yang tercapai menjelang tenggat waktu pemberlakuan tarif baru oleh Presiden AS Donald Trump. Kesepakatan ini berhasil meredam kekhawatiran eskalasi perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia tersebut, yang selama ini membayangi prospek pertumbuhan ekonomi global dan permintaan energi.

Mengutip laporan Bloomberg, kesepakatan ini terjadi di tengah rencana AS untuk memberlakukan tarif sebesar 15% terhadap produk-produk dari Uni Eropa. Meski kesepahaman telah tercapai, Presiden Trump dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen masih terlihat belum sepenuhnya sejalan dalam hal sejumlah rincian perjanjian. Perbedaan pendapat tersebut mencerminkan bahwa kendati ancaman tarif berhasil diminimalkan, ketegangan dagang antara kedua belah pihak belum benar-benar reda.

Ketegangan dalam kebijakan perdagangan yang diusung oleh pemerintahan Trump tak hanya berdampak terhadap hubungan bilateral, tetapi juga menyebar luas ke pasar global. Negara-negara lain yang menjadi sasaran kebijakan tersebut menyatakan potensi balasan terhadap AS, dan hal ini memicu kekhawatiran lanjutan akan melambatnya perdagangan internasional.

Ketika perdagangan dunia terganggu, permintaan terhadap komoditas energi seperti minyak juga ikut terdampak. Kekhawatiran akan perlambatan pertumbuhan ekonomi global ini menjadi faktor penekan harga minyak dalam beberapa bulan terakhir. Pasar memandang ketidakpastian tersebut sebagai ancaman yang nyata bagi permintaan minyak, terutama dari dua konsumen terbesar dunia: Amerika Serikat dan China.

Tak hanya soal kebijakan tarif, dinamika harga minyak juga diperparah oleh langkah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+), yang belum lama ini mengumumkan keputusan untuk meningkatkan kuota produksinya. Rencana penambahan pasokan ini memunculkan spekulasi bahwa pasar akan menghadapi kelebihan suplai pada akhir tahun jika permintaan global tidak cukup kuat untuk menyerapnya.

Kombinasi dari meningkatnya pasokan OPEC+ dan ketidakpastian arah perdagangan global menciptakan situasi yang kompleks bagi pasar minyak. Di satu sisi, kesepakatan dagang AS-Uni Eropa memberikan harapan stabilisasi ekonomi; di sisi lain, peningkatan produksi bisa menekan harga jika tidak diimbangi oleh pertumbuhan permintaan.

Di tengah situasi tersebut, investor dan analis pasar energi terus mencermati perkembangan negosiasi dagang, pernyataan dari pejabat pemerintahan, serta langkah-langkah OPEC+. Harga minyak, sebagai salah satu indikator kesehatan ekonomi global, sangat sensitif terhadap sentimen dan ekspektasi pelaku pasar. Itulah sebabnya, pergerakan harga meski hanya beberapa sen tetap dianggap penting oleh pelaku industri maupun pemerintah.

Faktor eksternal lain yang turut memberi tekanan terhadap harga minyak adalah kekhawatiran mengenai perlambatan ekonomi di China. Negara tersebut merupakan salah satu importir minyak terbesar di dunia, dan tanda-tanda perlambatan di sektor industrinya turut menambah ketidakpastian global.

Begitu pula dengan ekonomi AS yang tengah berhadapan dengan tantangan inflasi dan suku bunga tinggi. Jika permintaan domestik di dua negara besar ini terus melemah, maka harapan kenaikan harga minyak dalam jangka menengah bisa menjadi sulit direalisasikan, meskipun ada stabilisasi dari sisi geopolitik.

Namun demikian, pasar tampaknya masih menaruh optimisme hati-hati. Kenaikan harga minyak WTI di awal pekan ini menunjukkan bahwa sentimen positif dari kesepakatan dagang cukup mampu menahan laju penurunan yang lebih dalam. Ini bisa menjadi titik balik jika disusul dengan kebijakan yang mendukung pertumbuhan perdagangan global dan permintaan energi.

Pada akhirnya, harga minyak tidak hanya merefleksikan hukum penawaran dan permintaan, melainkan juga mencerminkan dinamika politik internasional, strategi perdagangan, dan ekspektasi pasar terhadap masa depan ekonomi dunia. Kesepakatan dagang AS-Uni Eropa mungkin hanya satu episode dari serangkaian kejadian yang akan terus membentuk arah pasar energi global dalam waktu dekat.

Dengan memperhatikan berbagai variabel yang ada, wajar jika pelaku pasar bersikap waspada namun tetap berharap bahwa ketegangan dagang dan ancaman kelebihan pasokan bisa dikelola dengan baik. Hanya dengan sinergi antara stabilitas geopolitik dan kebijakan energi yang bijak, pasar minyak bisa kembali menemukan keseimbangannya.

Terkini