Kapal Tua Penyeberangan Disorot Usai Insiden KMP Tunu

Selasa, 15 Juli 2025 | 12:51:58 WIB
Kapal Tua Penyeberangan Disorot Usai Insiden KMP Tunu

JAKARTA - Isu keselamatan pelayaran kembali mencuat ke permukaan setelah tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di perairan Selat Bali, yang menghubungkan Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi dengan Gilimanuk di Bali. Peristiwa tragis ini tidak hanya meninggalkan luka bagi keluarga korban, tetapi juga mengguncang rasa aman masyarakat terhadap transportasi laut, khususnya di lintasan yang dikenal sangat padat tersebut.

Tragedi yang terjadi di awal Juli itu menjadi pengingat keras bahwa sektor pelayaran nasional, terutama di jalur penyeberangan antarprovinsi seperti Ketapang-Gilimanuk, membutuhkan perhatian serius terhadap aspek kelayakan kapal. Dugaan awal mengarah pada usia kapal yang telah uzur dan kondisi teknis yang dipertanyakan sebagai pemicu insiden.

KMP Tunu Pratama Jaya sendiri disebut-sebut telah berusia lebih dari 15 tahun. Meskipun secara resmi tercatat sebagai buatan tahun 2010 dari galangan kapal di Balikpapan, sejumlah sumber internal dari industri pelayaran mengungkapkan bahwa struktur kapal tersebut mungkin jauh lebih tua dibandingkan yang tertera dalam dokumen resmi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi data dan sistem pengawasan dalam industri pelayaran nasional.

Lebih jauh lagi, peristiwa ini membuka mata publik bahwa kapal berusia lanjut bukan hanya satu atau dua di lintasan Ketapang-Gilimanuk. Ada dugaan kuat bahwa sejumlah besar kapal ferry di jalur ini juga sudah berusia tua bahkan pantas disebut “embah” jika mengacu pada standar kelayakan armada modern.

Sebagai catatan, sejumlah kapal ferry yang beroperasi di jalur tersebut dibeli dalam kondisi relatif baru, sekitar usia 10 hingga 15 tahun. Namun kini, setelah bertahun-tahun melayani pelayaran harian, usia kapal-kapal tersebut terus bertambah dan beberapa di antaranya tetap aktif tanpa peremajaan armada yang berarti.

Perusahaan pelayaran biasanya mengandalkan pemeliharaan rutin dan perawatan teknis sebagai alasan keberlangsungan operasional kapal tua. Namun, di tengah intensitas operasional yang tinggi dan cuaca perairan yang kadang ekstrem, wajar jika muncul kekhawatiran publik mengenai sejauh mana maintenance mampu menjamin keselamatan pelayaran.

Sektor pelayaran Indonesia, terlebih di jalur-jalur penyeberangan vital seperti Ketapang-Gilimanuk, memang memikul beban besar. Jalur ini merupakan nadi transportasi penting, tidak hanya bagi warga lokal tetapi juga wisatawan domestik dan internasional yang bepergian antara Pulau Jawa dan Bali. Di sisi lain, kepadatan penyeberangan yang tinggi terkadang membuat kapal dipaksa tetap beroperasi meskipun sudah menyentuh usia yang semestinya masuk masa pensiun.

Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang bertanggung jawab dalam memastikan kelayakan kapal sebelum mereka mengangkut ribuan penumpang setiap harinya? Sejauh mana pengawasan dilakukan oleh otoritas terkait seperti Kementerian Perhubungan, Syahbandar, atau lembaga klasifikasi kapal?

Fakta bahwa kapal-kapal berusia tua masih berlayar mengindikasikan bahwa sistem evaluasi teknis dan sertifikasi layak laut perlu dikaji ulang. Apakah inspeksi hanya sebatas formalitas atau benar-benar menjadi alat kontrol yang mampu mencegah insiden tragis seperti yang terjadi pada KMP Tunu Pratama Jaya?

Masalah ini juga mencuatkan pentingnya digitalisasi data dan transparansi informasi kapal. Publik berhak mengetahui usia, status teknis, serta catatan perawatan kapal yang mereka tumpangi. Informasi ini penting demi meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan penumpang dalam memilih moda transportasi.

Sebagai langkah ke depan, pembenahan sektor pelayaran di lintasan Ketapang-Gilimanuk harus dilakukan secara menyeluruh. Peremajaan armada kapal menjadi mutlak, tidak cukup hanya mengandalkan pemeliharaan berkala. Pemerintah juga perlu mendorong insentif kepada perusahaan pelayaran yang bersedia mengganti armada tua dengan kapal baru yang lebih efisien dan aman.

Tak kalah penting adalah penguatan regulasi dan pengawasan ketat terhadap standar keamanan dan kelayakan kapal. Sertifikasi tahunan, audit independen, hingga pengawasan mendadak di pelabuhan bisa menjadi bagian dari sistem kontrol yang ketat.

Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya semestinya menjadi momentum evaluasi total terhadap sistem keselamatan pelayaran nasional. Apalagi Indonesia merupakan negara maritim dengan ribuan pulau dan jalur laut yang menjadi urat nadi konektivitas masyarakat. Setiap insiden bukan hanya kerugian nyawa, tetapi juga merusak citra transportasi laut Indonesia di mata dunia.

Duka atas tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya harus menjadi pelajaran penting untuk semua pihak: operator pelayaran, regulator, dan masyarakat. Sudah waktunya Indonesia serius membenahi wajah pelayaran nasional agar benar-benar menjunjung tinggi prinsip keselamatan sebagai prioritas utama, bukan sekadar efisiensi atau keuntungan.

Terkini